Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Komunitas Ujung Pena

Indonesia dan Krisis Energi

Politik | Wednesday, 17 Nov 2021, 00:16 WIB

 

Oleh: Siti Subaidah ( Ummu Bahri)

( Pemerhati Lingkungan dan Generasi)

Baru saja kita menghela napas panjang karena menurunnya tingkat kasus COVID-19 di berbagai belahan dunia. Namun kini, dunia telah dihadapkan kembali pada permasalahan baru yakni krisis energi. Krisis energi dunia merupakan permasalahan yang senantiasa muncul di era baru ini. Kekhawatiran akan menipisnya sumber daya alam penunjang energi baik itu migas maupun batu bara menjadi poin asumsi bahwa dunia kini sedang mengalami krisis energi. Hal ini membuat semakin meroketnya harga gas dan batu bara, diikuti oleh kenaikan harga minyak dunia. Secara fakta, krisis energi memang sedang berlangsung di negara kawasan Eropa, China hingga India. Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Siti Subaidah ( Ummu Bahri)

Indonesia bisa dibilang beruntung karena memiliki pasokan sumber daya alam yang melimpah. Bahkan krisis energi saat ini dianggap peluang untuk mengambil keuntungan di tengah mahalnya bahan baku energi. Sekretaris Eksekutif I Kementerian Koordinator Perekonomian Raden Pardede menyebutkan salah satu yang bisa dilakukan Indonesia adalah dengan meningkatkan produksi dan mempersiapkan kapasitas cadangan sumber daya energi nasional.

Sebagaimana diketahui salah satu kontributor krisis energi saat ini ialah menipisnya sumber energi fosil. Bahkan industri bahan bakar fosil sudah semakin ditinggalkan baik itu oleh investor, bank, maupun pasar modal. Kini mereka lebih melirik pada energi hijau yang lebih menjanjikan karena mudah untuk dikembangkan dan tak akan habis. Indonesia yang kaya akan kedua sumber energi tersebut diharapkan mampu mempersiapkan diri dengan tantangan yang ada. Hal itu diwujudkan dalam Strategis Raya Energi Nasional ( GSEN) dengan mewujudkan ketahanan energi dan kemandirian nasional. Salah satunya dengan meningkatkan produksi minyak sebesar 1 juta barel per hari.

Keliru Mengambil Sudut Pandang

Krisis energi yang saat ini menimpa dunia, tak seharusnya disikapi dengan aji mumpung. Karena lambat laun semua negara akan terkena efek domino dari krisis ini. Indonesia yang saat ini masih aman dari krisis energi tentu harus bersyukur. Namun tak lupa melihat ini sebagai masalah bersama yang harus segera diselesaikan.

Adanya krisis energi sebenarnya memperlihatkan kepada kita bagaimana rakusnya negara dan para kapital dalam mengeksploitasi sumber energi. Mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan dampak lingkungan yang ditinggalkan. Hal ini tidak akan berkesudahan jika tidak mengubah orientasi dan cara negara produsen dalam mengelola industri energinya.

Lebih jauh lagi kerusakan iklim pun semakin tak terelakkan. Salah satu penyumbang terbesar terjadinya global warming adalah emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh proses produksi listrik terutama PLTU ( Pembangkit Listrik Tenaga Uap). Dalam prosesnya listrik di hasilkan dari tenaga uap berbahan bakar batu bara. Namun sayangnya proses ini menyisakan emisi gas. Hal yang paling menyesakkan adalah justru energi nasional kita didominasi oleh sumber energi yang berasal dari batu bara. Bahkan PLTU menjadi kontributor terbesar penghasil listrik dengan porsi lebih dari 50 persen. Dampak global warming yang terjadi saat ini jelas akan memukul telak semua negara bahkan dampaknya akan semakin besar kedepannya bagi dunia.

Dari sini harusnya Indonesia lebih mempersiapkan diri dengan dampak yang ditimbulkan akibat kerusakan iklim. Karena sejatinya dampak ini akan terus menyebar selama tidak ada langkah konkret yang diambil terkait permasalahan ini.

Berbagai kebijakan internasional telah dilakukan terkait permasalahan ini, salah satunya Protokol Kyoto. Beberapa negara yang tergabung dalam Protokol Kyoto memiliki kesepakatan untuk membatasi jumlah maksimum karbondioksida yang diperbolehkan dibuang ke atmosfer. Hal ini dinamakan sebagai “pembagian kuota emisi”. Namun, jika sebuah negara ingin membuang karbondioksida diatas jumlah maksimum maka ia bisa membeli di pasar emisi, atau mengerjakan proyek yang dapat mengurangi emisi di negara-negara berkembang.

Kebijakan ini tentu perlu dikritisi karena tidak akan memberi pengaruh banyak. Negara bahkan terkesan bermain-main dengan angka. Bahkan Amerika sebagian negara penyumbang gas emisi terbesar, tidak bersedia ikut dalam Protokol Kyoto ini. Artinya kebijakan ini sekalipun tidak akan mampu meredam masalah apalagi meredam watak rakus negara-negara kapitalis yang hanya mementingkan keuntungan dibanding dampak lingkungan yang di timbulkan layaknya global warming ini.

Islam Membangun Tanpa Merusak

Sumber energi merupakan hal yang paling utama dalam proyek pembangunan sebuah negara. Jika pembangunan dikatakan sebagai indikator majunya negara, maka dari sini bisa kita lihat pembangunan yang dilakukan saat ini lebih terkesan ambisius demi memenuhi predikat tadi. Ambisius ditambah keuntungan yang menyilaukan mata membuat para kapital jor-joran membangun di sana sini sehingga energi yang dibutuhkan pun tidak sedikit. Akhirnya eksploitasi sumber daya alam dalam hal ini sumber energi semakin membabi buta tanpa perhitungan. Jika role model pembangunan seperti ini yang dipakai maka dunia tidak akan pernah keluar dari krisis dan semakin terpuruk.

Islam jauh sebelumnya telah lebih dahulu mencontohkan pembangunan yang luar biasa besar namun tanpa merusak alam. Hal ini berhasil dilakukan karena semua proyek pembangunan yang ada berlandaskan pada kemaslahatan umat. Negara memiliki kewajiban untuk memberikan layanan terbaik kepada umat termasuk membangun sarana dan prasarana yang dibutuhkan umat. Hal ini tentu melewati berbagai macam pertimbangan yang tidak akan saling mencederai sektor lain. Ketika pun itu bersinggungan dengan sumber daya alam yang notabene milik umat, maka negara akan memperhatikan dampak yang akan ditimbulkan dan meminimalisir hal itu terjadi dengan berbagai kebijakan. Tidak akan terjadi eksploitasi sumber daya tanpa ada kepentingan umat disitu. Negara mengakomodir pengelolaan sumber daya alam sebagai wujud tanggung jawab untuk menjaga harta umat. Maka tidak akan ada sekali-kali pihak lain yang mengambil alih pengelolaan dan memanfaatkannya demi keuntungan pribadi layaknya sekarang.

Inilah mekanisme pembangunan berbasis Islam. Pembangunan memang diperlukan sebagai wujud pelayanan negara terhadap umat tapi tanpa mengorbankan sumber daya yang ada. Karena khalifah tahu keserakahan dalam pengelolaannya akan berdampak besar pada bumi yang akan menyebabkan kesengsaraan umat dalam jangka waktu yang panjang layaknya krisis saat ini. Wallahu a'lam bishawab

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image