Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Indra Mannaga

Tembakau Yang Dipanaskan, Sensasi Nikotin Namun Lebih Rendah Risiko Terpapar Zat Berbahaya

Gaya Hidup | 2021-11-22 09:42:43

Mengutip laporan Southest Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) yang berjudul The Tobacco Control Atlas, ASEAN Region, Indonesia merupakan negara dengan jumlah perokok terbanyak di ASEAN, yakni mencapai 65,1 juta orang. Setelah itu, baru diikuti Filipina sebagai jumlah terbanyak kedua, sebanyak 16,5 juta.

Umumnya, penggunaan produk tembakau dikonsumsi dengan cara dibakar. Tapi hari ini, berbagai jenis baru dari produk tembakau alternatif terus bermunculan. Di antaranya ada rokok elektrik (e-cigarettes) dan produk tembakau yang dipanaskan (heated tobacco products).

Menariknya, masih banyak di antara kita yang mengira bahwa rokok elektrik dan produk tembakau yang dipanaskan adalah jenis yang sama, padahal tidak. Meski keduanya sama-sama berperan sebagai pengantar kebutuhan nikotin serta tidak menghasilkan asap dan abu, perbedaan kedua produk tembakau alternatif ini terletak pada penggunaan bahan baku dan cara kerjanya.

Pada rokok elektrik, bahan bakunya berupa cairan nikotin yang diekstraksi dari tembakau atau sumber lainnya. Lalu cairan nikotin tersebut dipanaskan oleh semacam atomizer atau sistem pemanas elektrik. Melalui cara kerja ini ironisnya masih sama berbahaya dengan rokok konvensional sebelumnya. Lantaran memanaskan langsung cairan nikotin, alih-alih sedang mengonsumsi tembakau.

Sementara pada produk tembakau yang dipanaskan, bahan bakunya masih mempertahankan tembakau asli yang dibentuk menyerupai batang-batang tembakau rokok. Batang-batang itu lalu dipanaskan pada suhu tertentu, hingga menghasilkan uap yang mengantarkan kebutuhan nikotin harian.

Pada tembakau yang dipanaskan tidak ada proses pembakaran, maka produk ini tentu tidak menghasilkan TAR dan menekan jumlah zat kimia berbahaya. Artinya, risiko pada tembakau yang dipanaskan relatif lebih rendah daripada rokok konvensional, bahkan rokok elektrik sekalipun.

Anggapan ini diperkuat berdasarkan riset Institut Federal Jerman untuk Penilaian Risiko (German Federal Institute for Risk Assessment atau BFR) pada 2018 yang menyatakan bahwa produk tembakau yang dipanaskan memiliki tingkat toksisitas (tingkat merusak suatu sel) lebih rendah hingga 80 sampai 99 persen daripada rokok konvensional.

Penelitian lain seperti yang dilakukan UK Committee on Toxicology (COT), bagian dari Food Standards Agency juga menyimpulkan bahwa produk tembakau yang dipanaskan mampu mengurangi bahan kimia berbahaya sebesar 50 hingga 90 persen dibandingkan dengan asap rokok.

Sementara itu, Peneliti Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP), Amaliya pernah menjelaskan, produk tembakau yang dipanaskan bisa menjadi alternatif baru bagi perokok untuk memilih risiko yang lebih rendah.

“Jika mengedepankan data, produk ini lebih rendah risiko dibandingkan rokok yang dibakar. Memang tidak seratus persen bebas risiko kesehatan, namun produk ini dapat menjadi alternatif bagi perokok dewasa yang masih ingin mendapatkan akses mengonsumsi nikotin melalui produk yang menyerupai rokok," ungkap Amaliya di Jakarta, Selasa (29/10/2019).

Sebagai informasi, tembakau yang dipanaskan sudah dikaji selama bertahun-tahun oleh U.S. Food and Drug Administration (U.S. FDA), Amerika Serikat. Hasilnya menunjukkan bahwa produk ini sesuai dengan perlindungan kesehatan masyarakat, U.S. Sehingga FDA mengizinkan penjualan tembakau yang dipanaskan.

Mantan Komisioner U.S. FDA, Scott Gottlieb, bahkan mengajak para produsen rokok elektrik untuk mengikuti proses yang dijalankan oleh produk tembakau yang dipanaskan. Mengingat sejumlah kasus kesehatan yang disebabkan penggunaan rokok elektrik.

Lebih lanjut, Amaliya mengharapkan Pemerintah agar lebih terbuka memberikan izin penjualan terhadap salah satu merek dari produk tembakau yang dipanaskan tersebut.

“Kami berharap pemerintah dapat lebih terbuka terhadap kehadiran produk tembakau alternatif yang sudah terbukti di beberapa negara, seperti Inggris dan Jepang, dapat menurunkan angka perokok dan terbukti secara ilmiah memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah daripada rokok,” tegas Amaliya.(*)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image