Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Liza Arjanto

Gadis Dengan Sebatang Pohon Yang Tumbuh Di Hatinya

Sastra | Sunday, 21 Nov 2021, 18:16 WIB
Foto : Fixabay

Gadis itu, panggil saja, Ning. Seperti hari pertama aku mengenalnya, ia tengah terdiam menatap langit senja. Matanya yang bulat terlihat kosong. Entah apa yang dipandangnya. Langit biru yang pelahan memudar, ataukah pendaran cahaya jingga yang meraja di langit barat. Tidak seorang pun tahu.

Sekali waktu aku pernah bertanya padanya. Mengapa ia selalu menanti senja layaknya manusia lanjut usia yang bosan hidup? Ia balas menatap mataku tajam, namun kemudian kembali terpekur menatap langit tanpa berkata sepatah kata pun. Ia baru berhenti menengadah ketika gelap sudah betul-betul meraja.

Ia akan beranjak dari tempatnya tatkala bintang barat bercahaya dan burung-burung emprit yang semula meracau riuh pelahan berbisik lirih dalam sarang-sarang mereka. Kegelapan serupa tangan magis yang menyihir. Ning pun melangkah memasuki rumahnya.

*

Pagi itu Ning tersenyum. Ini sungguh tak biasa. Wajahnya tampak berbinar. Kebekuan yang selama ini memberati wajahnya memudar. Aku melihat Ning bergegas keluar rumah. Ia membawa sebuah bungkusan yang disembunyikannya dalam sebuah tas kumal. Lantas menghilang di tikungan jalan.

Menjelang senja Ning baru pulang. Tubuhnya tampak letih namun wajahnya terlihat bahagia. Sejak hari itu, aku tak pernah lagi melihat Ning termenung menatap langit senja di beranda. Sebagai gantinya, Ning akan selalu pergi pagi hari dan pulang menjelang malam. Tak ada yang tahu apa yang dilakukannya sepanjang hari.

**

Suatu hari di pagi yang cerah. Burung-burung riuh berkicau. Aku melihat Ning yang tampak tergesa melangkah keluar rumah. Bungkusan itu tampak semakin besar. Ning tampak kepayahan menyandang bungkusan yang kini tak bisa lagi disembunyikan di balik punggungnya.

“Ning, apa yang kau bawa itu?” tanya Mak heran. Ning memandang Mak penuh arti. Tatapan Mak beralih kepadaku. Aku mengerti, Mak ingin aku mengikuti Ning.

Beberapa waktu lalu Mak bercerita kepadaku. Bahwa selama ini Mak- lah yang merawat Ning seorang diri. Sejak gadis itu masih bayi merah. Mungkin umurnya baru beberapa hari, ketika seseorang meletakkan kardus berisi bayi itu persis di muka pintu rumahnya, limabelas tahun yang lalu.

Sejak itulah Mak merawat bayi yang diberinya nama Ning. Ujar Mak, tak ada alasan khusus, ia hanya merasa senang mendengar nama Ning, seperti nada indah yang berdenting di telinganya setiap kali memanggil atau mendengar nama itu disebut. Lagipula bayi itu begitu ayu. Ning segera mengisi hari Mak yang sunyi di gubuk tua tak jauh dari bibir pantai.

Berbeda pada anak-anak pada umumnya, Mak tak mengira bila Ning tumbuh menjadi anak yang begitu merepotkan. Seumur hidupnya Mak tak pernah menemukan atau mendengar anak yang berperilaku seperti Ning, anaknya itu.

Ia tak pernah mau bicara. Tak pernah mau menatap mata tuanya yang mulai letih. Ia bermain sendiri dan tak menghiraukan sekelilingnya. Dan bila menangis, Ning sanggup melakukannya selama berjam-jam. Hanya berhenti ketika lelah sudah mendera tubuh mungilnya. Hingga ia tumbuh menjadi seorang gadis, tak sepatah kata pun Mak mendengar keluar dari mulutnya.

Di antara rasa heran dan bingung yang mengepungnya, rasa cinta Mak terhadap Ning semakin dalam. Pada saat-saat bersantai selepas menyiangi ladang dan menanam ketela dan jagung, Mak selalu bercerita pada Ning. Meski pun gadis itu hanya diam membisu.

