Taktik Orangtua Generasi Alpha Menyiapkan Calon Juara ESport Dunia
Teknologi | 2022-07-22 09:00:13Menjadi orang tua dari generasi alpha, kita harus tanggap dengan perkembangan zaman. Nggak mungkin kita menutup mata terhadap pesatnya kemajuan teknologi.
Termasuk juga harus berani berdamai dengan kenyataan kalau anak-anak zaman now makin kritis. Lebih menyukai hal-hal berbau visual dan lekat dengan teknologi.
Nggak bisa disalahkan. Memang beginilah zaman mereka.
Bahkan para ahli menyebutkan kalau generasi alpha adalah generasi native technology. Yaitu generasi yang sejak dalam kandungan saja sudah nggak bisa jauh-jauh dari yang namanya teknologi.
Hayuklah sekarang parents coba ingat-ingat, berapa kali kita melakukan USD 3D atau malah 4D saat si anak masih dalam kandungan? Belum lagi, berapa kali kita putarkan si bayi musik klasik atau murottal yang mengalun melalui smartphone kita?
Seberapa sering saat anak masih di dalam rahim, kita ajak dia berselancar internet mencari keperluan bayi, atau sekadar membaca info-info parenting lewat telepon seluler (ponsel)?
Maka jangan heran kalau anak zaman now, kecil-kecil sudah jago scrolling layar ponsel. Ya karena sejak masih di perut ibunya, edukasi seperti itu yang ia dapat.
Lalu sekarang kita mendadak kaget saat cita-cita anak terkesan out of the box. Jawaban pengen jadi dokter, insinyur atau guru, hanya akan ditemui di zaman old.
Zaman Suzan, si boneka ajaib yang pandai menyanyi, atau zamannya Si Komo suka bikin macet jalan raya, wkwk.
Anak zaman now saat ditanyai apa cita-citanya, meluncurlah pernyataan, “Aku pengen jadi YouTuber, aku pengen jadi TikToker, atau aku mau jadi gamer ” Eaaa.
Salahkah?
Perlukah kita sebagai orangtuanya panik dan kalang kabut?
Jawabannya tentu saja bisa ya, bisa juga tidak. Tergantung bagaimana sebagai orangtua menyikapi jawaban tersebut sebagai sesuatu yang negatif atau positif.
Memandang Perkembangan Teknologi dalam Kacamata Positif
Tak sedikit orangtua menganggap perkembangan teknologi yang sangat pesat adalah sebuah gangguan dan bencana. Lalu serta-merta menutup akses tersebut, dengan tujuan agar anak tidak terkontaminasi hal-hal buruk yang lahir beriringan dengan perkembangan teknologi.
Sayangnya, sebagian besar orangtua melakukan pembatasan tanpa mendiskusikannya dengan anak. Ujug-ujug melarang ini dan itu, tanpa memberikan informasi yang jelas alasan di balik larangan tersebut kepada sia anak.
Kondisi seperti ini yang justru kemudian membuat anak diam-diam mencari kesenangan di luar rumah. Bahkan tak sedikit mulai berani membohongi orangtua. Misal bilangnya les padahal ke warnet atau game centre.
Lalu saat orangtua mencium kebohongan tersebut, tanpa babibu, langsung deh omelan sepanjang gerbong kereta diarahkan ke anak. Lagi-lagi tanpa mendengar penjelasan dari anak.
Padahal anak punya hak lo untuk berbicara dan didengarkan. Bukan hanya wajib mendengarkan dan mematuhi kedua orangtuanya.
Nah, ngobrolin soal game yang dianggap membahayakan bagi sebagian besar orangtua, sebenarnya seberapa besar sih bahayanya? Dan bagaimanakah game ini bisa membahayakan bagi anak?
Bukankah gadget, media sosial dan game sebenarnya adalah sesuatu yang netral? Artinya, baik dan buruk ditentukan oleh si penggunanya.
Maka PRnya adalah bagaimana melatih anak agar teknologi bisa menjadi sarana yang melahirkan kebaikan, dan tidak membahayakan dirinya dan orang lain. Caranya gimana?
Sebelum kita cari tahu caranya gimana, saya akan mengajak parents untuk berpikir secara lebih terbuka. Ketika anak menjawab ingin menjadi gamer, jangan sampai tanduk di kepala langsung muncul, tanpa menggali lebih jauh istilah gamer yang dipahami oleh anak.
