Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Sejak Dahulu Kala, Asmara, Tahta, dan Harta Menjadi Penyebab Tindak Kriminal Pembunuhan

Agama | Thursday, 21 Jul 2022, 22:52 WIB

Asmara akan tetap menjadi perbincangan aktual dan tak akan habis jika dirangkai baik menjadi cerita indah maupun untaian kata-kata nan mempesona. Sudah beratus-ratus, bahkan mungkin berjuta-juta jilid buku yang memuat kisah-kisah indah tentang asmara.

Namun dibalik keindahannya, asmara juga sering menorehkan kisah-kisah hilangnya nyawa manusia. Pembunuhan bahkan peperangan antar negara bisa terjadi ketika asmara gagal menyatukan kisah kasih antara pria dan wanita ke dalam dunia nyata.

Perang Bubat antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda tak lepas dari kisah asmara Sri Rajasanagara Hayam Wuruk, Penguasa Majapahit yang ingin mempersunting Dyah Pitaloka, putri dari Kerajaan Sunda. Kisah cinta-asmara yang berbalut kepentingan politik ini berakhir tragis, kedua kerajaan terlibat peperangan besar yang memakan banyak korban (Hermawan Aksan, Sebuah Novel Sejarah, Dyah Pitaloka, Korban Ambisi Politik Gajah Mada, 2007 : 99)

Demikian pula dengan kematian Ken Angrok yang pernah beristrikan Ken Dedes tak lepas dari pergulatan kisah asmara dan tahta-kuasa. Ia tewas ditikam Anusapati dengan menggunakan keris buatan Mpu Gandring.

Tak jauh berbeda dengan dua kisah asmara sebelumnya, meskipun tidak membunuh secara langsung, Bandung Bondowoso mengutuk Roro Jonggrang menjadi arca. Hal ini dilakukan setelah ia mengetahui kelicikan Roro Jonggrang yang merekayasa waktu agar pembuatan seribu candi permintaannya sebagai syarat mendapatkan balasan cinta darinya tidak tercapai.

Jauh sebelum ketiga kisah asmara yang berakhir tragis tersebut, Qabil membunuh Habil yang keduanya putra Nabi Adam a.s. Penyebabnya tiada lain adalah dendam asmara. Qabil tidak menerima jika Habil harus bersanding dengan Iqlima yang lebih cantik daripada Labuda yang dijadikan istri untuknya.

Tak jauh berbeda dengan asmara, perebutan tahta, kuasa, dan politik juga sering berujung pada derita dan hilangnya nyawa. Peperangan yang terjadi antar negara, pada intinya hanya ingin mengejar tahta dan kuasa. Contoh terbaru, perang yang tengah berkecamuk antara Rusia dan Ukraina tak akan jauh dari perebutan tahta dan kuasa. Seperti halnya kisah kasih asmara, sudah pasti peperangan berakhir dengan hilangnya banyak nyawa alias terbunuh.

Pembunuhan demi kuasa dan berbau politik juga terjadi pada terbunuhnya Syaikh Abdul Jalil alias Syaikh Siti Jenar. Banyak orang yang terlibat dalam kematiannya, salah satunya adalah Pangeran Pamelekaran beserta menantunya.

Pangeran Pamelekaran yang ketika Kerajaan Majapahit masih berjaya bernama Raden Kusen dengan jabatan sebagai Panglima Perang. Setelah kerajaan Majapahit runtuh karena diserang susuhunan Kudus dan Pangeran Pancawati, ia ditawan dan dibawa ke Demak. Namun karena ia memiliki kekerabatan dengan seorang petinggi kerajaan, Raden Trenggana, ia dipindahkan ke Kudus.

Dari Kudus, kemudian ia dibawa pindah ke Cirebon Girang. Ia tinggal di kota ini dengan panggilan barunya Pangeran Pamelekaran. Gelar ini ia peroleh setelah ia diambil menantu oleh susuhunan Cirebon Girang, Syaikh Maulana Jati dengan menikahi putrinya bernama Nyai Mertasari

Meskipun hidup di tempat barunya, ia tak melupakan cucunya, Raden Ketib yang tinggal di tempatnya dahulu ketika menjadi pejabat di kerajaan Majapahit. Cucunya tersebut merupakan anak dari salah satu putranya, Pangeran Surodirejo. Ia meminta anaknya untuk mengirimkan cucunya untuk belajar ketatanegaraan dan keagamaan di Pondok Pesantren Giri Ampran Jati.

Singkat cerita, Raden Ketib tertarik untuk mengungkap misteri yang selalu ditutup-tutupi masyarakat tentang keberadaan Pondok Pesantren Giri Amparan Jati, terutama tentang seluk beluk kematian Syaikh Abdul Jalil yang tiada lain adalah Syaikh Siti Jenar.

Menurut cerita yang berkembang, yang berperan penting dalam peristiwa kematiannya adalah Susuhunan Kudus yang tiada lain adalah menantu kakeknya sendiri. Sang kakek tidak menampiknya. Ia membiarkan menantunya terlibat dalam pembunuhan tersebut sebagai bukti bakti dan pengabdiannya kepada Majapahit (diadaptasi dari Agus Sunyoto dalam Novel Sejarah, Suluk Abdul Jalil, Perjalanan Ruhani Syaikh Siti Jenar, Buku Satu, 2011, hal.24 ).

