Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Adeummunasywah Adeummunasywah

Paradoks Kemerdekaan dalam Kapitalis

Politik | Monday, 22 Aug 2022, 07:42 WIB

Paradoks Kemerdekaan dalam kapitalis

Oleh : Heni Nuraeni

Tanggal 17 Agustus 2022 menjadi selebrasi kemerdekaan Indonesia yang ke 77 tahun. Tema yang diusung kali ini “Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat”. Ini karena dunia termasuk Indonesia selama dua tahun belakangan tak berkutik akibat pandemi Covid-19. Tentunya tema ini sengaja dipilih untuk dapat menyulut semangat untuk kembali bangkit menuju perubahan yang lebih baik.

Dikutip dari Suara.com (15/8/2022), Kementerian Sekretariat Negara dalam dokumen Pedoman Identitas Visual 77 Tahun Kemerdekaan Indonesia, Selasa (2/8/2022), menulis "Kita melihat bagaimana kinerja dari pemerintah dan gerakan dari masyarakat bersinergi bersama untuk mencapai percepatan pemulihan kondisi di semua sektor dan siap bangkit menghadapi tantangan global.”

Duka dua tahun pandemi telah menambah semakin dalam keterpurukan di semua lini kehidupan. Tak terelakkan, jurang kesejahteraan semakin dalam. Nyata, 77 tahun dalam bingkai kemerdekaan, rakyat tanpa sejahtera. Aktivitas selebrasi pun masih sama sepanjang 77 tahun ini, tak lupa disambut tasyakuran di setiap RT di penjuru negeri, diiringi berbagai perlombaan di kampung-kampung, dan rutinitas upacara bendera tak pernah terlupa.

Selama 77 tahun merdeka, masih mencari cara untuk sejahtera. Angka kemiskinan, stunting, kriminalitas makin melonjak. Moral generasi mengalami dekadensi. Para pejabat berlomba memperkaya diri, jauh berkebalikan dengan nasib rakyat yang kian miskin. Paradoks kemerdekaan dalam bingkai kapitalisme telah menciptakan kesengsaraan yang tiada berujung.

Peran kapitalisme dalam membangun Indonesia selama 77 tahun kemerdekaannya telah menampakkan hasilnya. Sayangnya, entah ini puncaknya ataukah masih dalam tahap menuju puncaknya, nyatanya wujud pembangunan dalam bingkai kapitalisme telah membawa rakyat makin jauh dari sejahtera, bahkan jurang kesengsaraan makin menganga.

Indonesia memang terbebas dari penjajahan fisik, kobaran semangat jihad fi sabilillah para ulama, santri, dan seluruh rakyat Indonesia pada saat itu menyiutkan nyali penjajah. Nyata memang, secara de jure Indonesia telah merdeka, namun secara de facto sepenuhnya masih terjajah. Diakui ataupun tidak, negeri-negeri Muslim termasuk Indonesia telah masuk ke dalam jerat kemerdekaan ala kapitalisme.

Dalam bingkai kapitalisme, kepentingan rakyat terpinggirkan. Negara yang seharusnya berperan sebagai raain yang meriayah seluruh urusan rakyat telah berubah sebagai regulator bagi kepentingan kapitalis global. Kemerdekaan dalam bingkai kapitalisme, menjadikan negara tak berdaya mengatur sendiri setiap urusannya. Setiap kebijakan yang dihasilkan harus mengikuti kepentingan kapitalisme global.

Alhasil, dalam hal ekonomi saja meskipun telah merdeka selama 77 tahun lamanya, namun rakyat Indonesia tak pernah secuil pun menikmati kekayaan negeri yang telah dianugerahkan Allah SWT kepada negeri ini. Peran ekonomi kapitalisme menghalalkan kapitalis global mengangkangi kekayaan negeri dari hulu hingga hilir, rakyat hanya bisa gigit jari di pinggir jurang kemiskinan.

Kemerdekaan ala kapitalisme pun menghalalkan atas nama investasi, bantuan luar negeri, menjadikan negara bertekuk lutut tunduk mengikuti kebijakan investor ataupun negara pemberi bantuan alias utang. Tak ayal, berbagai investasi pembangunan infrastruktur yang digadang-gadang penguasa sebagai cara untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang berlimpah hanya sekadar angan dan ilusi. Kenyataannya, kedatangan TKA tak dapat dibendung meskipun rakyat pribumi banyak yang di-PHK dan kekurangan lapangan pekerjaan.

Bahkan, tak sedikit rakyat negeri ini yang beradu nasib di negeri orang pun menyisakan berbagai macam cerita tragis. Tak mendapat jaminan keamanan dan bernasib nahas di negeri orang. Harapan memperoleh sejahtera lagi-lagi hanya ilusi jauh dari kepastian.

Msih ada lagi cara apik kapitalisme dalam menciptakan jurang kemiskinan. Rakyat tak sekadar kehilangan kekayaan alam negeri, bukan juga sekadar kecolongan lapangan pekerjaan, atau bernasib nahas beradu nasib di negeri orang. Lebih dalam lagi, kapitalisme dengan apiknya menghimpit rakyat dengan berbagai kenaikan pajak, tarif, iuran serta merampas hak subsidi. Semua kebijakan itu pun berlanjut dengan kenaikan berbagai macam kebutuhan pokok.