Justru ketika anak berani menyampaikan keinginannya menjadi gamer pada orangtua, kita perlu bersyukur. Artinya anak percaya bahwa kita sebagai orangtua dianggap bisa menerima pendapat mereka.
Yang harus dititikberatkan kemudian, bagaimana caranya memberikan pijakan kepada anak terkait apa itu gamer dan bagaimana cara kerjanya untuk menjadi pemain gim profesional. Atau yang biasa disebut dengan atlet ESport.
Ajak anak berdiskusi bahwasanya bermain gim dan menjadi atlet ESport adalah dua hal yang berbeda. Perbedaannya terletak pada tujuan aktivitasnya.
Jika anak-anak ingin bermain gim sekadar untuk mengatasi rasa lelah setelah seharian sekolah atau mengisi waktu luang, maka tujuannya hanyalah untuk having fun. Berbeda ketika ingin menjadi gamer profesional atau atlet ESport, anak-anak perlu tahu kalau mencapai titik tersebut ada beberapa hal yang harus dipersiapkan.
Sama halnya dengan mencapai cita-cita lain seperti dokter, guru, arsitek. Menjadi atlet ESport, tidak bisa dilakukan dengan sembarangan. Anak-anak perlu diberikan gambaran bahwasanya mereka harus berlatih secara rutin didampingi dengan coach profesional menggunakan jaringan fast internet, jadwal latihan disusun dengan disiplin, mengikuti turnamen atau kejuaraan untuk meningkatkan skill dan melakukan analisa sepanjang proses belajarnya.
Jika anak sudah mampu memahami bedanya antara bermain gim harian dengan bercita-cita menjadi atlet ESport, barulah kita bisa menyiapkan rencana kedepannya untuk si calon juara dunia.
Termasuk sebagai orangtua kita bisa memilihkan sekolah yang mendukung murid-muridnya menjadi atlet ESport. Pada tahun 2021, wacana untuk memasukkan ESport sebagai salah satu ekstrakurikuler mulai digaungkan.
Wacana tersebut bukan tanpa sebab. Menurut data dari Pew Research Center pada 2018, 97% siswa laki-laki dan 83% siswa perempuan pernah memainkan gim. Daripada mereka bermain gim tanpa pendampingan dan tak terarah, bukankah lebih baik jika mendapat pengawasan secara tepat?
Namun belum semua sekolah dan institusi pendidikan mampu menerima hal ini. Maka, apabila anak parents telah yakin dengan cita-citanya dan menunjukkan skill di bidang ESport, akan lebih baik jika orangtua juga mampu mencarikan tempat sekolah yang memiliki ekosistem tersebut.
Dengan memilih sekolah yang memiliki ekosistem ESport, anak akan semakin terarah kebutuhannya. Selain itu orangtua dan sekolah bisa saling berpartner secara optimal.
Berbeda dengan bermain gim yang dijalani tanpa pijakan yang jelas kepada anak. Menyiapkan calon juara ESport artinya memperbolehkan anak meningkatkan skill bermain gim dengan syarat dan ketentuan berlaku.
Bermain gim dengan tujuan yang jelas dan terarah seperti ini tentunya tidak akan berbahaya bagi anak. Justru akan memberikan dampak positif, di antaranya:
● Anak menjadi lebih semangat belajar dan datang ke sekolah.
● Kemampuan siswa di bidang STEM (Sains, Teknologi, Teknik dan Matematika) akan meningkat.
● Melatih anak menjadi lebih disiplin, punya manajemen waktu yang baik, mengembangkan inisiatif, strategi dan melatih kerja sama tim.
Jika parents masih meragu terkait ESport, saya akan memberikan gambaran mengenai industri yang sebenarnya cukup luas ini. Berkecimpung di dalam dunia ESport, sebenarnya tak melulu menjadi atlet atau pemainnya saja.
Sama halnya dengan bidang olahraga konvensional, tidak semua orang menjadi atlet bukan? Ada manajer tim, pelatih, bagian pemasaran dan lainnya.
Begitu juga dalam dunia ESport, anak bisa diberikan informasi bahwasanya ada banyak cara dan profesi terkait ESport. Tidak harus menjadi atletnya. Misal, bisa menjadi pelatih, manajer tim, game developer, manajer pemasaran, dsb.
Dengan memberikan informasi dan pijakan yang tepat, anak bisa terbuka wawasannya bahwa ada banyak pilihan profesi untuknya di dunia ESport. Sekaligus bisa membantu kita mengarahkan anak dalam proses peningkatan skill dan bakat terbaiknya.
