Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Menelusuri Hari Rabu dan Bulan Shafar dalam Al-quran dan Hadits (Bagian 1)

Agama | 2022-08-29 15:24:03

Umat Islam senantiasa menyambut kedatangan bulan Muharram dengan gegap gempita. Berbagai asa akan kebangkitan Islam tumbuh pada saat menyambut tahun baru Islam ini. Semangat hijrah selalu dibahas dalam setiap kesempatan selama bulan Muharram.

Kondisi tersebut berbalik sepi tatkala memasuki bulan Shafar. Tak sedikit orang yang begitu merasa khawatir ketika memasuki bulan kedua dari tahun hijriyah ini, terlebih-lebih jika sudah memasuki hari Rabu terakhir dari bulan ini yang populer dengan sebutan Rabu Wekasan.

Betapa tidak, bulan Shafar diyakini sebagian orang sebagai bulan diturunkannya berbagai musibah. Tak tanggung-tanggung, konon 320.000 musibah akan turun pada bulan ini, terutama pada Rabu terakhir. Betulkah demikian? Apakah hal ini sudah berlangsung sejak zaman para nabi, setidak-tidaknya pada zaman Rasulullah saw masih hidup?

Rangkaian tulisan ini merupakan rangkuman dari riset kecil yang saya lakukan atas 60 kitab tafsir, hadits, dan beberapa kitab karya ulama yang didalamnya terdapat pembahasan hari Rabu dan bulan Shafar. Pada setiap bagian akhir tulisan sengaja dicantumkan beberapa kitab yang menjadi bahan riset kecil tersebut. Dengan pencantuman maraji’/referensi tersebut mudah-mudahan menjadi acuan bagia para pembaca untuk mengkajinya lebih mendalam.

Dalam beberapa bagian dari tulisan ke depan, saya mengajak pembaca untuk menelusuri hari Rabu dan Shafar dalam Al-Qur’an dan hadits. Selain itu, dalam tulisan ini akan diuraikan beberapa peristiwa yang terjadi pada bulan Shafar, khususnya yang terjadi pada masa Rasulullah saw.

1. Asal usul bulan shafar

Terdapat beberapa pandangan terhadap asal-usul bulan Shafar. Menurut sebagian pendapat, pada masa dulu orang-orang Arab memiliki kebiasaan keluar untuk berdagang atau berperang.

Mereka berangkat sambil memboyong seluruh anggota keluarganya pada akhir bulan Muharram. Keadaan ini menjadikan perkampungan sepi dari penghuni. Karenanya bulan setelah Muharram memiliki arti kosong atau sepi yang dalam Bahasa Arab diistilahkan dengan sebutan shafar.

Menurut pendapat lainnya, Shafar juga berarti jenis penyakit yang menyerang pencernaan. Tradisi Arab kuno memiliki keyakinan dalam suatu musim biasa terjadi penyakit yang menyerang pencernaan unta. Penyebabnya adalah serangan cacing besar yang masuk ke dalam pencernaan unta. Bentuknya mirip ular.

Pendapat lainnya mengatakan, Shafar berarti musim angin besar yang disertai dengan hembusan awan panas yang menyebabkan tersebarnya penyakit pencernaan, baik yang menyerang manusia maupun binatang ternak.(1)

2. Bulan Shafar dalam Al-Qur’an

Secara tersurat, dalam Al-Qur’an tidak ada nama bulan Shafar. Namun demikian, secara tersirat terdapat beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang sabab nuzul (sebab turunnya ayat) berhubungan dengan peristiwa yang terjadi pada bulan Shafar.

a. Surat At-Taubat ayat 5

“Apabila sudah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Imam Jalaluddin Ash-Shuyuthi berpendapat, maksud “apabila sudah habis bulan-bulan haram itu...”, yakni bulan haram yang empat, 20 hari dari bulan Dzulhijjah, Muharram, Shafar, Rabbiul Awwal, dan ditambah sepuluh hari dari bulan Rabbiul Akhir.(2)

b. Surat At-Taubat ayat 37

“Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu hanyalah menambah kekafiran. Disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mempersesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya, maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (Syetan) menjadikan mereka memandang perbuatan mereka yang buruk itu, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”

Ibnu Jarir dan Abu Syeikh yang diterima dari Abu Malik berkata, “Orang Arab Jahiliyah telah menjadikan bilangan satu tahun menjadi 13 bulan. Mereka menjadikan bulan Shafar menjadi Muharram. Dengan demikian, dalam satu tahun terdapat dua kali bulan Shafar.

