Hati-Hati, Inilah Faktor-Faktor Penyebab Kehancuran Marwah Suatu Bangsa
Agama | 2022-08-15 01:48:25Kemajuan suatu bangsa tak bisa diukur dari kemajuan pembanguan fisik belaka, namun harus pula diimbangi dengan pembangunan nonfisik. Jika suatu bangsa hanya menekankan kepada kemajuan pembangunan fisik sementara pembangunan nonfisik seperti pendidikan, kesehatan, dan pendidikan mental, moral-spiritual diabaikan, bangsa tersebut akan menjadi bangsa yang rapuh.
Demikian pula sebaliknya, jika suatu bangsa hanya mengandalkan pembangunan nonfisik, hanya fokus kepada pembangunan mental, moral-spiritual, bangsa tersebut secara politik-sosial-ekonomi akan tertinggal dari bangsa-bangsa lain, dan hanya akan menjadi bangsa yang mengemis memohon bantuan dari negara lain yang secara politik-sosial-ekonomi dan teknologinya lebih maju.
Kita patut bangga menjadi bangsa Indonesia yang memiliki konsep keseimbangan dalam melaksanakan pembangungan. Hal ini seperti diamanatkan dalam lagu kebangsaan kita “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya.”
Kita sebagai generasi penerus bangsa ini tinggal melanjutkan dan melaksanakan amanat para pendiri bangsa. Hanya saja, kita, para penerus, dan pemimpin bangsa ini terkadang mengabaikan amanat yang tercantum dalam lagu kebangsaan tersebut. Kemajuan program-program pembangunan fisik sering menjadi ukuran keberhasilan seorang pemimpin seraya sering mengabaikan pembangunan nonfisik, yakni pembangunan moral dan mental-spiritual.
Harus diakui, pembangunan secara fisik di negara kita mulai melesat maju. Gedung-gedung, jalan, alat transportasi, alat komunikasi, dan teknologi lainnya sudah mulai mensejajarkan diri dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Namun demikian, dalam bidang mental, moral-spiritual, dan pembangunan nonfisik lainnya adakalanya terabaikan. Revolusi mental, revolusi akhlak, dan yang lainnya sering baru sebatas jargon yang dijadikan pemanis retorika.
Padahal, pembangunan nonfisik berperan sebagai penopang pembangunan fisik. Suatu program pembangunan fisik, misalnya pembangunan sebuah gedung tak akan rampung jika para pelaksananya bermental jelek, bermental korup. Dunia pendidikan juga tak akan berhasil dengan baik apabila peserta didik, pendidik, dan anggota keluarganya bermental dan bermoral jelek.
Thomas Lickona, seorang profesor pendidikan dari Cortland University-USA, mengungkapkan, setidaknya terdapat sepuluh sinyalemen yang harus diwaspadai. Jika tanda-tanda ini sudah ada dalam suatu bangsa, kemungkinan bangsa tersebut sedang berjalan menuju jurang kehancuran, tingkat paling minimal bangsa tersebut akan kehilangan marwahnya di depan bangsa-bangsa lainnya.
Sinyalemen teresebut adalah meningkatnya kekerasan di kalangan remaja; penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk; pengaruh peer-group yang kuat dalam tindak kekerasan; meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas; semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk; menurunnya etos kerja; semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru; rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara; membudayanya ketidakjujuran; dan adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama.
Jika kita benar-benar merenungkannya, sinyalemen yang dilontarkan Thomas Lickona tersebut gejala-gejalanya sudah muncul dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kejujuran menjadi barang mahal di negeri ini. Demikian pula halnya dengan berbagai tindakan kekerasan di kalangan remaja, rasa hormat, dan kesopanan para remaja terhadap guru dan orang tua semakin menurun kualitasnya.
Penggunaan narkoba dan seks bebas sudah merajalela hampir sampai ke pelosok pedesaan, bahkan sudah merambah ke dunia pendidikan. Sementara itu, kebencian dan saling curiga antar sesama seolah-olah menjadi aksesoris kehidupan di sekitar kita.
Di lain pihak, para ponggawa hukum masih ragu-ragu dan tebang pilih dalam menegakkan hukum. Bukan rahasia lagi, penegakan hukum di negara kita masih tajam ke bawah, tumpul ke atas, atau penegakan hukum di negara kita masih seperti sarang laba-laba yang rapuh, hanya mampu menjerat serangga-serangga kecil. Padahal sejarah kehidupan penghuni bangsa ini pada masa silam telah membuktikan, penegakkan hukum merupakan pilar penjaga marwah kehidupan bangsa.
Dahulu kala tersebutlah kerajaan Holing yang dipimpin seorang Ratu bernama Sima. Para warganya merasa aman dan nyaman tinggal di negeri tersebut. Kuncinya, Sang Ratu tidak tebang pilih dalam menegakkan hukum, bahkan terhadap anggota keluarganya sendiri.
Sang Ratu pernah menjatuhkan hukuman potong kaki kepada anaknya yang dengan sengaja menendang sebuah pundi di jalan yang sengaja disimpan para tamu negara dari negeri Ta-Cheh yang sedang melaksanakan studi banding ke kerajaannya. Padahal para tamu tersebut sedang menguji kepopuleran keamanan di negeri tersebut seperti yang diberitakan bangsa lain yang pernah mengunjunginya.
Para penasihat ratu, memberikan masukan agar Sang Ratu tidak menjatuhkan hukuman berat kepada putra mahkotanya, namun ia tak mengikuti arahan para penasihatnya. Prinsipnya, siapapun yang melanggar hukum di negeri ini harus diberi sanksi sesuai hukum yang berlaku.
Buya Hamka menyebut kerajaan Holing tersebut sebagai kerajaan Kalingga di Jawa. Sementara Raja Ta-Cheh adalah sebutan kepada raja-raja atau para pejabat kerajaan Arab pada waktu itu. Kerajaan Holing sendiri berkuasa sekitar tahun 674-675 M.
Jauh sebelum Ratu Sima, Rasulullah saw mewanti-wanti kepada umatnya, marwah umatnya, marwah suatu bangsa akan sirna manakala para ponggawa hukum sudah tebang pilih dalam menegakkan supremasi hukum, menjatuhkan hukum seberat-beratnya kepada kaum alit yang melanggar hukum, dan menjatuhkan hukum seringan-ringannya kepada kaum elit yang melanggar hukum, meskipun kasus dan perbuatannya sama persis seperti yang dilakukan kaum alit.
Sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945, tujuan dibentuknya Pemerintah Negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Semua tujuan tersebut akan tercapai manakala berada dalam perlindungan dan penegakkan hukum seadil-adilnya.
Kita tak ingin marwah bangsa kita hancur berantakan dan teriakan suara kita tak didengar bangsa-bangsa lain di dunia. Karenanya kita perlu memelihara mental, moral, dan spiritual kita seraya didasari dan disertai dengan tekad untuk bersama-sama mengawal penegakkan supremasi hukum dan keadilan di negara kita.
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak (kebenaran) karena Allah (dan) saksi-saksi (yang bertindak) dengan adil. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena (adil) itu lebih dekat pada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Q. S. al Maidah : 8).
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.