Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Tatang Hidayat

Masjid Al-Aqsha dan Sunan Kudus : Antara Utang Budi dan Monumen Kemesraan Indonesia Palestina

Sejarah | Tuesday, 09 Aug 2022, 10:34 WIB
Masjid Al-Aqsha Manarat Kudus (Sumber Gambar : wesata.id)

Oleh : Tatang Hidayat (Pegiat Student Rihlah Indonesia)

Untuk kesekian kalinya dunia Islam kembali merana, darah tumpah dimana-mana, dan menyisakan tangis serta air mata. Pasca runtuhnya Kekhilafahan Utsmaniyyah pada 3 Maret 1924, dunia Islam yang dulunya satu kepemimpinan dan satu tubuh menjadi terpecah belah menjadi negara-negara kecil sehingga memudahkan musuh-musuhnya untuk menguasai negeri-negeri Islam. Sejak saat itu, umat Islam bagaikan anak ayam yang tidak lagi memiliki induknya. Umat Islam bagaikan hidangan yang bisa diperebutkan oleh musuh-musuhnya yang ingin menguasainya tanpa perlawanan dan tak ada yang membelanya.

Salah satunya permasalahan penjajahan zionisme Israel terhadap Palestina yang telah menyebabkan ribuan warga Palestina terluka bahkan sudah merenggut korban jiwa ribuan umat Islam yang terdiri dari warga sipil, orang tua, wanita, anak-anak dan lain-lain sejak terjadinya penjajahan Israel di Palestina.

Kekejaman zionisme Israel yang didukung oleh Barat itu sudah hampir menguasai seluruh wilayah Palestina. Padahal dunia tahu, Israel sebelum tidak ada. Mereka adalah para pendatang dari Eropa dan mendapatkan tanah tersebut secara paksa setelah menghancurkan Kekhilafahan Utsmaniyyah terlebih dahulu.

Masjid Al-Aqsha adalah masjid milik kita, kaum muslimin. Bukan hanya milik bangsa Palestina. Dari sanalah dulu baginda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Mi’raj ke Sidratul Muntaha. Status kesucian itu tak berubah hingga akhir zaman. Siapa yang shalat di dalamnya akan mendapatkan pahala 500 kali lipat di luar masjid itu, kecuali Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.

Sementara bangsa Palestina adalah saudara kita. Bukankah Allah menetapkan bahwa sesama kaum mukmin sebagai saudara ? Meski tak sedarah, keimanan telah menyatukan kita semua. Islam telah menghilangkan berbagai sekat perbedaan, suku bangsa, ras, warna kulit, dan status sosial.

Bahkan dalam konteks bangsa Indonesia, hubungan kedekatan bangsa Indonesia dengan Palestina sudah jauh terbangun sebelum Indonesia lahir. Tepatnya sejak abad 15 M ketika mulai masifnya Islamisasi Nusantara masa Walisongo.

Diriwayatkan dalam beberapa sumber yang masyhur, ketika masifnya dakwah Islam masa Walisongo abad ke 15 M, saat itu ada seorang ulama dari Baitul Maqdis yang kita kenal sekarang Palestina, namanya Maulana Utsman Haji atau yang dikenal Sunan Ngudung datang mengarungi samudera sehingga sampai ke Ampel Denta, Surabaya.

Maulana Utsman Haji adalah putra Sultan di Palestina yang bernama Sayyid Fadhal Ali Murtazha yang berhijrah fii sabilillah hingga ke Jawa dan sampailah di Kesultanan Demak dan diangkat menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak.

Maulana Utsman Haji adalah seorang Imam Masjid Agung Demak. Dikarenakan Maulana Utsman Haji ini adalah seorang yang pandai berperang, oleh Maulana Rahmat Ali Rahmatullah (Sunan Ampel) direkomendasikan kepada raja Majapahit untuk menjadi pelatih tentara Majapahit.

Salim A Fillah (2020) menjelaskan Maulana Utsman Haji berangkat ke Raja Majapahit atas rekomendasi Maulana Rahmat Ali Rahmatullah. Kemudian Maulana Utsman Haji diangkat menjadi pelatih militer tentara kerajaan Majapahit. Hasil didikan Maulana Utsman Haji sangat luar biasa, didikannya menjadi tentara yang hebat semua.

Saat itu diriwayatkan ada seorang raja bawahan dari Majapahit, namanya Raja Kresna Kapakistan dari Kerajaan Gel Gel, yang sekarang di Kabupaten Karang Asem. Dalam kitab yang disebut sejarah Dalem Waturenggong dijelaskan ketika Raja Kresna Kapakistan melakukan kunjungan menghadap Majapahit, dan ketika mau pulang oleh Raja Majapahit dia dikasih hadiah, hadiahnya berupa 60 prajurit terbaik untuk mengawalnya ke Bali dan 60 prajurit terbaik ini dalam sejarah Dalem Waturenggong di Bali disebutkan semuanya nyamaselam, nyama artinya saudara, selam artinya Islam.

