Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Trimanto B. Ngaderi

Solusi Masalah: Mencari Jalan Ke Dalam, Bukan Jalan Keluar

How To | 2022-08-30 10:19:19

SOLUSI MASALAH: MENCARI JALAN KE DALAM BUKAN JALAN KELUAR

Mencari jalan keluar. Kata inilah yang sering diucapkan oleh kita ketika sedang mengalami suatu masalah. Maksud dari mencari jalan keluar di sini adalah agar kita bisa “keluar” dari masalah yang sedang kita hadapi. Kita terhindar dari masalah, kita terlepas dari masalah.

Namun, yang sering terjadi adalah kita tak benar-benar terlepas dari masalah. Kita hanya terhindar dari sebagian masalah saja (bukan secara keseluruhan), atau hanya mampu melupakan masalah dalam waktu sementara. Mengapa? Karena yang sering kita lakukan adalah menangani AKIBAT dari masalah itu, bukan pada SEBAB. Kita lebih fokus kepada dampak yang ditimbulkan oleh suatu masalah, bukan menelusuri AKAR sebuah permasalahan.

Akibatnya, kita tak benar-benar tuntas dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Bahkan, terkadang malah menimbulkan permasalahan baru. Untuk itu, cobalah melihat masalah dari paradigma baru, dari perspektif yang berbeda, dari sudut pandang yang lain, dari mindset yang tak biasa. Bagaimana kalau mulai saat ini kita tak lagi mencari JALAN KELUAR, melainkan mencari JALAN KE DALAM.

Apa maksudnya?

Sumber gambar: https://sehatq.com

Perbaiki Diri Sebelum Memperbaiki Orang Lain

Untuk bisa memahami secara lebih baik apa itu mencari “jalan ke dalam”, ada baiknya langsung diberikan beberapa contoh berikut ini. Pertama, ketika kita punya anak yang nakal, tidak mau menurut sama orang tua, malas belajar, hobi merokok, mengonsumsi narkoba, terlibat tindak kriminal dan berbagai perilaku negatif lainnya; bukankah kita sebagai orang tua lebih sering menyalahkan si anak?

Kita merasa sudah capek menasihati anak, bahkan terkadang kita sampai berbuat kekerasan kepadanya, anak tetap saja tak mau berubah. Justeru yang terjadi malah sebaliknya. Ia semakin nakal, memberontak, dan bertambah perilaku buruknya. Sudah konsultasi ke guru BP, ke psikolog, ke kiai, dll. Tak lupa juga kita terus-menerus berdoa agar anak kita menjadi baik kembali. Tapi semua usaha itu belum membuahkan hasil. Kita nyaris putus asa menghadapinya.

Padahal, yang benar adalah yang perlu diperbaiki adalah kita, kita sebagai orang tua. Kita harus banyak bermuhasabah, banyak instropeksi diri, melakukan evaluasi diri. Kalau kita mau anak kita menjadi anak yang baik, maka kita sebagai orang tua harus menjadi baik terlebih dahulu. Kalau kita ingin anak kita memiliki perilaku yang terpuji, kita harus mampu memberikan contoh akhlak yang mulia. Begitu seterusnya.

Insya Allah, dengan begitu anak kita akan bisa menjadi baik (dengan sendirinya). Kita tak perlu banyak mengomel, kita tak perlu memukul dia, kita juga tak perlu ke sana ke mari untuk berkonsultasi. Anak hanya butuh figur yang bisa dicontoh. Anak hanya butuh sosok yang bisa diteladani. Dan orang itu adalah bapak-ibunya sendiri. Bukan orang lain.

Kebaikan yang dilakukan oleh orang tua akan menular kepada anak. Energi spiritual orang tua akan dengan mudah ditangkat sinyalnya oleh anak. Perilaku terpuji orang tua akan menggerakkan si anak untuk menirunya. Dan yang terpenting, pancaran kasih-sayang orang tua akan dapat dirasakan oleh si anak secara tulus. Semuanya (dengan izin Allah) akan bisa mengubah anak menjadi lebih baik sesuai dengan harapan orang tua.

Kedua, ketika kita sedang mengalami sakit (penyakit) tertentu. Kita sudah berobat ke sana ke mari (bahkan hingga sampai ke luar negeri). Kita sudah mengonsumsi obat-obatan terbaik yang direkomendasikan oleh dokter. Kita sudah melakukan pantangan makan makanan tertentu. Sudah tak terhitung lagi biaya yang telah kita keluarkan untuk mencapai kesembuhan.