Miris! Lengkap sudah ketidakberdayaan rakyat yang kemerdekaannya dibingkai kapitalisme. Lolos dari penjajahan fisik, masuk dalam penjajahan gaya baru. Penjajahan dalam bidang ekonomi, nyata menjauhkan rakyat dari harapan sejahtera. Rakyat dibiarkan masuk ke dalam jurang kemiskinan yang semakin dalam.

Inilah kapitalisme, cara legal bagi negara kapitalis global menjajakan penjajahan gaya barunya. Neo-imperialisme Barat telah menancapkan hegemoninya makin dalam, mencengkeram negeri Muslim, tak membiarkan menemukan makna kemerdekaan yang hakiki.

Kemerdekaan dalam bingkai kapitalisme bukan hanya menciptakan kehancuran perekonomian negeri ini. Dalam aspek hukum, negeri ini tunduk pada undang-undang ala Barat yang sekuler dan liberal. Harapan untuk kembali diatur dalam aturan Sang Pencipta, dianggap sebagai ancaman bagi negara. Alhasil, di bawah payung hukum sekuler liberal berbagai macam kriminalitas makin meningkat, bahkan hukum bak mata pisau, tumpul ke atas tajam ke bawah, tumpul terhadap penguasa berikut koleganya namun tajam terhadap rakyat dan yang dianggap mengganggu kekuasaannya. Hukum menjadi godam bagi kepentingan penguasa.

Tak berhenti di sini, kemerdekaan ala kapitalisme juga menyisakan permasalahan besar bagi generasi. Dalam bidang pendidikan, kapitalisme telah menanamkan pondasi sekuler dan liberal yang kuat bagi generasi. Alhasil, dekadensi moral telah menggerogoti generasi, free seks, narkoba, miras, bullying, tawuran, kriminal, gaul bebas, bunuh diri, dan masih banyak problem lain yang dialami generasi. Diperparah lagi dengan moral penguasa dalam kapitalisme, sibuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya, korupsi menjamur di mana-mana, dari level desa hingga level pusat.

Inilah kemerdekaan dalam bingkai kapitalisme, hanya kemerdekaan semu dan menjatuhkan rakyat ke dalam jurang kesengsaraan yang semakin dalam. Sudah saatnya merubah paradigma kapitalisme, dan mencampakkannya pada tempatnya, mencari solusi yang mampu memberikan makna kemerdekaan yang hakiki.

Ketika kita tak menemukan makna kemerdekaan yang hakiki dalam bingkai kapitalisme, dalam paradigma kapitalisme, maka sudah saatnya kita beralih menemukan solusi untuk meraih kemerdekaan yang hakiki. Paradigma kapitalisme yang salah telah menciptakan kehancuran bagi umat manusia. Peradaban yang dihasilkannya rusak dan merusak.

Merdeka, sudah seharusnya dimaknai bukan sekadar terbebas dari penjajahan fisik semata. Penjajahan secara sistemis telah menampakkan kerusakan dan kesengsaraan yang lebih dalam bagi rakyat. Merdeka berarti bebas menentukan arah peta jalan bagi negeri. Di dalam Islam, arti merdeka adalah tidak menghamba pada manusia atau pun kepada sesuatu pun kecuali hanya kepada Allah SWT. Merdeka berarti terbebas dari aturan buatan manusia dan hanya dapat tunduk kepada aturan Sang Khaliq, Pencipta alam semesta.

Kita sebagai Muslim benar-benar dapat dikatakan merdeka, ketika dapat menjadikan Islam sebagai aturan hidup secara kaffah dalam bingkai khilafah. Dengan Islam, manusia dapat terbebas dari segala bentuk penghambaan dan perbudakan yang diciptakan manusia.

Hanya dengan merubah paradigma kapitalisme menjadi paradigma Islam, kemerdekaan yang hakiki dapat kita raih. Rasulullah dalam sabdanya pernah menyeru, "Amma ba’du. Aku menyeru kalian untuk menghambakan diri kepada Allah dan meninggalkan penghambaan kepada sesama hamba (manusia). Aku pun menyeru kalian agar berada dalam kekuasaan Allah dan membebaskan diri dari penguasaan oleh sesama hamba (manusia)" (Al-Hafizh Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, v/553).

Dalam sejarah peradaban manusia, penjajahan hanya muncul dalam peradaban kapitalisme dan komunisme. Dunia dalam kekuasaan Islam, sepanjang 13 abad lamanya tak mengenal penjajahan. Islam menaungi 2/3 dunia yang membentang menjadi wilayah kekuasaannya, mampu menciptakan rahmatan lil'alamin. Di bawah panji Islam, kesejahteraan dapat terwujud tanpa perbedaan ras, warna kulit ataupun agama. Baik Muslim, Yahudi dan Nasrani dapat hidup sejahtera berdampingan, terpenuhi kebutuhannya, baik kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, dan berbagai saran publik yang memudahkan seluruh rakyat dalam naungan khilafah.

Wallahu'alam bishshawab

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image