Mengulas Masalah RUU PKS Menjadi RUU TPKS
Politik | 2021-11-27 10:42:34Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual ( RUU PKS) sebenarnya sudah masuk Prolegnas sejak 2014 lalu. Namun, pembahasannya kerap kali mengalami tarik-ulur dan juga mangkrak di Komisi VIII. Padahal, angka pada kasus kekerasan seksual di Indonesia sangat memprihatinkan dan harus segera ditanggulangi dengan cepat agar tidak terus melonjak disetiap tahunnya.
Dalam Rapat Kerja Badan Legislasi DPR RI, Pemerintah,, dan Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) telah menyepakati perubahan daftar rancangan undang-undang yang masuk kedalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Menjadi Prioritas 2021 dan Prolegnas 2020-2024.
Komnas Perempuan mengidentifikasi terdapat 15 jenis kekerasan seksual yang terjadi dalam berbagai konteks. Dari 15 jenis kasus kekerasan seksual yang terjadi, hanya 9 jenis kekerasan seksual yang dapat dikategorikan dalam tindak pidana. Enam jenis lainnya tidak terdapat unsur subyektif dan obyektif, sebagaimana yang disyaratkan dalam pengaturan kriminalisasi hukum pidana.
Ada 11 pasal yang menjadi krusial sehingga menyebabkan terjadinya pro dan kontra dalam pengesahan RUU PKS ini. Berikut beberapa pasal yang krusial versi Komnas Perempuan dilansir dari draf RUU PKS, yaitu :
1. Pasal 12 ayat (1)
Pasal ini mengatur definisi pelecehan seksual adalah kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk tindakan fisik atau non-fisik kepada orang lain, yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang dan terkait hasrat seksual, sehingga mengakibatkan orang lain terintimidasi, terhina, direndahkan, atau dipermalukan.
2. Pasal 13
Mengatur definisi eksploitasi seksual sebagai kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk kekerasan, ancaman kekerasan, tipu daya, rangkaian kebohongan, nama atau identitas atau martabat palsu, atau penyalahgunaan kepercayaan, agar seseorang melakukan hubungan seksual dengannya atau orang lain dan/atau perbuatan yang memanfaatkan tubuh orang tersebut yang terkait hasrat seksual, dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
3. Pasal 14
Mengatur definisi pemaksaan kontrasepsi, yaitu kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk mengatur, menghentikan dan/atau merusak organ, fungsi dan/atau sistem reproduksi biologis orang lain, dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan, sehingga orang tersebut kehilangan kontrol terhadap organ, fungsi dan/atau sistem reproduksinya yang mengakibatkan korban tidak dapat memiliki keturunan.
4. Pasal 15
Mengatur definisi pemaksaan aborsi, yaitu kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk memaksa orang lain untuk melakukan aborsi dengan kekerasan, ancaman kekerasan,tipu muslihat, rangkaian kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan.
5. Pasal 16
Mengatur definisi perkosaan, yaitu kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk kekerasan, ancaman kekerasan, atau tipu muslihat, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan untuk melakukan hubungan seksual.
6. Pasal 17
Mengatur definisi pemaksaan perkawinan, yaitu kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk menyalahgunakan kekuasaan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau tekanan psikis lainnya sehingga seseorang tidak dapat memberikan persetujuan yang sesungguhnya untuk melakukan perkawinan.
7. Pasal 18
Pasal ini mengatur definisi pemaksaan pelacuran sebagai kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk kekerasan, ancaman kekerasan, rangkaian kebohongan, nama, identitas, atau martabat palsu, atau penyalahgunaan kepercayaan, melacurkan seseorang dengan maksud menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain.
8. Pasal 19
Pasal ini mengatur definisi perbudakan seksual sebagai kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk membatasi ruang gerak atau mencabut kebebasan seseorang, dengan tujuan menempatkan orang tersebut melayani kebutuhan seksual dirinya sendiri atau orang lain dalam jangka waktu tertentu.
9. Pasal 20
Mengatur definisi penyiksaan seksual, yaitu kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk menyiksa korban.
10. Pasal 44
RUU PKS mengatur pembuktian yang memberikan kemudahan bagi korban untuk mendapatkan akses keadilan. Pada ayat (2), alat bukti lain yang diatur meliputi surat keterangan psikolog dan/atau psikiater, rekam medis dan/atau hasil pemeriksaan forensik, rekaman pemeriksaan dalam proses penyidikan, informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, dokumen, dan hasil pemeriksaan rekening bank.
11. Pasal 45 (1)
Pasal ini menyebut bahwa keterangan seorang korban sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah apabila disertai dengan satu alat bukti lainnya.
Sehingga membuat RUU PKS ini sangat menjadi pertimbangan untuk disahkan. Yang kemudian berganti nama menjadi Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS),Perubahan ini juga tidak surut dari pro dan kontra. Alasan Badan Legislasi (Baleg) melakukan pergantian nama RUU PKS menjadi RUU TPKS yaitu biar lebih membumi dan memudahkan para penegak hukum. Dan juga dinilai akan menjadi rancangan undang-undang yangberpihak kepada korban. Dalam diskusi pergantian nama ini pun melibatkan berbagai elemen masyarakat. Dari para pakar,Komnas Perempuan, hingga MUI.
Dalam draf awal RUU TPKS kini berisi 11 bab yang terdiri atas 40 pasal yang dimana pada Bab I berisi Ketentuan Umum dan Soal Tindak Pidana Kekerasan Seksual diatur pada Bab II. Terdapat 4 bentuk kekerasan seksual yang diatur dalam naskah terbaru RUU TPKS, yaitu pelecehan seksual (fisik dan nonfisik), pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan hubungan seksual, dan eksploitasi seksual.
Saat ini pembahasan RUU TPKS masih dalam tahap penyusunan naskah. Pada akhir bulan ini, tepatnya 25 November 2021 Badan legislasi (Baleg) akan memutuskan nasib dari Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).
Daftar Pustaka
https://nasional.tempo.co/read/1440656/masuk-prolegnas-2021-ini-11-pasal-krusial-di-ruu-pks
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.