Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Miftah Rinaldi Harahap

Elegi Kota Padangsidimpuan: Sebuah Upaya Menunda Kehancuran

Politik | 2025-02-04 11:16:37

Bisakah warga di Kota Padangsidimpuan menjadi warga yang kritis? Pertanyaan ini adalah pertanyaan penting untuk diajukan saat ini. Sebab berbagai problem sedang - akan menghinggapi kota ini. Problem - problem itu seperti bom waktu yang setiap kali bisa meledak dan mengakibatkan Kota Padangsidimpuan menjelma sebagai kota yang gagal.Dari semua problem yang sedang - akan menghinggapi kota ini, sejatinya ada dua problem penting yang seharusnya menjadi prioritas perhatian ke depannya.

Walaupun saya menyebut dua hal ini sebagai problem prioritas yang harus diselesaikan. Realitasnya dua hal ini tidak masuk ke dalam program prioritas yang diusung oleh calon Walikota dan Wakil Walikota terpilih Kota Padangsidimpuan. Dua problem itu adalah merajalelanya praktik korupsi , kolusi dan nepotisme serta persoalan sampah yang semakin tak terkendali.

Persoalan praktik korupsi , kolusi dan nepotisme di Kota Padangsidimpuan bukan persoalan baru. Persoalan ini merupakan persoalan laten yang sudah menjadi rahasia umum di kalangan warga. Warga mengerti betul bahwa setiap politisi bahkan birokrat pasti melakukan perbuatan ini. Hal itu bisa dibuktikan dari lontaran kalimat warga ketika membicarakan topik ini.

Setiap momentum pemilu tiba di kalangan warga selalu menanggapinya dengan kalimat yang sinis yaitu "Naron pas ro alai pasang harga nai."Arti dari potongan kalimat ini adalah "Nanti kalo mereka (politisi) datang pasang harganya(ini merujuk kepada besaran harga yang diminta warga kepada politisi agar mereka mau memilihnya)."

Korupsi di sektor birokrasi sering ditanggapi warga dengan sebuah umpatan yaitu "Anggo giot manjadi sanga aja ho di kota Padangsidimpuan akkon adong ma epeng mu bahat."Potongan kalimat ini berarti "Kalo mau menjadi apapun kau di Kota Padangsidimpuan, kau harus punya uang banyak."Lontaran umpatan ini adalah manifestasi dari maraknya praktik pungli di struktur birokrasi Kota Padangsidimpuan.

Sehingga warga yang ingin menjadi apapun atau naik pangkat untuk menduduki posisi apapun harus membayar sejumlah uang kepada orang yang berada di posisi yang lebih tinggi.

Begitulah gambaran tentang praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang telah menjadi pengetahuan umum dikalangan warga.Lantas, bagaimana sebenarnya cara kita untuk menilai apakah di sebuah kota marak terjadi praktik korupsi, kolusi dan nepotisme secara objektif? Cara yang bisa kita lakukan untuk menilai hal ini adalah dengan melihat indikator dan faktor yang mempengaruhinya. Adapun indikator yang mempengaruhinya adalah tingkat kemiskinan, kualitas pelayanan publik , transparansi dan akuntabilitas, serta tingkat kejahatan.

Dalam soal tingkat kemiskinan, data dari Badan Pusat Statistik ( BPS ) pada bulan maret 2023 mencatat bahwa presentase penduduk miskin di Kota Padangsidimpuan menyentuh angka 5,71 persen dari 8.490 orang. Garis kemiskinan di Kota Padangsidimpuan juga relatif tinggi jika dibandingkan dengan daerah lain di seluruh Indonesia yaitu Rp.631. 419 per kapita per bulan. Sedangkan, pendapatan per kapita di kota ini juga bisa dikatakan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain yaitu sebesar Rp. 1.433 .419. Namun, kendati pendapatan per kapita relatif tinggi dan presentase kemiskinan relatif rendah tetap saja masih ada sekitar 8. 490 jiwa yang hidup di bawah garis kemiskinan karena kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar (https://padangsidimpuankota.bps.go.id/id/pressrelease/2024/02/06/266/profil-kemiskinan-di-kota--padangsidimpuan-maret--2023.html).

Jika kita merujuk kepada data yang lain seperti yang disajikan oleh Databoks Katadata jumlah penduduk miskin di Kota Padangsidimpuan pada tahun 2023 menyentuh angka 23, 6 persen. Presentase ini menunjukkan bahwa masih ada penduduk di Kota Padangsidimpuan yang hidup di bawah garis kemiskinan (https://databoks.katadata.co.id/demografi/statistik/b044662681b5cda/6-23-penduduk-di-kota-padang-sidimpuan-masuk-kategori-miskin).

