KIS-BPJS, Asuransi Konvensional yang Sudah Sesuai Syariah
Agama | 2022-08-04 21:50:47KIS-BPJS, ASURANSI KONVENSIONAL YANG SUDAH SESUAI SYARIAH
“Kamu sudah punya BPJS belum?” tanya seseorang suatu ketika.
“Saya peserta BPJS Mandiri lho!”, ungkap seseorang lainnya.
Kebanyakan orang masih salah kaprah dalam menyebut KIS dengan BPJS. Padahal BPJS itu adalah lembaga (institusi), sedangkan KIS adalah program (produk)nya. KIS (Kartu Indonesia Sehat) sendiri merupakan produk asuransi resmi buatan pemerintah melalui lembaga yang dibentuknya, yaitu BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan. Setiap warga negara wajib mengikuti program KIS tanpa terkecuali.
Selanjutnya, muncul pertanyaan mendasar: Apakah asuransi KIS sudah sesuai syariat Islam atau belum? Atau tak ada bedanya dengan asuransi konvensional lainnya yang mengandung gharar (spekulasi) dan riba? Mari kita lihat terlebih dahulu fakta-faktanya berikut ini.
Jaminan kesehatan merupakan hak setiap warga negara. Oleh karena itu, pembiayaan kesehatan yang dikeluarkan oleh setiap warga negara seharusnya menjadi tanggung jawab negara. Dalam kondisi keuangan negara yang belum mampu menanggung seluruh biaya kesehatan rakyatnya, maka negara diperbolehkan memungut dari sebagian warga yang mampu untuk membantu warga yang tidak mampu. Sangat tidak bijak jika negara juga memungut dari warga yang tidak mampu.
Secara prinsip, KIS sama seperti asuransi takaful (asuransi syariah), yaitu menggunakan akad hibah. Selain itu, BPJS hanya sebagai pengelola yang ditunjuk oleh negara. Dana operasional ditetapkan setiap tahunnya. Jika ada kelebihan dana maka dana akan dikembalikan kepada negara. Sebaliknya, jika ada kekurangan dana maka akan ditutup oleh negara. Bukan pihak kedua yang diuntungkan atau dirugikan akibat adanya klaim dari peserta.
Adanya gharar dalam pelunasan biaya BPJS kepada penyelenggara kesehatan tidak merusak akad, karena nisbahnya hanya sedikit, yaitu dengan cara pihak BPJS mengelompokkan rumah sakit penerima dana BPJS kepada beberapa kelas. Dengan demikian, unsur gharar dalam hal ini bisa diminimalkan. Dan gharar yang sedikit, diperbolehkan oleh kesepakatan para ulama.
Akan tetapi, adanya riba (denda keterlambatan) pembayaran premi BPJS menyebabkan hukum mengikuti program BPJS secara syar’I dikelompokkan menjadi:
1. Peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran)
PBI dikhususkan bagi orang miskin, sehingga mereka tidak perlu membayar premi (gratis). Hukum orang miskin mengikuti program ini adalah diperbolehkan, karena mereka tidak membayar premi, terlebih denda keterlambatan.
2. Peserta non-PBI
Diperuntukkan bagi ASN/Polri/TNI, organsiasi, atau institusi. Pembayaran premi sebagian ditanggung oleh institusi, sebagian lagi ditanggung oleh peserta. Bagi peserta yang preminya tidak dipotong dari gaji, masih diperbolehkan mengikuti program BPJS karena tidak mungkin terjadi keterlambatan. Sekalipun terjadi keterlambatan, menjadi tanggung jawab lembaga atau perusahaan. Dan akad keikutsertaannya adalah hibah dari perusahaan.
3. Peserta Iuran Mandiri
Peserta yang tidak dibayarkan oleh negara maupun instansi, maka tidak boleh mengikuti asuransi ini jika masih diberlakukan denda keterlambatan, karena ini mengandung unsur riba.
Dalam kondisi ketika pemerintah mewajibkan seluruh warga negara untuk menjadi peserta BPJS dan jika seseorang tidak mengikutinya, maka hak-haknya sebagai warga negara tidak akan dipenuhi oleh negara (tidak akan mendapatkan pelayanan publik); dengan demikian tidak mengapa ia menjadi peserta BPJS karena terpaksa sekalipun ia peserta iuran mandiri. Dalam hal ini, hukum menjadi peserta BPJS sama dengan membayar asuransi jiwa yang sudah termasuk ke dalam harga tiket angkutan umum yang tak dapat dielakkan.
Akan tetapi, ketika terjadi risiko yang dipertanggungkan, maka tidak halal bagi peserta BPJS yang mampu menikmati fasilitas pelayanan kesehatan melebihi premi yang ia bayar, karena akadnya mengandung unsur gharar dan riba.
Solusi Penghapusan Denda
Adanya penghentian keanggotan jika menunggak selama 3 bulan bagi perusahaan dan menunggak 6 bulan bagi perorangan. Insya Allah dengan sanksi demikian, sudah cukup untuk membuat peserta BPJS disiplin dalam membayar premi asuransi. Wallahu a’lam bish-shawab.
Sumber referensi: Dr. Erwandi Tarmizi, MA, Harta Haram Muamalat Kontemporer, PT Berkat Mulia Insani, Bogor, 2021 (cetakan ke-24).
Catatan: Apabila ada kekeliruan, silakan untuk diluruskan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.