Jenis-jenis ESport yang Sedang Booming
Hal lain yang perlu parents ketahui terkait gim sebelum mengarahkan anak-anaknya berkecimpung sebagai gamer profesional, tidak semua gim masuk dalam bagian ESport. Maka orangtua perlu tahu jenis ESport yang saat ini sedang booming, apa saja sih.
1.MOBA (Multiplayer Online Battle Arena)
MOBA yaitu ESport di mana ada dua tim saling bersaing untuk melindungi markas dan menyerang benteng lawannya. Jenis gim yang masuk di sini yaitu Dota 2, League of Legends, Mobile Legends, dll.
2.RTS (Real-Time Strategy)
Salah satu jenis gim paling tua. Memainkan gim ini, secara tidak langsung anak berlatih strategi untuk membentuk struktur kekuatan sehingga bisa mempertahankan timnya dan menginvasi lawan. Contoh game RTS yaitu Warcraft, Starcraft, dan Command & Conquer.
3.FPS (First Person Shooter)
Secara mudah, orangtua biasa menyebut gim ini sebagai permainan tembak-tembakan. Dinamakan FPS, karena gim yang menggunakan animasi 3D ini menampilkan sudut pandang depan dari karakter yang sedang dimainkan.
Gim ini menghadirkan ketegangan, kepanikan sekaligus keseruan. Anak dapat melatih teknik strategi, kejelian dan kehati-hatian saat memainkan gim ini. Contoh gim FPS yaitu Counter Strike (CS), Call of Duty, CS GO, Valorant dan PB (Point Blank).
4.Battle Royale
Perpaduan antara FPS dan MOBA, bedanya area pertarungan lebih luas. Dalam gim ini, lawan bisa mencapai 100 orang sekaligus.
Gim yang masuk dalam jenis ini melatih anak survival skill. Namun dalam sistem turnamen, poin kill akan turut dihitung. Contoh gim yang masuk dalam jenis Battle Royale yaitu PUBG PC/Mobile, Free Fire, dan Apex Legends.
5.Fighting Games
Gim ini melatih anak untuk berstrategi dan memilih kombinasi serangan yang pas agar dapat menjadi juara pertama di akhir pertandingan. Yang masuk dalam Fighting Games yaitu Tekken dan Mortal Kombat
6.Racing & Sports
Jenis gim yang menampilkan olahraga konvensional dalam bentuk elektronik, seperti basket, balap motor ataupun sepakbola. Format gimnya ada bermacam-macam, yaitu 1v1, 2v2, dan 3v3. Gim yang masuk dalam ranah ini antara lain MotoGP, F1, FIFA, eFootball (PES), NBA 2K, dan NFL Madden.
7.Collectible Card Games (CCG)
Untuk anak yang pemikir dan ahli strategi, tetapi tidak suka dengan gim yang mengandung kekerasan, CCG adalah pilihan paling tepat. Di sini anak berlatih untuk membaca strategi lawan dan berpikir bagaimana menaklukkannya. Contoh permainan kartu yang banyak dipertandingkan yaitu Magic: The Gathering Arena, Legends of Runeterra, dan Gwent: The Witcher Card Games.
8.Auto Battler
Dulunya gim jenis ini hanya untuk permainan santai dan tidak dipertandingkan. Namun perlahan gim-gim seperti Magic Chess, Chess Rush, Dota Underlords ini juga mulai ada turnamennya. Sama halnya dengan permainan kartu, di sini anak diajak untuk berpikir dan menentukan strategi yang tepat dalam mengalahkan bidak lawan.
Begini Cara Orangtua Mendukung Calon Atlet ESport dari Rumah!
Setelah beberapa informasi terkait gim ESport kita ketahui, saatnya orangtua mengembangkan taktik yang tepat dalam mendukung anak-anak menjadi calon atlet dari rumah.
1.Berikan Batasan yang Jelas
Seperti yang sudah kita bahas bersama di atas, bahwa terjun ke dunia ESport berbeda dengan bermain gim secara santai. Oleh karenanya, anak perlu diberikan rule yang jelas terkait kapan waktu berlatih dan kapan waktu untuk mengerjakan aktivitas lain.
Anak perlu tahu bahwa latihan gim hanya salah satu aktivitas hariannya. Menjadi atlet ESport, bukan berarti 24 jam harus berada di depan laptop atau menggenggam ponselnya berselancar memanfaatkan jaringan fast internet..