Inilah 60 muslim pertama di Bali, prajurit terbaik Majapahit yang dihadiahkan semuanya didikan Maulana Utsman Haji. Dengan riwayat ini dapat dinyatakan sebenarnya umat Islam di Bali memiliki hutang sejarah dan hutang budi kepada Palestina.

Maulana Utsman Haji punya anak laki-laki waktu itu, namanya Sayyid Ja’far Shadiq Azmatkhan yang dikenal dengan Sunan Kudus. Beliau adalah putra dari pasangan Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung) dengan Syariah Dewi Rahil binti Sunan Bonang. Nama Ja’far Shadiq diambil dari nama datuknya yang bernama Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib yang beristerikan Fatimah Az Zahra binti Nabi Muhammad SAW.

Sunan Kudus merupakan salah satu tokoh penyebar Islam di tanah Jawa yang memiliki pengaruh luas dan signifikan dalam perjuangan dakwah Islam di tanah Jawa. Inskripsi yang menjelaskan sosoknya pada Masjid Al-Aqsha di kota Kudus, Jawa Tengah, menekankan dua gelar yang begitu prestisius yakni Syaikhul Islam dan al-Qadhi (Muh. Sidiq HM, 2020).

Peran Sunan Kudus sebagai panglima perang Kesulanan Demak dibuktikan ketika ikut serta menyerang kafir Portugis di Melaka bersama putra mahkota Sultan Pati Unus. Muh. Sidiq HM (2020) bahkan mencatat kegemilangan kepemimpinan militer Sunan Kudus dibuktikan ketika melakukan penyerangan ke jantung ibukota Majapahit Girindrawardhana. Peperangan ini turut menyertai Sunan Giri, Sunan Mejagung, dan Sunan Gunung Djati.

Setelah matahari terbit, perang pun pecah dengan sengit. Dengan adanya pasukan-pasukan khusus dari berbagai wilayah, nampak pasukan Demak tak butuh waktu lama untuk bisa menggempur pasukan Girindra Wardhana. Mereka kocar-kacir banyak yang melarikan diri. Pasukan Demak terus merangsek maju, hingga sampai di kotapraja Trowulan, ternyata istana sudah dikosongkan. Kegemilangan kepemimpinan militer Sunan Kudus juga mampu dibuktikan dalam upaya pemberantasan gerakan kudeta yang dilakukan oleh Ki Ageng Pengging murid dari Syaikh Siti Jenar yang mengajarkan ajaran menyimpang.

Sementara itu, selain menjadi komandan militer, atas kedalaman ilmu fiqih dan ketatanegaraan yang dimiliki oleh Sunan Kudus, pada masa berdirinya Kesultanan Demak, beliau diminta bersama Sunan Giri untuk menyusun sebuah kitab undang-undang yang akan diterapkan sebagai sumber hukum kesultanan. Dari usaha yang dilakukan kedua tokoh tersebut, maka lahirlah sebuah kitab hukum undang-undang pidana maupun perdata yang disebut “Angger-Angger Suryangalam”. Dari sinilah kemudian Sunan Kudus juga dipercaya sebagai salah satu Qadhi atau Hakim Agung di Kesultanan Demak, hingga akhirnya beliau memutuskan untuk menetap di daerah Kudus dan meletakan semua jabatan yang beliau emban selama mengabdi kepada Kesultanan Demak (Muh. Sidiq, HM, 2020).

Ketika Sunan Kudus berdakwah di Kudus, beliau membangun masjid. Dikarenakan rindunya sama tanah kelahiran, masjidnya diberi nama sama dengan masjid di tanah kelahirannya, masjid suci ketiga umat Islam yakni Masjid Al-Aqsha. Bahkan ada yang meriwayatkan, peletakan batu pertama menggunakan batu dari Baitul Maqdis di Palestina. Masjid Al-Aqsha Manarat Qudus dibangun sejak tahun 956 H / 1549 M.

Salim A Fillah (2020) menjelaskan di samping masjid itu, beliau membangun menara yang sangat cantik, bentuknya seperti candi Hindu, kemudian kota tempat beliau tinggal akhirnya diberi nama dengan kota kelahirannya. Pada saat itu Baitul Maqdis atau Yerussalem dikenal dalam dunia Islam sebagai kota al Quds, maka beliau kasih nama juga kotanya ini sebagai kota Al Quds. Tetapi karena orang Jawa itu ketika disuruh membaca qof itu susah, maka kota itu dikenal sebagai Kudus. Jadi kota Kudus ini monumen persaudaraan Indonesia dan Palestina sejak abad ke 15 M.