Perbandingan diantara kedua data ini jelas terlihat bahwa presentase penduduk miskin yang disajikan oleh BPS berbeda dengan Databoks Katadata. Sejatinya, perbedaan ini hanya soal metodologi pengumpulan data. Namun, kendati demikian, benang merah yang bisa ditarik dari kedua sajian data ini adalah kemiskinan masih menjadi persoalan utama di Kota Padangsidimpuan.

Disisi lain kedua data ini juga menyoroti tentang beberapa faktor menyebabkan kemiskinan diantaranya adalah kurangnya lapangan kerja, rendahnya pendapatan , kurangnya akses ke lembaga pendidikan dan kesehatan serta kurangnya transparansi dan akuntabilitas pemerintah mengelola keuangan dan sumber daya.

Dalam soal kualitas pelayanan publik, Padangsidimpuan pada tahun 2024 berhasil mendapatkan penghargaan dari Ombudsman. Kota Padangsidimpuan berhasil mendapatkan nilai 88,74 yang berarti kota ini masuk ke dalam kategori zona hijau(https://www.rri.co.id/sibolga/daerah/1144713/pemko-padangsidimpuan-raih-predikat-zona-hijau-pelayanan-publik).

Masuknya kota ini dalam kategori zona hijau menandakan bahwa Pemerintah Kota Padangsidimpuan telah memberikan pelayanan publik secara profesional, transparan serta responsif. Tentu ini menarik mengingat dua data survei yang telah disajikan sebelumnya menyoroti tentang kurangnya transparansi dan akuntabilitas pemerintah dalam menjalankan fungsi dan tugasnya.

Sementara itu, dalam soal tingkat kejahatan. Polres Kota Padangsidimpuan mengatakan bahwa jumlah kasus yang terjadi selama tahun 2024 mengalami penurunan kasus dibandingkan tahun 2023. Pada tahun 2024 jumlah kasus di kota Padangsidimpuan berjumlah 470 kasus, sementara pada tahun 2023 berjumlah 763 kasus. Selain itu pihak Polres juga menyampaikan bahwa selama tahun 2024 kasus yang paling menonjol adalah kasus tindak pidana Narkotika (https://lensakini.com/daerah/ini-deretan-kasus-yang-ditangani-polres-padangsidimpuan-di-tahun-2024-kasus-narkoba-terbanyak/2/).

Sajian data ini sangat menarik sebab saya jadi ingat yang disampaikan oleh Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komisaris Jenderal Petrus Reinhard Golose bahwa kejahatan tindak pidana Narkotika selalu erat kaitannya dengan soal korupsi dan terorisme (https://www.kompas.id/baca/nusantara/2023/03/01/kejahatan-narkoba-erat-dengan-korupsi-dan-terorisme). Jika demikian maka bisa dikatakan bahwa maraknya kasus tindak pidana Narkotika di Kota Padangsidimpuan merupakan manifestasi dari maraknya tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme yang terjadi di segala sektor.

Soal lain yang tidak kalah penting adalah soal sampah. Persoalan sampah di Kota Padangsidimpuan persis seperti bom waktu. Jika tidak ditangani secara cepat juga tuntas maka ini akan menyebabkan kota ini memasuki masa - masa krisis. Sampah di Kota Padangsidimpuan bisa dikatakan sudah overload, hal ini bisa dilihat dari tidak mampunya TPA ( Tempat Pemrosesan Akhir ) yang berada di desa Batubola, Kecamatan Batunadua untuk menampung sampah - sampah yang datang dari berbagai penjuru Kota Padangsidimpuan.

Ketua Sarikat Hijau Indonesia (SHI) Sumatera Utara, Hendrawan Hasibuan menyatakan bahwa Pemerintah Kota Padangsidimpuan diminta untuk menghentikan pembuangan sampah ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA ) sebab tumpukan sampah di tempat itu menghasilkan cairan yang mencemari irigasi dan sungai Batang Ayumi (https://shi.or.id/pemko-padangsidimpuan-diminta-hentikan-pembuangan-sampah-ke-tpa-batu-bola/).

