Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Yudi Haryadi ,S.E.,M.M

PERANAN SOCIAL ENTERPRENEURSHIP DALAM MENEKAN TINGKAT GINI RATIO DI INDONESIA

Bisnis | Thursday, 18 Nov 2021, 11:10 WIB

“Pengusaha sosial harus memiliki moto berpikir secara global, bertindak lokal. Indonesia membutuhkan pengusaha sosial karena pemerintah terlalu sibuk memikirkan isu-isu politik. Masalah-masalah sosial yang tidak ditangani dengan baik oleh pemerintah dapat diselesaikan oleh pengusaha sosial”[1]

Masalah sosial terutama kemiskinan adalah fenomena umum yang ada di sekeliling kita, dan merupakan permasalahan besar bangsa ini. Masalah kemiskinan ini dari tahun ke tahun bukannya terselesaikan bahkan semakin bertambah dan semakin memburuk ditambah dengan pandemi covid 19 hampir terjadi di seluruh dunia menyebabkan perekonomian setiap negara semakin memburuk yang impactnya adalah menurunnya tingkat pendapatan, secara otomatis menyebabkan masyarakat jatuh kedalam kemiskinan yang massive.

Kejadian demi kejadian ini seharusnya tidak menyebabkan bangsa ini semakin terpuruk tapi harus dijadikan sebagai moment untuk bangkit dari keterpurukan, salah satu jalannya adalah dengan banyak melahirkan para wirausahawan sosial yang peduli dan berkontribusi untuk kemajuan ekonomi dan sosial bangsa Indonesia yang kita cintai.

Mengukur permasalahan sosial terutama kemiskinan dan ketimpangan sangat relevan diukur dengan indek gini rasio, dengan pengukuran model gini rasio maka kita akan tahu tingkat keberhasilan dan pemerataan pembangunan di suatu negara. Rasio Gini atau gini rasio, digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan secara menyeluruh. Koefisien Gini berkisar antara 0 sampai dengan 1. Apabila koefisien Gini bernilai 0 berarti pemerataan sempurna, sedangkan apabila bernilai 1 berarti ketimpangan sempurna. Nilai 0 dan 1 adalah nilai ekstrim, jadi hampir mustahil terjadi di dunia nyata. Data menunjukkan bahwa koefisien umumnya berkisar dari 0,24 hingga 0,63. Di sebagian besar negara Uni Eropa, koefisien Gini berkisar antara 0,22-0,37. Di Amerika Serikat, ketimpangan lebih tinggi dengan koefisien Gini berada pada 0,39 di tahun 2017.[2], di antara keunggulan koefisien Gini adalah ,:

1. Mudah untuk diinterpretasikan. Koefisien cukup sederhana dan hanya berupa angka tunggal. Oleh karena itu, anda mudah mengambil kesimpulan.

2. Lebih representatif untuk mengukur ketimpangan. Itu kontras dengan pendapatan per kapita atau PDB per kapita. Meski sama-sama berupa angka tunggal, tapi pendapatan per kapita bisa sangat menyesatkan. Misalnya, sebuah negara mungkin memiliki pendapatan per kapita sangat tinggi sehingga anda menganggap negara tersebut kaya. Tapi, kesimpulan anda bisa meleset. Pendapatan per kapita tidak memberitahu berapa banyak orang yang kaya? Katakanlah, ketika anda memeriksa koefisien Gini, mungkin hanya 1% populasi menguasai hampir 90% pendapatan di dalam perekonomian. Jadi, hanya 1% yang kaya.

3. Mewakili perubahan untuk seluruh populasi. Koefisien mewakili perubahan untuk seluruh populasi. Ketika itu meningkat dari waktu ke waktu, ketimpangan pendapatan semakin akut, meski pada saat yang sama angka PDB per kapita terus naik.

Pada Maret 2021, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh Gini Ratio adalah sebesar 0,384. Angka ini menurun 0,001 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio September 2020 yang sebesar 0,385 dan meningkat 0,003 poin dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2020 yang sebesar 0,381, Gini Ratio di perkotaan pada Maret 2021 tercatat sebesar 0,401, naik dibanding Gini Ratio September 2020 yang sebesar 0,399 dan Gini Ratio Maret 2020 yang sebesar 0,393, Gini Ratio di perdesaan pada Maret 2021 tercatat sebesar 0,315, turun dibanding Gini Ratio September 2020 yang sebesar 0,319 dan Gini Ratio Maret 2020 yang sebesar 0,317, Berdasarkan ukuran ketimpangan Bank Dunia, distribusi pengeluaran pada kelompok 40 persen terbawah adalah sebesar 17,76 persen. Hal ini berarti pengeluaran penduduk pada Maret 2021 berada pada kategori tingkat ketimpangan rendah. Jika dirinci menurut wilayah, di perkotaan angkanya tercatat sebesar 16,81 persen yang berarti tergolong pada kategori ketimpangan sedang. Sementara untuk perdesaan, angkanya tercatat sebesar 20,68 persen, yang berarti tergolong dalam kategori ketimpangan rendah.[3]