Sekali waktu aku memperhatikan Mak duduk di atas bale reyot. Ia memangku kepala Ning. Sambil mencari kutu-kutu yang tak kunjung habis, Mak menceritakan tentang perjalanan hidupnya yang sederhana. Tentang penantiannya yang tak kunjung usai. Tentang seorang nelayan yang terluka dan dirawatnya dengan penuh cinta. Nelayan yang pergi membawa sekeping hati mudanya.

Sejak usia kanak-kanak, Ning adalah pendengar yang baik. Pendengar yang tak pernah sekali pun menyela cerita Mak. Ning tak pernah protes atau merasa bosan dengan cerita yang itu-itu saja. Matanya senantiasa berbinar setiap kali mendengar cerita Mak.

“Pohon-pohon bakau itu, Ning, sudah tak ada. Dulu di akar pohon itulah aku menemukan lelaki itu terkulai tak berdaya. Akar-akar pohon itu serupa tangan yang menimang tubuhnya yang lemah.” Mata Mak menerawang ke balik awan kumulus berbingkai biru langit. Semilir angin laut yang asin hinggap di cuping hidung Ning, ia menyukainya. Ning menatap mata Mak yang berkabut. Kabut yang sama tumbuh di mata Ning.

“Dulu, Ning, kami sering mencari udang dan kepiting yang bersarang di lumpur di bawah pohon-pohon itu. Ah, kau tak tahu betapa lihai lelaki itu menangkap kepiting. Betapa gagahnya ia ketika menatap laut lepas. Ia selalu melakukan itu ketika kesehatannya mulai pulih. Ia lelaki yang rajin dan tahu diri. “

Mak menghela napas. Ceritanya hampir mendekati usai. Dan selalu menjadi bagian tersulit. Namun ia tak ingin berhenti. Dengan suara serak, ia melanjutkan cerita.

“Suatu hari, lelaki itu berkata, bahwa ia akan pergi. Aku berusaha mencegahnya. Tapi lelaki itu berjanji. Ia akan kembali suatu saat nanti. Ketika bakau berbuah, dan akar kecambahnya menghunjam bumi. Ia akan datang.

Sayangnya buah-buah bakau itu selalu hanyut dibawa arus. Dan bakau-bakau tua itu pun mulai ditebangi. Seperti kau lihat, pesisir ini menjadi gersang. Sampah-sampah dan semak tak berguna menggantikan hutan-hutan bakau. Tanah-tanah terkikis. Gelombang pasang tak lagi menimbulkan rasa tenteram. Dan, lelaki itu tak kunjung kembali.”

Ning memejamkan mata. Setitik air jatuh di pipinya.

**

Aku mengikuti Ning yang melangkah hati-hati di sepanjang bibir pantai yang terjal. Persis di sebuah tempat yang terlindung dari hempasan gelombang pasang, ia menjejakkan kakinya di tanah berlumpur. Pelan-pelan ia mengeluarkan buah-buah bakau dan beberapa batang kayu seukuran lengannya dari buntalan yang dibawanya. Buah-buah yang sudah berkecambah itu ia kumpulkan selama berapa hari. Bibit-bibit bakau yang hanyut di pinggir pantai.

Aku memandang wajah Ning yang bercahaya. Dengan cekatan ia menanam bibit bakau muda itu ke dalam tanah berlumpur setelah sebelumnya ia mengikat buah itu pada sebatang kayu. Tentu ia berharap agar bibit bakau yang masih muda itu tak hanyut dibawa arus.

Aku melangkah mendekati Ning. Ning tersenyum cerah sambil mengangkat tubuhku. Aku mendengar ia berbisik, “ Nah, Kucingku sayang, kau tentu setuju. Bakau ini kelak akan tumbuh besar. Dan lelaki itu akan muncul dan membuat Mak bahagia.”

Pada kesempatan itu aku melongok ke dalam hati Ning. Dalam hatinya kutemukan sebatang pohon bakau rindang. Akar-akar pohon itu berkelindan indah serupa buaian bayi.

Selesai

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image