Hal ini mereka lakukan sebagai upaya mereka menghapus bulan Muharram agar bulan tersebut tidak menjadi bulan haram. Tujuan utama dari upaya ini agar mereka tetapi bisa melakukan peperangan dan mendapatkan ghanimah/harta rampasan perang.” (3)

3. Bulan Shafar dalam Hadits

Hampir dalam setiap kitab hadits terdapat bahasan bulan Shafar. Musnad Ahmad merupakan kitab hadits yang paling banyak menyebutkan hadits tentang bulan Shafar, yakni dalam hadits nomor 7834, 8565, 9403, dan 12.138; Majma Zawaid Juz V halaman 122, hadits nomor 8396, Majma Zawaid Juz VI halaman 331, hadits nomor 10575.

Dalam kitab Al-Tamhid Ibnu Muhammad bin Abdul Bar Juz XXIV halaman 198-199; As-Sunnah Ibnu ‘Ashim Juz I kaca 118 hadits nomor 268-269, halaman 121 hadits nomor 277, 280, dan 281; Muhammad Nashirudin Al-Bani, Silsilatul Ahadits Shahihah Juz II kaca 415 hadits nomor 785. Sedangkan dalam Shahih Muslim disebutkan dalam hadits nomor 5797, 5789, 5790, dan 5794. Sementara dalam Sunan Abu Daud Juz IV halaman 17, Kitab al-Thib Bab fi Thiyarah hadits nomor 3911-3912, 3911, 3912, 3913, 3914, dan 3915.

Secara umum, inti hadits mengenai bulan Shafar mengatakan, “Telah bersabda Rasulullah saw, ‘Tidak ada penularan penyakit (tanpa izin Allah swt), tidak ada reinkarnasi (perpindahan ruh orang yang meninggal kepada binatang/burung hantu), tidak ada bintang yang menjadi penyebab turunnya hujan, dan tidak ada musibah khusus yang terjadi pada bulan Shafar.’”( 4)

Perlu dicatat, dalam hadits-hadits yang membahas tentang bulan Shafar, tak ada satu hadits pun yang menegaskan secara pasti bahwa bulan Shafar merupakan bulan musibah (bersambung)

Maraji’

1. al Imam al Hafidh Zainudin Abi al Faraj ­Abdurrahman bin Ahmad Rajab al Hanbali al Damsyiqi, Lathaif al Ma’arif fi Maa Liwasm al ‘Am min al Wadhaif, halaman 147, Penerbit Daar Ibn Katsir, Damsyiq Beirut Libanon.

2. Jalaluddin al Shuyuthy, Dzur al Mantsur fi Tafsir bi al Ma’tsur, Juz VII, halaman 244, Penerbit Markaz li al Buhutsi wa Dirasat al ‘Arabiyah wa al ­Islamiyah, Kairo Mesir.

3. Jalaluddin al Shuyuthy, Dzur al Mantsur fi Tafsir bi al Ma’tsur, Juz VII, halaman 348-349, Penerbit Markaz li al Buhutsi wa Dirasat al ‘Arabiyah wa al ­Islamiyah, Kairo Mesir.

4. Al Mausua’ah Musnad al Imam Ahmad, hadits nomor 7834, 8565, 9403, dan 12.138, Penerbit Muasassah al Risalah li al Thiba’ah al nasyr wa al Tauji’ Beirut.

ilustrasi :bulan

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image