Padahal, ada satu hal yang kita lupakan. Perilaku dan gaya hidup kita. inilah faktor terbesar yang mempengaruhi kesehatan kita, baik fisik maupun jiwa. Kebiasaan-kebiasaan hidup yang bisa membuat tubuh kita menjadi sakit. Suka begadang, tidur di pagi hari, malas berolahraga, suka mengonsumsi minuman beralkohol atau bersoda. Dalam perihal makan: terlalu banyak makan, terlalu sering makan enak, makan makanan haram, dll. Termasuk dalam hal ini adalah sikap jiwa, misalnya kecemasan, tertekan, iri-dengki, sakit hati, dendam, dan semacamnya juga bisa menimbulkan keluhan fisik.

Dalam pengobatan modern, yang ditangani hanyalah gejala-gejalanya saja (akibat), sedangkan akar dari penyakit itu tak pernah dibereskan (sebab). Sehingga yang terjadi adalah hanya menghilangkan rasa sakitnya saja (dalam waktu sementara), sementara penyakitnya tak pernah benar-benar hilang. Suatu saat akan bisa kambuh atau muncul kembali. Inilah yang saya sebut sebagai pengobatan secara parsial.

Sedangkan pengobatan holistik adalah proses penyembuhan secara menyeluruh. Mencoba mencari akar penyakit dari dalam diri kita (ke dalam). Dalam pengobatan holistik, yang diperbaiki tidak hanya aspek fisik saja, melainkan juga pikiran dan jiwa.

Ketiga, masalah kemunduran umat Islam. Kita sering meyakini bahwa kemunduran umat Islam disebabkan oleh pengaruh Westernisasi, adanya gerakan pemurtadan (Kristenisasi), kekuatan orang kafir yang memusuhi Islam, sistem politik liberal, negara yang belum berasaskan Islam, dan lain-lain. Kita sering menuduh bahwa pihak luarlah yang menjadi sebab keterpurukan kita.

Padahal, jika mau jujur dan sadar diri, kita sendirilah penyebab dari semua kemunduran itu. Sekalipun ada faktor luar, itu persentasenya amat kecil. Coba kita bercermin kepada diri sendiri. Betapa kita ini umat yang suka sekali berpecah-belah, membanggakan dan mengutamakan kelompok (golongan) nya, mengecilkan kelompok lain, malas membaca dan berpikir, malas bekerja keras dan melakukan penelitian, terlalu cinta dunia dan lupa kepada kematian, tidak belajar kepada kesalahan di masa lalu, dan sebagainya.

Selama umat Islam tak pernah memperbaiki diri ke dalam, selamanya kita tak akan bisa bersatu. Kita akan terus menjadi umat yang terbelakang, terpinggirkan, selalu kalah dalam banyak hal, menjadi minoritas sekalipun secara jumlah adalah mayoritas, menjadi inferior karena merasa tak percaya diri.

Hakikat Lafadz “Allahu Akbar”

Usai melaksanakan shalat wajib, kita rutin membaca kalimat thayyibah: subhanallah, alhamdulillah, Allahu akbar masing-masing 33x. maka setidaknya kita membaca sebanyak 33 x 5 = 165 kali. Belum yang kita baca di luar waktu shalat, tentu bisa lebih banyak lagi.

Akan tetapi, apakah kita benar-benar tahu apa hakikat makna dari kalimat “Allahu akbar” itu?

Secara umum kita hanya mengetahui bahwa artinya Allah Mahabesar. Kebanyakan dari kita hanya mengucapkan kalimat itu secara berulang-ulang sebatas di bibir saja, belum sampai kepada tahap pemaknaan, penghayatan, dan internalisasi.

Faktanya, kita masih menganggap Allah itu “kecil”. Kita masih meyakini bahwa uang itu sangat penting. Kita masih mengira bahwa kedudukan dan jabatan itu adalah suatu kebesaran. Kita juga masih mengakui bahwa kepemilikan harta-benda adalah segalanya. Ketika mulut mengucapkan Allahu akbar, tapi sikap dan perilaku kita justru mengagungkan yang selain Dia (uang, harta, kedudukan) dan melupakan Dzat yang menciptakan semua itu (Allah).

Coba kita renungkan bersama, kalimat Allahu akbar adalah sebuah pengakuan (kesaksian) bahwa hanya Allah-lah yang besar, selain Dia hanyalah kecil dan tak berarti. Jika dalam konteks suatu masalah, ketika Allah memberikan masalah, maka Dia juga sudah menyiapkan solusinya. Masalah dan solusi adalah satu paket yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Setiap masalah PASTI ada solusinya. Dan solusi datangnya langsung dari Allah SWT.

Kalau solusi sudah dari Allah, lantas apakah kita tak perlu lagi berikhtiar mencari solusi?

(Akan dibahas pada tulisan berikutnya).

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image