Remaja Makin Sadis Dalam Asuhan Kapitalis
Edukasi | 2022-08-11 11:29:03Peringatan hari anak tahun ini masih membawa segudang PR bagi pemerintah. Kehidupan anak di negeri ini masih jauh dari kata terlindungi. Harapan terlahir generasi sehat, cerdas, beriman dan berakhlak karimah pun masih menemui banyak tantangan. Angka kekerasan pada perempuan dan anak terus mengalami pertambahan. Berdasarkan data real-time KemenPPPA melalui laman resminya, dari 1 Januari 2022 hingga saat ini saja, terdapat 12.933 jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Baru-baru ini ditemukan kasus kekerasan anak yang berujung pada kematian. Mirisnya lagi, hanya karena masalah utang Rp 150 ribu, hubungan persahabatan hancur hingga berujung pembunuhan. Peristiwa ini terjadi di Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi. (Suara.com, 02/08/2022).
Tak hanya itu, peristiwa berdarah juga terjadi di SMP Negeri 20 Satu Atap Sungai Tebal, Kecamatan Lembah Masurai, Kabupaten Merangin, Rabu (3/8) kemarin. Seorang siswa tewas ditikam temannya sendiri di lingkungan sekolah pada saat jam istirahat pelajaran. (Jambione, 04/08/2022)
Sungguh miris melihat kondisi ini, anak tidak memiliki tempat yang aman bahkan di rumah sendiri. Pelaku kekerasan anak bisa dari teman, orang dewasa, guru, bahkan keluarga dan orang tua sendiri.
Sebetulnya aksi kekerasan yang dilakukan remaja sudah terjadi berkali-kali. fenomena tersebut bukan lagi kebetulan atau kesalahan individu, melainkan kesalahan sistemis yang harus ketemu akar permasalahannya.
Untuk meminimalisir aksi kekerasan remaja, pemerintah telah menetapkan peraturan dalam pasal 71 Undang-undang No 11 Tahun 2012. selain itu juga memberikan sanksi pelaku dan mengeluarkan larangan aktifitas di jalan. Namun, ternyata upaya-upaya tersebut tidak cukup mampu untuk menangkal kekerasan remaja yang kian meresahkan. Bullying, pelecehan seksual hingga pembunuhan dengan senjata tajam di kalangan remaja saat ini seperti menjadi hal yang lumrah saja. Adapun yang melatarbelakangi berbagai aksi ini hanya karena hal-hal sepele saja. Seperti, dendam, saling ejek, ketegangan atar wilayah atu kelompok dan lain-lain.
Pemuda Krisis Identitas
Sepatutnya semua elemen masyarakat merasa prihatin dan miris dengan melihat kondisi para pemuda saat ini. Banyak anak muda yang terpapar krisis moral, su’ul adab dan senang melakukan kekerasan yang merupakan salah satu penyakit akhlak yang kini menjangkiti sebagian remaja di Tanah Air.
Memang, masa remaja adalah masa paling krusial. Mereka mengalami transisi dari fase anak-anak menuju dewasa, dimana seharusnya masih memiliki fitrah, empati, dan rasa kemanusiaan yang tinggi. Namun semua itu punah. Kebohongan, kekerasan, tawuran, pornoaksi, pergaulan bebas menggeluti dunia milenial kini.
Maraknya kasus kekerasan yang dilakukan oleh remaja sejatinya di pengaruhi oleh dua faktor, faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah hilangnya identitas hakiki diri remaja. Arus sistem sekuler yang menerjang kehidupan kaum muslim saat ini telah menjauhkan umat dari agamanya. Adanya sistem ini telah mampu mengikis identitas dan jati diri remaja sebagai hamba Allah. Mereka memandang kehidupan seakan sekadar tempat bersenang-senang. Akidah sekuler yang menjauhkan remaja dari aturan agama menjadikan mereka terombang-ambing dan terbawa arus. Jadilah remaja kita nirakhlak, gemar bermaksiat, dan berperangai buruk.
Adapun faktor eksternal terbagi menjadi tiga aspek, yaitu keluarga, lingkungan, dan negara. Faktor keluarga ialah paradigma kedua orang tua dalam mendidik anak-anak mereka. Jika paradigmanya adalah sekuler kapitalistik, anak-anak akan tumbuh menjadi generasi sekuler yang hanya berorientasi pada kesuksesan duniawi. Sebab, pada masa transisi inilah peran orang tua sangat dibutuhkan untuk membimbing dan membina mereka menjadi berkepribadian mulia. Ini agar para remaja tidak mudah terbawa arus sekularisasi dan liberalisasi yang tengah gencar menyasar generasi.
Faktor lingkungan juga sangat memengaruhi pembentukan kepribadian generasi. Rumah dan sekolah merupakan lingkungan tempat generasi menjalani kehidupan sosial mereka. Jika kedua lingkungan ini tidak mendukung, bisa menyebabkan berbagai pengaruh negatif pada perkembangan anak-anak.
Lingkungan adalah tempat anak-anak tumbuh dan berkembang. Jika masyarakat hidup dalam lingkungan sekuler, agama tidak lagi menjadu pedoman hidup secara mutlak. Islam tidak lagi menjadi standar dalam menilai perbuatan. Akibatnya, pergaulan remaja menjadi bebas nilai. Gaya hidup liberal dan hedonis telah merusak kehidupan remaja. Bahkan, bisa merenggut masa depan mereka, seperti zina, hamil di luar nikah, hingga aborsi.
Sedangkan faktor negara ialah penerapan kurikulum dan sistem pendidikan. Tugas negara adalah menciptakan suasana takwa pada setiap individu. Negara berkewajiban melindungi generasi dari paparan ideologi sekuler kapitalisme yang merusak kepribadian mereka.