Anak harus mendapat pijakan bahwa menjadi atlet ESport yang baik adalah tetap menjalankan kebutuhan sebagai manusia, seperti beribadah, makan, minum, berolahraga dan berkegiatan sosial.
2.Pendidikan Tetap Nomor 1
Gamer dulu identik dengan anak-anak yang malas sekolah dan belajar. Namun kini tidak lagi. Bahkan beberapa turnamen ESport mewajibkan pesertanya untuk menunjukkan nilai raport, izin dari orangtua dan sekolah.
Hal ini dilakukan agar anak tidak salah tangkap, bahwasanya jika ingin jadi atlet ESport yang perlu dilakukan hanyalah bermain gim terus-menerus. Sebagai orangtua dan orang dewasa di sekitarnya, kita perlu memahamkan bahwa apapun cita-citanya, pendidikan tetap nomor satu.
Anak harus tetap berprestasi dalam pendidikan formal, sambil menjalani passionnya bermain gim. Sementara itu, orangtua dan sekolah juga harus tahu bahwa mereka tidak berhak menentukan anak menjadi apa di masa depan. Namun tugas kita adalah membekali mereka ilmu untuk mengejar apapun cita-cita si anak.
3.Persiapkan Mental
Tidak hanya dipersiapkan sebagai juara. Mental anak juga harus disiapkan menerima kekalahan. Seringkali orangtua luput akan hal ini.
Hanya mempersiapkan bagaimana caranya anak bisa menang, tanpa membekali bahwa anak juga harus siap kalah. Bagaimanapun di dalam pertandingan, kalah menang adalah hal yang biasa.
Anak yang terlalu sering menang ternyata juga berbahaya untuk psikisnya lo. Sekalinya kalah, anak bisa down dan tak kuat menanggungnya.
Ahli psikologi menjelaskan bahwa pentingnya seorang anak mengenal beragam pengalaman emosi. Jangan selalu memberikan pengalaman yang baik dan menyenangkan, anak juga sesekali perlu merasakan kalah agar mampu mengatasi rasa kecewanya.
Anak perlu diajarkan bahwa kalah bertanding bukan berarti permainan si anak buruk, tetapi artinya masih harus berlatih untuk meningkatkan skill.
Mental lain yang harus dipersiapkan adalah memahamkan anak bahwa apa yang dilihatnya dalam gim hanya bisa terjadi di gim. Tidak untuk dilakukan di dunia nyata.
Misal, anak bermain gim tembak-tembakan. Berikan pijakan yang tepat bahwa hal itu hanya boleh dilakukan di dalam gim. Sementara di dunia nyata ada peraturan yang mengikat terkait penggunaan senjata api dan siapa saja yang boleh memilikinya.
Anak juga perlu tahu bahwa dalam menyusun strategi kemenangan, tidak diperbolehkan melakukan kecurangan. Sesuatu yang terlampau sering dilakukan, akan menumbuhkan habit.
Jikalau anak terlampau sering melakukan hal-hal yang curang saat bermain gim, habit yang buruk akan terbentuk. Oleh karenanya, orangtua harus mampu melakukan antisipasi terhadap hal tersebut.
4.Fasilitasi dengan Fast Internet
Menjadi atlet ESport, artinya anak harus sering berlatih gim online. Daripada anak bermain gim di warnet atau game centre tanpa pengawasan yang tepat, tentu saja akan lebih baik jika anak bermain gim di rumah bukan?
Oleh karenanya penting bagi orangtua memfasilitasi fast internet di rumah. Sekarang ini koneksi internet bukan lagi barang mewah kok. Ada banyak provider di Indonesia, tetapi IndiHome adalah pilihan terbaik dan terpercaya.
IndiHome memiliki coverage area yang luas, telah bisa ditemukan di 489 dari 514 kota/kabupaten. Bahkan provider dari Telkom Group ini telah mampu menjangkau 10 pulau terluar di Indonesia, yaitu Pulau Bintan, Karimun, Kei, Alor, Simeulue, Weh, Sebatik, Rote, Sabu dan Nusa Penida.
Serat optik IndiHome memiliki bentangan paling panjang dibanding provider lain, yaitu 166.343 kilometer dari pusat kota hingga pelosok desa di Nusantara. Bentangan ini jika diukur sama dengan 4 kali keliling bumi lo.
