Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Atropal Asparina

Poligami dan Kejujuran Motif Pertarungan Wacananya

Agama | Saturday, 20 Nov 2021, 08:59 WIB
ilustasi soal "keadilan" dalam poligami

Kebencian dan beragam derivasi istilahnya, bisa jadi relevan atau manusiawi dalam beberapa situasi dan kondisi. Termasuk, soal wacana polgami jika dilihat dan ikut merasakan dari perspektif perempuan secara umum. Beberapa kenalan saya—terlebih yang aktivis perempuan—menampakkan indikator sinisme timgkat tinggi sampai “benci” pada wacana Coach Poligami yang akhir-akhir ini ramai di media.

Untungnya, sinisme dan kebencian itu masih dalam kendali yang rasional. Maksudnya, tidak sampai pada taraf membenci orang atau “pelaku” tema yang dibicarakan, melainkan hanya pada tataran keputusan pemikiran dan akhlak-nya.

Awal ceritanya begini, akun Youtube Narasi Newsroom menayangkan hasil wawancara mendalam kepada Kiai Hafidin—seorang coach poligami, pada 16 November 2021. Judul tayangan itu adalah “Menguak Sisi Lain Mentoring Poligami Berbayar”. Nah, tayangan itu sukses memikat jutaan penonton, sekaligus respon yang kritis seperti artikel “Praktik Poligami yang Mengabaikan Suara Perempuan” di mubadalah.id dan lainnya.

Wacana Poligami: Dari Perang Tafsir sampai Motif Alamiah

Isu ini menjadi menarik menurut saya karena meski sejak lama mentor/coach poligami telah hadir dalam bentuk pamflet digital, tapi baru mengemuka lagi setelah ditayangkan, diekspos, diwacanakan oleh media digital yang cukup besar. Artinya, jika selama ini telah terjadi perang dingin antara praktisi dan aktivis poligami dengan aktivis keadilan bagi perempuan atau kaum feminis, maka penyebaran wacana dalam bentuk video ternyata lebih mengena di masyarakat, ketimbang tulisan yang sudah tersebar di berbagai media.

Kedua, hal yang lebih menarik adalah perdebatan soal polgami sudah bergeser dari dalil-dalil agama menuju perasaan-perasaan atau motif-motif yang lebih jujur dan murni. Sejak era Fazlur Rahman (w. 1988) merambat ke pemikir perempuan seperti Fatima Mernissi (w. 2015), perdebatan soal poligami selalu sangat riuh dengan semacam “perang tafsir” atas teks-teks agama, baik itu ayat al-Qur’an atau Hadis Nabi.

Melalui kasus ini, ada semacam pergeseran pada hal yang lebih jujur dan murni. Kiai Hafidin menyebut bahwa salah satu motif banyaknya orang mencari dirinya supaya di-coaching soal poligami adalah “Di satu sisi libido naik, namun di sisi lain takut berzina.” Begitupun alasan mengapa Kiai Hafidin “melepaskan” istrinya yang sudah menopouse dan kemudian menikah lagi dengan gadis berusia 16 tahun adalah semata ingin punya banyak anak (sekarang mempunyai 25 orang anak). Beberapa istri-istri Kiai Hafidin pun demikian. Alasan mau dipolgami bukan semata motivasi agama, tapi keterlibatan sistem perjodohan oleh orang-orang yang dipercayanya. Demikian juga soal efek ekonomi dari acara pelatihan dan seminar-seminar tentang poligami.

Kritik yang tertuju pada Kiai Hafidin pun ternyata tak menampilkan atau barang membawa sepotong ayat dan Hadis Nabi. Sanggahan yang misalnya ditunjukan oleh Hasna Azmi Fadilah di mubadah.id atau reporter dari Narasi Newsroom sendiri adalah dapat dengan mudah dilihat sebagai “suara batin seorang perempuan”. Baik gimik sang reporter atau logika sederhana Hasna Azmi yang mengulik soal jawaban salam Kiai Hafidin atas dirinya dengan “Waalaikum-sayang” sebagai akhlak tak terpuji dari seorang yang mengakui Kiai kepada perempuan bukan mahrom-nya. Ditambah, upaya Hasna Azmi menampilkan hasil analisis Komnas Perempuan yang menyebut keluarga poligami rawan konflik, adalah bukti lainnya dari pergeseran perdebatan soal poligami yang lebih jujur dan murni.

Mengapa Pergeseran Ini Penting?

Cara pandang Muslim terhadap al-Qur’an atau Hadis Nabi, apalagi terkait suatu jenis teknis ibadah yang menyangkut orang lain kerap tidak proporsional. Di media sosial, teramat sangat banyak contoh betapa ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi sering hanya dijadikan objek, sehingga dipahami dengan keangkuhan merasa paling tahu atas segalanya. Pola hubungan manusia dengan teks agama seperti itu, sangat rawan disusupi hawa nafsu dan menjadi sumber keributan yang menguras banyak energi.

Berbeda dengan pola hubungan dua sesepuh bangsa yang saya sarannkan untuk dijadikan parameter, yakni Buya Syafii Maarif dan Mbah Nun. Sesepuh kita semua ini, menempatkan al-Qur’an dan Hadis Nabi sebagai mentor, guide dan perspektif dalam menyikapi sebuah objek yang bernama realitas. Maka, yang dikedepankan tidak hanya soal “kebenaran”, melainkan juga harus sebuah kebaikan, kebijaksanaan dan keindahan.

Pertarungan wacana di internet, ketika hanya sebuah perang tafsir atas al-Qur’an dan Hadis yang disampaikan dengan motif ingin mengalahkan yang lain, bukan saja tidak produktif lagi, tapi juga rawan memperkosa al-Qur’an dan Hadis itu sendiri. Akhirnya, saya sebagai seorang yang punya sedikit sisa-sisa idealisme soal kemerdekaan manusia dan kejujuran hati nurani, mengandaikan jika pilihan apa pun, baik hendak poligami atau monogami (setia pada satu teman hidup) landasannya adalah pilihan sadar dan merdeka dirinya serta kejujuran hati nuraninya bahwa ini adalah kebaikan, bukan paksaan apalagi akibat ancaman (bisa teologis atau yuridis) pihak lain.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image