Sementara itu, Dwi Wahyuningsih (2021) mencatat Kota Kudus adalah monumen kerinduan tentang Al-Aqsha. Sebuah kota dengan nama yang sama dengan tempat asal sang Pendakwah. Bahkan satu-satunya nama tempat yang namanya berasal dari bahasa Arab di antara seluruh tanah Jawa ini. Kudus diambil dari nama tempat asal Sunan Kudus yang pada masa itu memang popular disapa Al-Quds. Maka dalam lisan masyarakat Jawa pada masa itu, disebutlah dengan nama Kudus karena lebih mudah diucapkan.

Yang menarik bukan sekedar nama kotanya. Namun dari segi nama bangunan dan tempat pun dibuat layaknya miniatur di Baitul Maqdis sana sebagaimana dalam buku Solichin Salam (1977) yang berjudul Kudus Purbakala dalam Perjuangan Islam yang dikutip Dwi Wahyuningsih (2021). Seperti nama Al-Aqsha pada masjid yang dibangun oleh Sunan Kudus yang senama dengan masjid Al-Aqsha di Baitul Maqdis. Kemudian, nama gunung yang ada di sebelah utara Kota Kudus yang bernama Muria. Jika kita menengok lokasi atau peta di Palestina, ada sebuah bukit karang dengan nama serupa, yakni Moriah yang kelak akan dijadikan sebagai Masjid Umar.

Solichin Salam (1977) dalam Dwi Wahyuningsih (2021), menyebutkan penamaan Muria berasal dari nama bukit di Palestina tersebut. Menariknya adalah, bahwa di atas Gunung Muria tersebut juga didirikan masjid yang pendiri masjid tersebut juga bernama Umar atau lebih tepatnya Umar Said (Sunan Muria) sebagaimana bukit Moriah dengan Masjid Umar yang didirikan Umar ibn Khattab ketika datang ke Baitul Maqdis.

Dari deretan fakta ini, tidak aneh rasanya jika kita sebut Kota Kudus sebagai miniatur Baitul Maqdis. Mulai dari nama kota, masjid, hingga gunungnya pun nampaknya memang sengaja disesuaikan dengan kondisi tempat di Baitul Maqdis. Kota Kudus, layaknya sebuah monumen kerinduan tentang Al-Aqsha. Bukan hanya monumen kerinduan Sayyid Ja’far As-Shadiq dengan tanah kelahirannya, namun boleh jadi di masa dewasa ini, juga adalah kerinduan kita sebagai umat muslim terhadap pembebasan Al-Aqsha dari tangan para penjajah Zionis tersebut.

Di masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, hubungan mesra Indonesia dan Palestina pun dilanjutkan. Asma Nadia (2019) mencatat sebenarnya jika diurut sejak awal, pembelaan ini bermula dari dukungan seorang Mufti besar Palestina yang mengakui kemerdekaan Indonesia sejak masa penjajahan Jepang. Ya, jauh sebelum negara lain.

Hal tersebut diungkap dalam buku "Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri", yang ditulis oleh M. Zein Hassan Lc pun dalam buku "Ziarah Sejarah; Mereka yang Dilupakan" karya Hamid Nabhan.Pada tahun 1944 Jenderal Kuniaki Koiso (Perdana Menteri Jepang) berjanji akan memberi kemerdekaan terhadap Indonesia.Mufti Besar Palestina, Syaikh Muhammad Amin Al-Husaini secara terbuka mengumumkan dukungannya atas kemerdekaan Indonesia via Radio Berlin berbahasa Arab. Berita yang disiarkan melalui radio tersebut terus disebarluaskan selama 2 hari berturut-turut.

Bahkan buletin harian “Al-Ahram” yang terkenal juga menyiarkan. Saat itu, sang ulama tengah bersembunyi di Jerman pada permulaan Perang Dunia II, berjuang melawan imperialis Inggris dan Zionis yang ingin menguasai kota Al-Quds, Palestina.Tak hanya memberi dukungan, Syaikh Muhammad Amin Al-Husaini kemudian mendesak Negara-negara Timur Tengah lain untuk mengikuti jejaknya. Seruan yang disampaikan Syaikh Muhammad Amin Al-Husaini ini lalu disambut baik oleh Mesir. Setelah Palestina, Mesir merupakan negara yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Mesir mengakui kedaulatan Republik Indonesia tepatnya pada 22 Maret 1946

Tak hanya Amin, ada beberapa tokoh lainnya yang juga berjasa bagi Indonesia untuk meraih pengakuan tersebut. Salah satunya saudagar kaya sekaligus jurnalis Palestina Muhammad Taher Ali.