Negara juga berkewajiban menyaring dan mencegah tontonan yang tidak mendidik. Salah satu penyebab remaja kita mengalami krisis moral juga karena tontonan yang tidak menuntun, seperti konten porno atau tayangan yang mengajarkan nilai-nilai liberal. Oleh karenanya, untuk menghasilkan generasi unggul, cerdas, dan bertakwa, tidak cukup mengurai masalah cabang saja. Sementara, akar masalahnya—kapitalisme—masih diterapkan.
Akar Masalah
Sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini dengan asas sekuler (pemisahan agama dari kehidupan) telah menghilangkan peran agama dalam mendidik remaja. Agama hanya dipakai untuk mengatur masalah spiritual (ibadah), sementara untuk masalah kehidupan, agama tidak boleh mengatur.
Pelajaran agama di sekolah tak ubahnya sekadar materi hapalan, seperti halnya pelajaran yang lain, tidak mampu memunculkan dorongan untuk mengamalkan. Akibatnya, remaja kering dari pemahaman Islam dan kosong dari nilai-nilai keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Ironisnya, alih alih menguatkan pemahaman agama di kalangan remaja, pemerintah justru gencar menggalakkan program deradikalisasi ke sekolah-sekolah dan kampus-kampus.
Paham liberalisme yang merupakan ide yang dilahirkan dari sistem kapitalisme telah memberikan kebebasan kepada remaja untuk melakukan apa pun atas nama hak asasi manusia (HAM), sekalipun bertentangan dengan aturan Islam.
Selain itu, sistem kapitalisme pun telah menciptakan ekonomi yang sulit, sehingga memaksa orang tua untuk bekerja ekstra keras untuk memenuhi tuntutan kehidupan. Dampaknya, lupa akan kewajiban dalam mengayomi, melindungi, dan mendidik anak-anak.
Kondisi masyarakat yang acuh tak acuh, permisif dan individualis, membiarkan individu bebas melakukan apa pun, mengabaikan fungsi kontrol sosial. Semua itu turut andil menjadi faktor penyebab maraknya kekerasan yang dilakukan remaja. Hal ini semakin diperparah dengan hilangnya peran negara sebagai pilar utama dalam melindungi remaja dari kerusakan. Negara seolah tidak peduli akan kondisi remaja sehingga membiarkan mudahnya akses situs-situs kekerasan, baik berupa film maupun berupa permainan (games), baik melalui media televisi, media massa, maupun media sosial.
Alhasil, penerapan sistem kapitalisme menjadi faktor utama yang menyebabkan semakin maraknya kekerasan yang dilakukan oleh remaja.
Sistem Islam Solusi Krisis Identitas Remaja
Mencetak generasi tangguh pembangunan peradaban Islam tidak mungkin hanya dilakukan di rumah. Islam sebagai agama yang paripurna memiliki mekanisme yang berbeda dalam melindungi remaja. Islam memandang semua pihak, baik keluarga, masyarakat, maupun negara, memiliki tanggung jawab yang sama dalam melindungi generasi muda.
Keluarga, terutama orang tua merupakan benteng pertama dalam menjaga, melindungi, dan mendidik anak di rumah. Orang tua sebagai madrasah pertama dan utama akan menanamkan nilai-nilai Islam kepada anak sehingga terbentuk kepribadian Islam pada diri mereka.
Begitupun masyarakat, memiliki peranan yang tidak kalah penting dalam menjaga anak anak. Lingkungan masyarakat merupakan tempat anak-anak tumbuh dan beraktivitas. Masyarakat akan melakukan kontrol sosial, yakni melakukan amar ma’ruf apabila terjadi kemaksiatan.
Namun, pihak yang memiliki peranan yang sangat penting dalam menjaga anak-anak adalah negara. Negara merupakan benteng utama dalam melindungi rakyat, termasuk anak-anak. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya Imam (khalifah) itu perisai dimana (orang-orang) di belakangnya (mendukung) dan berlindung dari musuh dengan kekuasaannya”. (H.R. Al Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Daud)
Negara akan menciptakan sistem ekonomi yang stabil. Negara akan memenuhi semua kebutuhan pokok rakyat, mulai dari sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Dengan begitu, orang tua, terutama ibu bisa lebih berkonsentrasi dalam menjaga, merawat, dan mendidik anak-anak mereka.
Islam pun akan menciptakan sistem pendidikan yang mampu membentuk kepribadian Islam yang utuh pada anak-anak, baik dari aqidah, tsaqofah, maupun penguasaan ilmu sains dan teknologi. Tidak hanya itu, negara dalam Islam akan menjauhkan segala hal yang bisa memicu kekerasan, baik dari media televisi, media cetak, maupun media sosial. Negara pun akan memberikan sanksi yang mampu memberikan efek jera kepada para pelaku tindak kekerasan. Dengan mekanisme ini, anak akan terlindungi dari ide-ide kapitalisme, liberalisme, dan segala hal yang bisa merusak mereka.
Saatnya negeri ini menyadari betapa sistem kapitalisme telah membawa begitu banyak kesengsaraan dan kerusakan. Ide kebebasan (liberalisme) yang lahir dari sistem ini sudah merusak generasi muda yang notabene generasi penerus kepemimpinan suatu bangsa. Saatnya negeri ini beralih kepada sistem Islam.
Sejarah telah mencatatnya dengan tinta emas bagaimana sistem Islam sudah nyata mampu melindungi rakyat, termasuk anak-anak dari kerusakan. Generasi di dalam Islam merupakan generasi yang berkualitas, generasi yang menorehkan begitu banyak prestasi. Wallahua’lam.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.