Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Kunci Sukses

COP26 dan HIPOKRISI REZIM KAPITALIS GLOBAL

Politik | Monday, 15 Nov 2021, 21:31 WIB

Oleh Indah Kartika Sari (Freelance writer)

Dewasa ini, persoalan perubahan iklim merupakan momok yang menakutkan. Penyebab perubahan iklim dipicu oleh Emisi karbon yang terlalu besar sehingga memicu cuaca ekstrem di seluruh dunia dan membahayakan tujuan internasional untuk membatasi pemanasan global.

Para ilmuwan tentang iklim memperingatkan bahwa ada gas rumah kaca dalam jumlah terbatas yang dapat terus kita lepaskan ke atmosfer sebelum planet ini menghangat hingga lebih dari 1,5C dari tingkat pra-industri.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh dua badan lingkungan Eropa, orang-orang super kaya - banyak di antaranya memiliki banyak rumah, jet pribadi, dan superyacht - mengeluarkan emisi jauh lebih banyak daripada yang lain. Sebuah studi baru-baru ini yang melacak perjalanan udara para selebriti melalui akun media sosialnya menemukan sejumlah emisi lebih dari seribu ton setiap tahun. 10% orang-orang sangat kaya itu mengeluarkan karbon sembilan kali lebih banyak.

Inilah yang mendorong diselenggarakannya Konferensi Internasional PBB berupa KTT Perubahan Iklim Conference of the Parties (COP) ke-26 sendiri sedang berlangsung di Glasgow, Inggris (31 Oktober—12 November 2021). Diperkirakan lebih dari 190 pemimpin dunia bersama dengan puluhan ribu negosiator, perwakilan pemerintah, institusi pendidikan, dan pelaku bisnis hadir dalam konferensi ini. Sebuah dokumen yang ditandatangani PM Inggris Boris Johnson selaku tuan rumah COP26 menyebutkan negara-negara yang mulai pulih dari pandemi Coronavirus, pada saat yang sama harus mengambil kesempatan bersejarah untuk mengatasi perubahan iklim, serta membangun kembali dengan lebih baik dan lebih hijau. “Kami dapat memberikan pemulihan hijau di seluruh dunia yang menghasilkan pekerjaan bagus, triliunan investasi, dan teknologi baru yang inovatif,” tulisnya.

Dokumen tersebut menyatakan untuk menjaga suhu planet tetap terkendali–yakni membatasi kenaikannya hingga 1,5 derajat–ilmu pengetahuan menyatakan bahwa pada paruh kedua abad ini, kita harus memproduksi lebih sedikit karbon daripada yang kita keluarkan dari atmosfer. “Inilah yang dimaksud dengan mencapai net zero,” sebutnya.

Dalam konferensi itu, Presiden Jokowi mengurai tentang transisi energi yang dilakukan Indonesia dan keberhasilan menurunkan angka kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Namun Juru kampanye Hutan Greenpeace Indonesia M. Iqbal Damanik menilai pernyataan Jokowi penuh omong kosong

Jokowi, katanya, tidak bisa menyebut penurunan karhutla sebagai prestasi. Pasalnya, faktor alam lebih dominan dalam mencegah hal tersebut terjadi. Karhutla rendah karena didominasi musim basah yang curah hujannya terbilang tinggi. Sementara berkaitan dengan transisi energi, pemerintah juga belum tampak serius dalam implementasi. Apalagi, Kementerian ESDM dan PLN masih akan membangun 13,8 giga bahan bakar listrik dari bahan bakar batu bara.