Pada zaman Nabi Musa a.s. juga terjadi pembunuhan yang berlatar belakang harta dan asmara. Seorang lelaki membunuh pamannya sendiri. Alasannya, selain karena ingin segera menguasai harta korban, juga ingin mempersunting anak gadisnya. Namun setelah melakukan pembunuhan tersebut, untuk menghilangkan jejak tindak kriminalnya, sang pelaku membuat alibi.

Sang pelaku membawa dan meletakkan mayat korban di depan pintu rumah seorang keturunan Bani Israel. Ia berterak-teriak menuduh pemilik rumah telah membunuh pamannya. Penghuni rumah merasa heran, karena ia tak merasa melakukannya.

Saling tuduh pun tak terelakkan. Masing-masing bersikeras mempertahankan diri dengan berbagai alibi, bukti, dan argumentasi. Sang pembunuh menuduh penghuni rumah telah melakukan pembunuhan, sementara penghuni atau pemilik rumah membela diri, dengan tegas ia menyatakan tidak melakukan pembunuhan tersebut.

Akhirnya kasus ini sampai kepada Nabi Musa a.s. Kedua belah pihak meminta kepada Nabi Musa a.s untuk memutuskan perkara tersebut. Kemudian Nabi Musa a.s. memohon petunjuk kepada Allah agar di beri jalan keluar. Allah merespon permintaan Nabi Musa a.s, dengan menurunkan wahyu agar kedua belah pihak menyembelih sapi betina berwarna keemasan.

Sayangnya, kedua belah pihak yang sedang saling tuduh itu dengan berbagai dalih sangat lambat dalam merespon perintah Allah tersebut. Padahal perintah tersebut dimaksudkan untuk mengungkap dalang atau pelaku pembunuhan yang sebenarnya.

Meskipun berjalan alot, akhirnya mereka melaksanakan perintah tersebut. Kemudian Nabi Musa a.s memerintahkan salah seorang dari mereka untuk memukulkan salah satu bagian dari tubuh sapi ke tubuh mayat korban pembunuhan.

Dengan izin Allah, mayat tersebut kembali hidup, kemudian menceritakan orang yang telah melakukan pembunuhan terhadap dirinya. Setelah itu, ia kembali menjadi mayat. Akhirnya terungkaplah dalang dan pelaku pembunuhan yang sebenarnya. Kisah kasus ini Allah abadikan dalam surat Al Baqarah : 67 – 73.

Selama manusia ada, tindak kejahatan akan senantiasa membayangi kehidupan, termasuk di dalamnya tindak kejahatan pembunuhan. Seperti halnya dahulu kala, penyebab kejahatan pembunuhan tak akan jauh dari problema asmara, tahta, kuasa, dan harta.

Apapun upaya yang kita lakukan, kita tak akan bisa menghilangkan berbagai tindak kejahatan. Satu hal yang bisa kita lakukan adalah mewaspadai dan menutup berbagai perbuatan yang dapat membuka peluang seseorang melakukan tindak kejahatan. Dalam khazanah ilmu ushul fiqih tindakan menutup pintu perbuatan jahat disebut saddudz dzari’ah.

Kini negara kita sedang dihebohkan dengan beberapa kasus pembunuhan, yang paling menonjol dan menjadi perbincangan publik adalah kasus “Polisi tembak Polisi” yang ketika tulisan ini dibuat belum diketemukan titik terang yang sebenarnya.

Kita berharap latar belakang pembunuhan dan kejadian yang sebenarnya bisa segera terungkap. Tentunya kita tidak perlu menunggu datangnya sapi betina seperti yang diwahyuan kepada Nabi Musa, a.s. Cukup saja metafor sapi betina yang ada di TKP, salah satunya adalah CCTV yang konon pernah dikabarkan hilang atau rusak.

Siapapun yang terlibat dalam kasus ini harus bertindak dan bersikap jujur. Alibi apapun yang dikemukakan, bahkan disembunyikan sekalipun, lambat laun suatu kasus pembunuhan akan tetap terungkap. Karenanya, kebenaran harus diungkap, jangan sampai ada yang ditutup-tutupi. Seharusnya, para pelaku secara kesatria mengakui atas segala perbuatannya.

“Kebenaran harus diungkap apa adanya. Itu prinsipku. Aku tidak tersinggung jika diungkap bahwa aku telah membunuh besanku demi mempertahankan kerajaan Majapahit.” Demikian kata Pamelekaran ketika ditanya Sang Cucu, Raden Ketib seputar keterlibatannya dalam kematian Syaikh Abdul Jalil (diadaptasi dari Agus Sunyoto dalam Novel Sejarah, Suluk Abdul Jalil, Perjalanan Ruhani Syaikh Siti Jenar, Buku Satu, 2011, hal.25 ).

Ilustrasi : pistol

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image