Peningkatan gini ratio di perkotaan meningkat lebih tinggi dari pedesaan. Hal ini sejalan dengan tingginya kenaikan tingkat kemiskinan di perkotaan daripada pedesaan. Tingkat kemiskinan di pedesaan naik dari 12,82 persen menjadi 13,2 persen per September 2020. Sedangkan, tingkat kemiskinan di kota naik dari 7,38 persen menjadi 7,88 persen dari total populasi., hal ini terjadi karena tekanan ekonomi akibat pandemi covid-19. Sebab, pandemi membuat pemerintah harus mengurangi aktivitas masyarakat, termasuk kegiatan ekonomi yang kemudian mempengaruhi tingkat pendapatan.

Kemiskinan di perkotaan dan di pedesaan sama pentingnya untuk diatasi harus ada upaya-upaya serius untuk menanganinya karena di khawatirkan tanpa penanganan yang serius dari semua stake holder jurang antara si kaya dan si miskin akan semakin menganga, yang akan menyebabakan masalah sosial baru terutama pengangguran yang bisa mengakibatkan meningkatnya angka kriminalitas.

Pada kondisi saat ini diperlukan partisipasi dari berbagai pihak untuk mengatasi permasalahan ekonomi yang terjadi saat ini, para pengusaha sosial atau sering kita sebut sebagai social entrepreneurship harus ikut berperan dalam penanganan kemiskinan di negara kita, isu kemiskinan ini selalu menjadi isu klasik hampir diseluruh dunia. Saat ini kita tidak bisa terlalu berharap banyak kepada pemerintah ataupun Perguruan Tinggi bisa memberi pemecahan masalah dari sengkarut kemiskinan ini, terutama dalam menciptakan lapangan pekerjaan baru, saat ini pendidikan di Indonesia belum berhasil menciptakan manusia dengan kepribadian dan sifat wirausaha, yang lahir adalah manusia tipe pekerja /pegawai, yang antara lain ditandai dengan hasrat keamanan, kenyamanan, hasrat akan gaji yang tinggi, ketergantungan, fasilitas pension dan lain sebagainya. Padahal faktanya terjadi ketidak seimbangan antara permintaan dan penawaran serta kualitas Sumber Daya Manusia yang dihasilkan masih rendah , kesempatan kerja yang terbatas telah membuat kompetisi semakin kentara pencari kerja dan pekerjaan yang tersedia, secara otomatis menyebabkan tingkat pengangguran yang tinggi baik secara terbuka ataupun terselubung. Pendidikan di Indonesia lebih banyak melahirkan dan menciptakan pekerja dikuatkan oleh pendapat Donal J. Trump dan Robert T. Kiyosaki, “sekolah dirancang untuk menciptakan pegawai atau karyawan, bukan entrepreneurship”.

Apakah Social Enterpreneurship atau wirausaha sosial itu ? wirausaha sosial melihat masalah sebagai peluang untuk membentuk sebuah model bisnis baru yang bermanfaat bagi pemberdayaan masyarakat sekitar Tujuan utama dari pengusaha sosial adalah melayani kebutuhan dasar masyarakat, sementara pengusaha tradisional adalah untuk meraih pasar yang besar kesenjangan dan memperoleh keuntungan, dalam proses bertaraf minimum untuk kepentingan masyarakatnya. Paul C Light mengamati berbagai definisi yang ada pengusaha sosial dan memberikan definisi yang luas yang menganggap bahwa pengusaha sosial adalah individu, kelompok, jaringan, organisasi atau aliansi. Tapi berupaya secara berkelanjutan melalui ide-ide yang berbeda untuk mengatasi masalah-masalah sosial yang signifikan.

Seorang wirausaha berperan baik secara internal maupun eksternal. Secara internal seorang wirausaha berperan dalam mengurangi tingkat kebergantungan terhadap orang lain, meningkatkan kepercayaan diri, serta meningkatkan daya beli pelakunya. Secara eksternal, seorang wirausaha berperan dalam menyediakan lapangan kerja bagi para pencari kerja. Dengan terserapnya tenaga kerja oleh kesempatan kerja yang disediakan oleh seorang wirausaha, tingkat pengangguran secara nasional menjadi berkurang.