Sejatinya persoalan ini sudah direspon oleh pemerintahan Kota Padangsidimpuan dengan berupaya untuk mencari lahan yang bisa dijadikan TPA. Salah satu yang menjadi opsi untuk dijadikan TPA adalah Desa Batang Bahal, Kecamatan Padangsidimpuan, Batunadua. Sialnya, hingga saat ini fasilitas tersebut belum bisa dibangun. Pemerintah Kota Padangsidimpuan telah berupaya untuk segera melakukan pembangunan fasilitas ini dengan mengajukan proposal pembangunan TPA sejak tahun 2022 kepada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) hanya saja belum ada tindak lanjut yang konkret tentang realisasinya (https://www.google.com/amp/s/metrodaily.jawapos.com/sumut/amp/2355506208/kota-padangsidimpuan-butuh-tempat-pembuangan-akhir-sampah-baru).

Seharusnya, pemerintah Kota Padangsidimpuan bisa menggandeng sektor di luar pemerintah untuk segera merealisasikan hal ini. Singkatnya, harus ada peran aktif dari pemerintah.

Lantas, dari penjelasan kedua problem utama sebelumnya bisa dilihat bahwa pemerintah Kota Padangsidimpuan tidak bisa berjalan dengan optimal jika tidak diawasi oleh warga yang kritis.Tetapi,seperti pertanyaan awal pada tulisan ini, bisakah warga Kota Padangsidimpuan menjadi warga yang kritis?

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kota_Padangsidimpuan

Bisakah menjadi Warga Kritis ?

Jika ditanya apakah warga Padangsidimpuan itu bisa kritis atau tidak? Maka, jawabnya adalah tidak tahu. Saya menjawab "tidak tahu" karena saya bingung. Sebab, seperti yang sudah saya jelaskan pada awal tulisan ini bahwa warga Kota Padangsidimpuan bisa memberi umpatan terhadap praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang terjadi di kota mereka.

Bukankah,umpatan itu adalah manifestasi dari sikap kritis? Bukankah,itu adalah bukti bahwa warga mampu mengetahui berbagai macam praktik yang tidak beres di dalam tata kelola pemerintahan kota? Namun, kendati warga mengetahui tetap saja mereka membiarkan praktik itu terus berlangsung.

Pembiaran itu disebabkan karena warga Kota Padangsidimpuan telah lama mengalami apa yang disebut sebagai "apatisme - hedonistik". Sikap inilah yang kemudian yang membuat warga enggan bertindak kendati mereka mengumpat karena mengetahui bahwa ketidakadilan sedang menggerogoti kehidupan mereka.

"Apatisme - Hedonistik" adalah suatu keadaan masyarakat yang sudah tidak peduli lagi dengan realitas sosial - politik dan hanya fokus untuk mencari kenikmatan individu secara berlebihan. Sebenarnya, sikap ini adalah sebuah reaksi kekecewaan warga yang telah bertumpuk - tumpuk kepada penyelenggara pemerintahan.

Walaupun demikian sikap ini tetaplah buruk untuk kelangsungan hidup sebagai warga. Mengapa demikian? Hal itu karena semakin sikap ini tumbuh subur maka semakin tidak ada solidaritas diantara sesama warga hilang dan keadilan pun lenyap dari ruang publik.

Sikap ini yang kemudian melahirkan sebuah konsep yang disebut oleh filsuf perempuan Jerman, Hanna Arendt sebagai "banalitas kejahatan." Banalitas kejahatan adalah suatu keadaan dimana warga menormalisasi setiap tindakan ketidakadilan. Menormalisasi setiap tindakan ketidakadilan sama dengan membiarkan kejahatan merajalela. Sedangkan, menormalisasi setiap tindakan kejahatan sama dengan menormalisasi dan melanggengkan penderitaan.

Lantas, sampai kapan sikap seperti ini akan dipertahankan oleh sebagian besar warga? Apakah sampai Kota Padangsidimpuan hancur dan dinyatakan sebagai kota gagal? Apalagi dua problem utama yang saya sampaikan diawal adalah dua hal yang mungkin membuat kota Padangsidimpuan menjadi kota gagal.

Saya tidak akan memberikan solusi tentang bagaimana cara menghilangkan sikap ini. Hal itu karena saya selalu percaya bahwa setiap warga yang ada di Kota Padangsidimpuan pasti sudah tahu solusinya. Terakhir, saya ingin mengingatkan,bertindaklah jangan hanya mengumpat. Sampaikan umpatan itu di hadapan penguasa yang membuat kalian larut dalam penderitaan yang tak berkesudahan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image