Tampaknya secara internasional, krisis iklim dan pemanasan global belum akan menemukan titik terang. Pasalnya masing-masing negara punya kepentingan memenangkan kepentingan masing-masing baik untuk menunda tenggat pencapaian emisi zero, menghalangi ekspansi industri negara lain, menawarkan teknologi hijau ataupun menolak penghapusan komitmen-komitmen sebelumnya. Sebagai contoh Uni Eropa, yang merupakan salah satu tujuan ekspor utama, berencana mengurangi secara berkala, bahkan menghentikan, impor minyak sawit atau CPO (crude palm oil) dari Indonesia. Rencana ini didasari atas hasil kajian Uni Eropa yang menyimpulkan produksi CPO merusak lingkungan. Menurut kajian itu, 45% dari perluasan lahan produksi sawit mengakibatkan kerusakan hutan, lahan gambut dan basah, serta menghasilkan emisi gas rumah kaca secara masif. Maka dari itu menghentikan impor CPO, menurut Uni Eropa, menjadi upaya penting menjaga kelestarian lingkungan. Aksi ini berpotensi membuat Indonesia kehilangan pendapatan yang sangat besar. Sebagai gambarannya, nilai ekspor minyak sawit dan turunannya ke Benua Biru pada 2018 mencapai US$2,28 miliar, di mana sekitar 51% dikontribusikan oleh CPO (US$1,16 miliar). Nilai ini setara dengan 4% impor migas Indonesia. Tentu saja ini akan memberi tekanan besar pada nilai tukar rupiah. Pelemahan nilai tukar berpotensi membuat defisit neraca transaksi berjalan menjadi makin besar mengingat tingginya kebutuhan barang impor dalam kegiatan produksi nasional. Ini artinya risiko perekonomian nasional cenderung meningkat. Ditilik dari sejarahnya, kampanye negatif terhadap minyak sawit sudah berkali-kali terjadi. Pertama, pada 1980-an minyak sawit dituduh mengandung kolesterol tinggi, sehingga berbahaya bagi kesehatan. Kedua, pada periode 1990-an minyak sawit kembali dituding sebagai penyebab penyakit jantung dan pembuluh darah. Tuduhan ini dibantah oleh para ahli gizi dan kesehatan. Mereka membuktikan bahwa CPO kaya akan vitamin A dan E yang justru bisa mencegah kedua penyakit tersebut. Ketiga, pada tahun 2000-an sampai sekarang, kampanye negatif sawit mengusung tuduhan baru, yaitu perkebunan kelapa sawit merusak lingkungan dan menyebabkan pemanasan global.

Tuduhan ini sangat menggelikan karena sebenarnya yang menjadi kontributor utama perusak lingkungan justru negara-negara kapitalis Barat sendiri, termasuk Uni Eropa. Uni Eropa menjadi penyumbang pemanasan global terbesar ketiga di dunia dengan 4224 metric tons of carbon dioxide equivalent (MtCO2E) atau sekitar 10% dari emisi global. Fakta menunjukkan bahwa justru negara-negara majulah, termasuk Uni Eropa, yang telah sangat lama menikmati pembangunan ekonominya dengan cara merusak dan mencemari lingkungan. Wajar bila kemudian ada paradigma yang melihat isu lingkungan pada prakteknya hanya digunakan negara maju sebagai instrumen untuk mempertahankan hegemoni ekonomi mereka di tingkat global.

Oleh karena itu, jelaslah bahwa krisis iklim dan pemanasan global sejatinya disebabkan oleh tangan –tangan rusak dan merusak system kapitalisme lewat para pemilik modal yang menjarah SDA secara eksploitatif. Media Fareastern Muslimah & Shariah mengatakan bahwa dunia saat ini berada di persimpangan jalan dalam hal perubahan iklim dan bencana lingkungan yang melanda. Yang pasti, planet ini tidak aman selama sistem kapitalisme yang mendominasi. Bahkan, tidak ada obat yang dapat ditemukan untuk penyakit dunia di bawah arahan dan pemerintahan sekuler kapitalistik,” sindirnya.

Sebab itulah, tentu diperlukan pendekatan radikal baru dalam menangani krisis, melindungi planet ini dan umat manusia dari bahaya dan kehancurannya. “Sebuah solusi yang ditawarkan oleh ideologi dan sistem Islam sebagai alternatif kapitalisme dalam menyikapinya,” kupasnya. Demi merespon issu iklim dan pemanasan global ini, media ini memiliki agenda berupa kampanye global yang akan menjelaskan prinsip-prinsip, hukum dan pendekatan Islam dalam melindungi dan melestarikan planet ini, termasuk pengelolaan sumber daya dengan cara yang selaras dengan alam. “Di saat yang sama, juga memastikan kemajuan dan pembangunan ekonomi bagi umat manusia,” rilisnya.

https://ekonomi.bisnis.com/read/20190426/9/916028/opini-isu-lingkungan-kepentingan-negara-maju-di-balik-cpo.

https://www.muslimahnews.com/2021/11/04/news-cop26-memberikan-pemulihan-hijau-di-seluruh-dunia/

https://www.bbc.com/indonesia/dunia-59172908

https://politik.rmol.id/read/2021/11/04/510463/greenpeace-indonesia-nilai-pidato-jokowi-di-glasgow-hanya-omong-kosong

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image