Menurunnya tingkat pengangguran berdampak terhadap naiknya pendapatan perkapita dan daya beli masyarakat, serta tumbuhnya perekonomian secara nasional. Selain itu, berdampak pula terhadap menurunnya tingkat kriminalitas yang biasanya ditimbulkan oleh karena tingginya pengangguran.

Seorang wirausaha memiliki peran sangat besar dalam melakukan wirausaha. Peran wirausaha dalam perekonomian suatu negara[4] adalah:

1. Menciptakan lapangan kerja

2. Mengurangi pengangguran

3. Meningkatkan pendapatan masyarakat

4. Mengombinasikan faktor–faktor produksi (alam, tenaga kerja, modal dan keahlian)

5. Meningkatkan produktivitas nasional

Indonesia membutuhkan sedikitnya 4 juta wirausahawan baru untuk turut mendorong penguatan struktur ekonomi. Saat ini rasio wirausahawan di dalam negeri masih sekitar 3,1% dari total populasi penduduk atau sekitar 8,06 juta orang. Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto mengatakan, meskipun rasio tersebut sudah melampaui standar internasional, yakni sebesar 2%, Indonesia masih perlu menggenjot lagi untuk mengejar capaian negara tetangga. Misalnya, Singapura saat ini sudah mencapai angka 7%, sedangkan Malaysia berada di level 5%.[5]. secara umum, jumlah entrepreneur yang beragama Islam atau entrepreneur muslim secara khusus jauh lebih sedikit, padahal seharusnya sudah saatnya bermunculan generasi entrepreneur dari kalangan kaum muslim.

Alvord (dalam Praszkier & Nowak, 2012) mendefinisikan tantangan memecahkan isu-isu sosial sebagai penurunan yang berkelanjutan terhadap konstelasi Kesehatan, Pendidikan, pembangunan ekonomi, masalah politik dan budaya yang terkait dengan kemiskinan jangka Panjang. Masalah-masalah yang sosial yang perlu ditangani oleh wirausaha banyak jumlahnya. Tentu penanganan isu-isu tersebut sangat tergantung pada perbedaan-pebedaan dalam budaya. Selain itu seringkali masalah-masalah baru muncul ditengah maslaha-masalah yang sudah ada, seperti disabilitas, lingkungan, Kesehatan, distribusi energi dan lain-lain.

Dengan demikian, setiap individu umat Islam harus mulai berpikir dan berinteraksi dengan individu atau kelompok untuk berwirausaha lebih khususlagi dalam melahirkan para social entrepreneurship baru dan menjalin kerjasama dalam bentuk kemitraan maupun persaingan. Dengan kata lain, wirausaha penting untuk dilakukan oleh setiap individu umat Islam. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW bersabda, “Tiada seorang yang makan makanan yang lebih baik dari makanan dari hasil usahanya sendiri (wirausaha). Sesunggunya Nabi Allah Daud, itupun makan dari hasil usahanya sendiri (wirausaha)”. (H.R. Bukhari)

Penulis meyakini semakin banyaknya kelahiran para wirausahawan sosial atau social entrepreneurship yang tetap dengan menjalankan prinsip-prinsip bisnis yang baik untuk menciptakan perubahan sosial dengan membangun/mengelola usaha dengan semangat altruisme/sosial dan welas asih yang tinggi berusaha memperbaiki situasi sulit dengan misi yang kuat untuk perubahan menciptakan nilai sosial, manfaat dalam skala besar bagi masyarakat dengan tindakan konkrit pada akhirnya membawa kepada solusi masalah yang dihadapi bangsa ini terutama dalam masalah kesenjangan sosial dan kemiskinan.

Daftar Pustaka

Kaswan, Akhyadi, Ade Sadikin,2014. SOCIAL ENTERPRENEURSHIP. Bandung. ALFABETA

Puspito Rini, Ira. 2013. TRUE SPRIT SANDIAGA UNO.Yogyakarta.Lamafa Publika

[1] Quote Sandiaga Uno

[2] https://cerdasco.com/koefisien-gini/

[3] https://www.bps.go.id/pressrelease/2021/07/15/1845/gini-ratio-maret-2021-tercatat-sebesar-0-384-.html

[4] https://id.wikipedia.org/wiki/Kewirausahaan_sosial

[5] https://www.wartaekonomi.co.id/read204928/jumlah-pengusaha-indonesia-masih-tertinggal-dari-singapura

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image