Grasa-grusunya Anak Muda dan Diproklamirkannya Kemerdekaan Indonesia
Sejarah | 2022-08-16 14:20:19Jangan pernah menceramahi anak muda soal pengalaman. Mereka memang minim jejak di masa lalu, tetapi mereka memiliki masa depan.
“Kamu masih muda, potensimu besar tapi kamu miskin pengalaman. Kamu belum matang! Selalu grasa-grusu, kesusu, apa-apa gak dipertimbangkan mendalam. Mumpung masih muda, belajarlah Nak! Jangan sampai karena kecerobohan, kamu jatuh”. Begitulah lazimnya orang-orang tua, para senior, menasehati anak-anak muda. Wajar memang, mereka tentu merasa telah lebih dulu mengalami keruwetan dunia, telah makan asam dan garam, lebih tahu tentang banyak hal dibanding yang muda-muda.
Mungkin pula bagi sebagian orang-orang tua, anak-anak muda lebih layak diremehkan disebabkan minimnya pengalaman. Anak-anak muda hanya tahu konsep nekat, energi yang besar, adrenalinnya yang tinggi, sehingga selalu menggebu-gebu dengan ide baru. “Mbok yo dipikir dulu yang mateng, ojo kesusu, jangan sampai menyesal di kemudian hari!”.
Kekhawatiran orang-orang tua memang tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak selamanya benar. Maka jangan ajarkan anak muda dengan ketakutan hidup. Anak-anak muda ditakdirkan untuk mengguncang dunia! Anak-anak muda terlalu besar energinya untuk dibiarkan berpangku tangan, apalagi hanya jadi gemerasi mleda-mlede, klemprak klemprek: generasi rebahan. Justru dari grasa-grusunya anak mudalah perubahan besar seringkali dipicu.
***
Agustus 1945, situasi Perang Dunia II tengah mendekati antiklimaks. Menjelang pertengahan bulan, Jepang takluk dan menyerah dari Sekutu di medan Perang Asia Timur Raya. Kabar kekalahan Jepang pun menyebar, termasuk ke Indonesia. Adalah Sultan Sjahrir yang segera menyampaikan kabar itu ke Sukarno-Hatta pada 14 Agustus. Sjahrir mendesak keduanya untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, keduanya menolak karena belum yakin atas kabar tersebut. Terlebih, Sukarno-Hatta baru saja pulang dari Vietnam, menemui Marsekal Terauchi, pimpinan tertinggi militer Jepang untuk Asia Tenggara. Terauchi memang menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia, karena itu prosesnya harus dipersiapkan Sukarno-Hatta melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Pertemuan Sjahrir dengan Sukarno-Hatta pun deadlock.
Kabar kekalahan Jepang atas Sekutu juga akhirnya sampai ke tokoh-tokoh muda. Pada 15 Agustus mereka berunding dan memutuskan untuk segera memproklamirkan kemerdekaan. Bagi anak-anak muda ini, kemerdekaan adalah sepenuhnya buah dari perjuangan anak bangsa, tidak boleh ada hubungannya dengan perjanjian dan apalagi hadiah dari Jepang.
Namun desakan itu sama sekali tak merubah pendirian Sukarno-Hatta dan tokoh-tokoh seangkatan lainnya. Maka anak-anak muda sepakat untuk menculik Sukarno-Hatta ke Rengasdengklok, Karawang. Aksi nekat itu dilakukan pada 16 Agustus dinihari, sekitar pukul 03.00. Teks proklamasi pun disusun dan diketik oleh Sayuti Melik, mesin ketik bahkan hasil meminjam dari Mayor (Laut) Dr Hermann Kandeler dari kantor perwakilan Jerman. Bendera merah putih juga mulai dikibarkan di wilayah Rengasdengklok pada 16 Agustus. Tokoh muda lainnya, Kunto dan Achmad Soebardjo pun ditugaskan untuk menjemput Sukarno-Hatta beserta Fatmawati dan Guntur dari Rengasdengklok.
Akhirnya, pada Jumat, 17 Agustus 1945, pukul 10.00, bertepatan dengan tanggal 9 Ramadan 1364 Hijriyah, teks proklamasi dibacakan Sukarno-Hatta di Jl. Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta.
***
Ya begitulah anak-anak muda berpikir dan bergerak dalam satu tarikan nafas. Generasi yang lebih tua seperti Sukarno-Hatta menghendaki kemerdekaan dipersiapkan lewat PPKI, sebagaimana permintaan Jepang. Tentu saja Sukarno, Hatta, dan tokoh-tokoh seangkatan lainnya telah memiliki pengalaman berpolitik yang panjang, sehingga keputusan-keputusan yang mereka buat tetaplah menjadi keputusan politik yang mempertimbangkan banyak hal, dan itu normal.
Tetapi sikap anak-anak muda yang idealis, menolak skenario Jepang juga, juga tak bisa disalahkan. Bagi mereka, kemerdekaan adalah buah dari perjuangan panjang, bukan hadiah dari Jepang. Bahkan pada masanya, bukankah Bung Karno juga mengakui kepeloporan kaum muda?
"Beri aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncang dunia.”
Bukanlah anak muda kalau ia menikmati comfort zone –nya. Karena darah muda adalah keresahan dan kegelisahan, pikirannya radikal, berani mendobrak tembok kokoh sekalipun. Untuk berpikir dan bertindak, seorang pemuda tidak butuh embel-embel nama besar trah dan kolega. Seperti kata Imam Ali, seorang pemuda ialah yang berani mengatakan inilah saya. Bukanlah pemuda yang mengatakan inilah ayah saya.
Pemuda yang grasa-grusu itu normal, karena energinya besar. Yang tak normal adalah pemuda klemprak klemprek, yang menikmati zona rebahan. Pemuda yang langsung ambyar lantaran ditinggal pas sayang-sayange. Dan nyatanya, gara-gara sikap grasa-grusu anak-anak mudalah kemerdekaan Indonesia bisa diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. []
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.