Selain itu dengan IndiHome, kita bisa memilih paket yang sesuai kebutuhan dengan harga terjangkau. Tak heran jika pelanggannya kini mencapai 8,5 juta!
5.Gabung dengan LEAD National Series
Nggak hanya memfasilitasi para calon atlet ESport dengan fast internet, IndiHome juga menyelenggarakan LEAD National Series (LNS) game free fire. Sebelumnya event LEAD by IndiHome season 1 sudah usai digelar, dan kini menuju LEAD by IndiHome season 2.
Turnamen ESport ini diselenggarakan secara serentak di 7 wilayah Telkom seluruh Indonesia. Nggak tanggung-tanggung, hadiahnya mencapai Rp100 juta.
Tujuan IndiHome menyelenggarakan LNS untuk mewadahi calon atlet ESport yang ada di tanah air sehingga potensi mereka akan terasah, dan bisa berkembang menjadi pemain profesional. Syukur-syukur kelak bisa mewakili Indonesia dalam kejuaraan dunia.
LNS dimeriahkan oleh banyak tim ESport ternama, seperti EVOS, ECHO, AURA dan RRQ. Maka ini adalah kesempatan tepat untuk menguji keseriusan anak dalam mencapai cita-citanya sebagai atlet ESport.
Pendaftaran untuk mengikuti event bergengsi ini tidak dikenai biaya. Mengenai informasi lebih lanjut mengenai LEAD by IndiHome, parents bisa mengunjungi:
●Website IndiHome https://indihome.co.id/leadnationalseries,
●Semua akun sosial media official IndiHome
●Instagram LEAD by IndiHome
Pertandingan dalam LNS akan terdiri dari dua babak, yaitu Qualifier dan Grand Final. Babak Qualifier akan digelar secara online, sementara Grand Final akan dipertandingkan secara offline.
Mengikutkan anak-anak yang memiliki minat dan bakat di bidang ESport dalam event LNS, akan memberikan bayangan seperti apakah rasanya turnamen kelas dunia. Dalam LNS, peserta turnamen akan merasakan atmosfer pertandingan besar melawan tim-tim hebat dari setiap wilayah.
Tentunya persaingan akan sangat ketat. Anak-anak bisa membuktikan hasil latihannya selama ini. Anak-anak yang belum bergabung dengan tim, jangan berkecil hati.
Dengan bergabung bersama LNS, kesempatan mereka untuk dilirik oleh tim-tim ESport bonafid akan semakin besar. Dukung saja anak-anak untuk memperlihatkan kemampuan terbaiknya.
Menjadi Juara ESport Bukan Lagi Impian
Dengan lima taktik di atas, parents tentu saja sudah bisa mulai menyiapkan langkah-langkah dalam proses pendampingan sang calon juara ESport kan? Tak perlu ragu lagi jika anak-anak kita memilih ESport sebagai cita-citanya.
Saat ini ESport sudah makin diakui di dunia kok. Bahkan atlet Indonesia sudah menunjukkan prestasinya pada kejuaraan Sea Games di Hanoi, Vietnam lo. Atlet ESport Indonesia memenangi cabang olahraga ESport Free Fire.
Fakta ini makin memberikan semangat kepada anak-anak untuk menggeluti dunia ESport. Alasan ini pula yang menguatkan Telkom Group menyelenggarakan LNS.
Diharapkan dengan adanya LNS yang diselenggarakan serentak di 7 wilayah Telkom, kemajuan industri gim di Indonesia akan semakin meningkat dan rata. LNS juga akan menjadi momen menemukan bakat-bakat emas yang berasal dari daerah.
So, siap melahirkan calon atlet ESport masa depan Indonesia, parents?***
Referensi:
●https://ESports.skor.id/3-alasan-hadirnya-ESport-sekolah-bermanfaat-bagi-siswa-01402974
●https://ESports.id/other/news/2019/08/8deb8d1dd92840f975b6931ab3a3c61e/saatnya-ESports-masuk-sekolah-ini-alasannya
●https://nextren.grid.id/read/012321239/inilah-5-manfaat-game-online-bagi-pelajar-orang-tua-jangan-terlalu-melarang-ya?page=all
●https://www.ekrut.com/media/ESport-adalah
●https://glints.com/id/lowongan/ESports-adalah/#.YtSyl7ZBzrc
●https://ESports.id/other/news/2021/06/c236337b043acf93c7df397fdb9082b3/apa-itu-ESports-mengenal-genre--variasi-game-di-ESports
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.