Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Adeummunasywah Adeummunasywah

Pajak Menjerat Sistem Islam Pengurainya

Politik | Sunday, 07 Aug 2022, 07:10 WIB

Pajak Menjerat Sistem Islam Pengurainya

Oleh : Ismawati ( Ibu Peduli Generasi )

Direktorat Jendral Pajak ( DJP ) Kementerian Keuangan ( Kemenkeu ) telah mensahkan penggunaan Nomor Induk Kependudukan ( NIK ) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak ( NPWP ) pada selasa ( 19/7/2022 ) lalu. Dengan begitu, wajib pajak orang pribadi kini dapat memakai NIK dalam memenuhi hak dan kewajiban perpajakannya. Namun, kebijakan ini memicu sejumlah pertanyaan dan anggapan di masyarakat. Terutama soal nantinya semua masyarakat menjadi wajib pajak dan harus membayar pajak. Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menjelaskan, Undang - undang ( UU ) perpajakan mengatur dengan tegas wajib pajak orang pribadi adalah mereka yang bertempat tinggal di Indonesia dan memiliki penghasilan melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak ( PTKP ) Rp 54 juta setahun atau Rp 4,5 juta sebulan. " Dibawah itu tentu tidak wajib mendaftarkan diri sebagai wajib pajak. NIK sebagai NPWP justru akan mempermudah administrasi bagi masyarakat. Karena tidak perlu mengingatkan mencatat begitu banyak identitas. Kita akan dimudahkan, " Jelasnya. Proses transisi NIK sebagai NPWP berlangsung sampai 2023 dan akan berlaku pada 1 Januari 2024 secara penuh. KONTAN. CO. ID.

Kebijakan demi kebijakan selalu dibuat namun tidak pernah menyelesaikan persoalan. Yang ada bahkan sering membuat keresahan dikalangan masyarakat. Betapa tidak pasca pandemi yang belum pulih secara ekonomi pemerintah justru membuat kebijakan seluruh warga negara menjadi wajib pajak dengan penggunaan Nomor Induk Kependudukan ( NIK ) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak ( NPWP ) hal ini sangat membebani masyarakat di tengah kesulitan ekonomi yang melanda, yang tidak hanya di Indonesia namun juga di negara - negara lain justru pemerintah membuat kebijakan yang tidak pro rakyat. Apakah hal ini menunjukkan indikasi bahwa APBN kita sedang tidak baik - baik saja . Dikarenakan sektor pajak adalah termasuk sumber devisa negara yang begitu besar. Karena pajak adalah merupakan andalan utama ekonomi kapitalis. Peningkatan pendapatan negara dari pajak merupakan dampak dari kebijakan ekonomi kapitalis yang meminimalkan peran negara dalam perekonomian. Jadi wajar jika setiap tahunnya selalu terjadi target peningkatan pajak baik jenis pajak dan juga jumlah pembayar pajak. Cengkraman ini semakin kuat dengan menetapkan jumlah para wajib pajak dilipat gandakan sehingga di tetapkanlah Nomor Induk Kependudukan ( NIK ) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak ( NPWP ) seolah - olah mereka menjadikan pajak sebagai alat untuk mengatur pelaksanaan kebijakan di bidang ekonomi dengan harapan pajak menjadi sarana untuk pendistribusian kekayaan dari orang kaya kepada orang miskin. Namun kenyataannya justru tidak pernah terealisasi, alokasi subsidi untuk rakyat bahkan semakin berkurang sehingga kesejahteraan rakyat terabaikan.

Pajak sendiri dalam Islam adalah salah satu sumber pendapatan negara hanya sebagai solusi dalam keadaan darurat, yaitu dimana sumber pendapatan yang lain tidak dapat mencukupi kebutuhan baitul maal tapi jika baitul maal ( kas negara ) sudah mencukupi makan pajak harus dihapus. Dalam sistem Islam juga tidak akan menetapkan pajak tidak langsung termasuk pajak pertambahan nilai, pajak barang mewah, pajak hiburan, pajak jual - beli dan pajak macam - macam yang lain. Selain itu dalam sistem Islam juga tidak akan menetapkan biaya apapun dalam pelayanan publik, seperti biaya kesehatan, pendidikan dan keamanan. Karena itu, pajak di dalam Islam bukan untuk menekan pertumbuhan, bukan menghalangi orang kaya atau menambah pendapatan negara, kecuali diambil semata untuk membiayai kebutuhan yang ditetapkan oleh syara'. Begitu juga negara tidak akan memungut biaya - biaya administrasi, termasuk denda layanan publik seperti PLN, PDAM, Telkom, dan sebagainya. Termasuk juga tidak memungut biaya pembuatan SIM, KTP, KK, surat - menyurat dan sebagainya. Karena semuanya sudah menjadi kewajiban negara kepada rakyatnya. Namun ketika harta itu tidak ada di baitul maal maka menjadi instrumen untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi oleh negara. Dan itu kemudian hanya di bebankan kepada umat Islam dan itu insidental karena tidak di ambil secara tetap tergantung kebutuhan yang di benarkan oleh syara ' untuk mengambilnya. Syara' telah menetapkan sejumlah kewajiban dan pos yang ada atau tidak adanya harta di baitul maal tetap harus berjalan, jika di baitul maal ada harta, maka di biayai oleh baitul maal. Jika tidak ada kewajiban tersebut berpindah kepada kaum muslimin. Maka pemimpin negara ( khalifah ) boleh menggunakan instrumen pajak sampai kewajiban dan pos tersebut bisa dibiayai, atau baitul maal mempunyai dana untuk mengcover nya. Wallahu A'lam Bishawwab .

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image