Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Tri Wahyuni

Transformasi Pengelolaan Keuangan Haji Indonesia

Lomba | 2021-11-17 22:31:41

Undang-undang Nomor 34 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Haji menjelaskan bahwa keuangan haji adalah semua hak dan kewajiban Pemerintah yang dapat dinilai dengan uang terkait penyelenggaraan ibadah haji serta semua kekayaan dalam bentuk uang atau barang yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut, baik yang bersumber dari jemaah haji maupun sumber lain yang sah dan tidak mengikat.

Jumlah dana haji Indonesia yang dikelola setiap tahun meningkat. BPKH mencatat per akhir Mei dana haji yang dikelola mencapai 150 triliun rupiah. Hal tersebut merupakan imbas dari animo masyarakat yang sangat tinggi untuk melaksanakan ibadah haji. Meskipun biaya haji tiap tahun meningkat, bahkan pada tahun 2021 kenaikan sebesar 9,1 juta rupiah tidak menyurutkan keinginan masyarakat untuk berhaji.

Tingginya animo masyarakat untuk berhaji berdampak pada waiting list yang semakin panjang, seperti Provinsi Aceh yang harus menunggu 32 tahun untuk pemberangkatan (haji.kemenag.go.id). Keinginan untuk berhaji bukan hanya milik orang kaya saja, masyarakat dengan kemampuan ekonomi menengah kebawah rela menabung hingga puluhan tahun agar dapat melaksanakan ibadah haji. Untuk melayani hasrat masyarakat berhaji, pemerintah dari tahun ke tahun telah membuat, memperbaiki, mengatur regulasi hingga mekanisme pengelolaan keuangan haji. Lantas bagaimana pengelolaan keuangan haji Indonesia selama ini?

Sebelum BPKH Lahir

Menilik ke kebelakang, pelaksanaan ibadah haji di Indonesia sudah dilaksanakan jauh sebelum Indonesia merdeka, namun tidak ada catatan pasti kapan pelaksanaan haji untuk pertama kalinya (M. Arief Mufraini, 2021). Penyelenggaraan haji oleh pemerintah melalui proses panjang dengan mengikuti dan menyesuaikan perkembangan negara.

Sebelum Indonesia merdeka, masyarakat yang akan berhaji menggunakan kapal hingga berbulan-bulan agar sampai ke Kota Makkah. Pada zaman Belanda, masyarakat yang akan berhaji dapat menaiki Kapal Kongsi Tiga milik Belanda, meskipun pelayanan maskapai tidak memuaskan seperti terjadi penipuan dan pemerasan (Zainal 2012: 86). Baru tahun 1950 dengan dibentuknya Panitia Perbaikan Perjalanan Haji Indonesia (PPHI) yang di ketua oleh KHM Sudjak seluruh rangkaian penyelenggaraan ibadah haji menjadi tanggung jawab pemerintah melalui Kementerian Agama. Masyarakat yang akan berhaji pun dapat memilih moda transportasi yang akan digunakan baik pesawat terbang maupun kapal laut. Kedudukan PPHI dikuatkan dengan dikeluarkannya surat Kementerian Agama Nomor 3170 tanggal 6 Februari 1950 yang ditanda tangani oleh Menteri Agama RIS K.H Wahid Hasyim disusul dengan surat edaran Menteri Agama di Yogyakarta Nomor A.III/I/648 tanggal 9 Februari 1950.

Pada Tahun 1964 pemerintah membubarkan PPHI dan menyerahkan kewenangan haji kepada Dirjen Urusan Haji (DUHA). Pada tahun itu juga biaya haji naik dua kali lipat karena tidak ada lagi subsidi dari pemerintah. Biaya haji menggunakan kapal laut ditetapkan sebesar Rp400.000 sedangan pesawat terbang sebesar Rp1.400.000 (Zainal, 2012: 86).

Tahun 1966 sejak Orde Baru berkuasa, sistem penyelenggaraan haji dibenahi. Mulai dari struktur tata organisasi, pengalihan penyelenggaraan haji sampai penetapan besaran biaya haji. Melalui Keputusan Presiden Nomor 92 Tahun 1967 Menteri Agama berwenangan terhadap penyelenggaraan haji dan menentukan besarnya biaya haji, meskipun di tahun 1968 biaya haji kembali ditetapkan oleh DUHA dengan Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 1968. Pada tahun ini banyak calon jemaah haji swasta gagal berangkat karena biro perjalanan haji swasta memiliki keterbatasan moda transportasi laut. Bercermin dari permasalahan tersebut pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1969 menetapkan bahwa seluruh pelaksanaan penyelenggaraan ibadah haji diproses dan diurus oleh pemerintah.

Seiring berjalannya waktu, penyelenggaraan ibadah haji terus berkembang. Pada tahun 1999 pemerintah mengesahkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1999 yang berisi tentang pembagian pelaksanaan haji menjadi haji regular dan haji khusus serta membentuk Badan Pengelola Dana Abadi Umat yang diketuai oleh Menteri. Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 dinyatakan Menteri Agama sebagai koordinator yang bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan haji dibantu oleh Dirjen Penyelenggara Haji dan Umrah (DPHU).

Dalam rangka mengoptimalkan pengelolaan keuangan haji pemerintah menggunakan strategi kebijakan investasi Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk melalui MoU antara Departemen Keuangan dengan Departemen Agama yang ditanda tangani pada 22 April 2009 (Kementerian Agama, 2021:188). Pada 17 Oktober 2014, pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Undang-undang tersebut memisahkan aspek penyelenggaraan ibadah haji dibawah DPHU Kementerian Agama, dimana aspek pengelolaan keuangan menjadi domain BPKH.

Lahirnya BPKH

Terbentuknya Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) bertujuan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan ibadah haji, meningkatkan rasionalitas dan efisiensi penggunaan BPIH, serta meningkatkan manfaat bagi umat Islam. BPKH dibentuk pada bulan Juni 2017 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 74/P Tahun 2017 dalam rangka mendukung penyelenggaraan ibadah haji yang lebih berkualitas melalui pengelolaan keuangan haji yang efektif, efisen, transparan, akuntabel dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Sumber:

bpkh.go.id

haji.kemenag.go.id

Mufraini, M. Arief. 2021. DANA HAJI INDONESIA Harapan dalam Paralogisme Pengelolaan dan Teorisasi Keuangan Syariah. Jakarta: Predana

Mubarak, M. Ali dan Ulya Fuhaidah. 2018. Manajemen Pengelolaan Dana Haji Republik Indonesia. Iltizam Journal of Shariah Economic Research, Vol. 2, No. 2, E-ISSN : 2598-2540, P-ISSN: 2598-2222

Zainal. 2012. Regulasi Indonesia dalam Tinjauan Sejarah. JURIS Volume 11 Nomor 02

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image