Bangsa Indonesia punya hutang sejarah dan hutang budi kepada Palestina, karena kemerdekaan Indonesia saat ini tidak akan pernah hadir tanpa peran Palestina. Begitupun nikmat iman dan Islam yang sampai saat ini kita rasakan salah satunya atas peran pendakwah yang berasal dari Palestina, yakni Maulana Utsman Haji dan Syaikh Ja’far Shadiq atau Sunan Kudus.

Pada awal November 2019 – awal Desember 2019 dalam lawatan saya keliling tanah Jawa untuk napak tilas perjuangan dakwah Walisongo, saat itu setelah melakukan napak tilas di daerah Jawa Timur, saya melanjutkan perjalanan ke daerah Jawa Tengah seperti Semarang, Demak dan Kudus.

Setelah napak tilas di Masjid Agung Demak dan Komplek Makam Raden Fatah serta Komplek Makam Sunan Kalijaga, atas dasar cinta, ta’zhim dan penasaran siang terik kala itu saya melanjutkan perjalanan ke arah timur Kota Demak. Atas izin Allah Subhanahu Wa Ta’ala, siang itu saya diberikan kesempatan yang mulia dan berharga bisa napak tilas di kota Kudus serta berziarah ke makam sang Qadhi dan Panglima Perang Kesultanan Demak yakni Sunan Kudus.

Selanjutnya saya melakukan shalat di Masjid Al-Aqsha Manarat Qudus yang dibangun oleh Sunan Kudus, shalat di Masjid Al-Aqsha Manarat Qudus setidaknya bisa sedikit mengobati kerinduan saya yang belum bisa bersujud di Masjid Al-Aqsha Baitul Maqdis.

Berolah-alih dengan suasana komplek makam Sayyid Ja’far Shadiq (Sunan Kudus) dan Masjid Al-Aqsha Manarat Qudus dengan melibatkan perasaan seolah saya dibawa menembus ruang dan waktu layaknya sedang berolah-alih di Masjid Al-Aqsha Baitul Maqdis, Palestina. Dengan napak tilas, kerinduan dan kecintaan saya yang belum bisa bersujud di Masjid Al-Aqsha, Baitul Maqdis setidaknya sedikit terobati.

Hadirnya Sunan Kudus di tanah Jawa, Nusantara yang sekarang bernama Indonesia adalah bukti cinta dan hubungan mesra antara Indonesia dan Palestina yang sudah terbangun jauh hari, bahkan sebelum Indonesia lahir.

Masjid Al-Aqsha Manarat Qudus adalah monumen kerinduan tentang Masjid Al-Aqsha Baitul Maqdis. Menara Kudus adalah monumen persaudaraan Indonesia dan Palestina. Kota Kudus adalah monumen hubungan mesra Indonesia dan Palestina. Oleh karena itu, bangsa Indonesia memiliki hutang sejarah dan hutang budi kepada Palestina. Hutang sejarah dan hutang budi ini harus dibayar sampai anak cucu kita kelak selama penjajah zionisme Israel masih merampas bumi Palestina.

Saat ini Palestina sedang merana dan dinista bagaikan anak ayam yang tidak memiliki induknya, sangat ironis jika kita umat Islam Indonesia membiarkan tanah Palestina dirampas oleh Zionisme Israel dan bangsa Palestina dihinakan oleh Zionisme Israel. Sangat ironis jika ada Muslim membiarkan Muslim yang lain dalam kondisi tertindas, terlebih lagi dia penguasa yang memiliki kemampuan untuk menolong saudaranya. Dan yang lebih sangat ironis, bila ada penguasa Muslim bersekutu dengan para penindas saudaranya.

Palestina adalah persoalan kita bersama. Masalah utama mereka adalah penjajahan. Bukan kelaparan, kemiskinan atau kesehatan. Maka, masalah ini akan selesai manakalah penjajah diusir dari wilayah tersebut. Ini adalah akar masalahnya. Selama Zionisme Israel ada, Palestina akan terus terhina.

Tapi, tanpa negara yang melindungi Palestina khususnya dan umat Islam pada umumnya, sanggupkan tanah suci kaum muslim dibebaskan ? Tidak.

Negara harus dilawan dengan negara. Tak boleh ada kompromi. Dan itu hanya bisa dilakukan oleh negara yang menerapkan Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Karena itu, inilah urgensi kaum muslim bersatu dan mengangkat pemimpin sejati sebagai junnah (pelindung) umat Islam sebagaimana dulu zaman Khulafaur Rasyidin, mengikuti manhaj kenabian.

Kita perlu terus mendorong para penguasa muslim, karena mereka memiliki kekuatan nyata, untuk menolong Palestina. Mengusir zionisme Israel dari bumi Palestina. Jika mereka punya tentara, kirim tentara kesana. Inilah wujud ukhuwah sesama muslim dan kecintaan sejati kepada Islam. Wallohu’alam bi al-Shawab

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image