Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Tulis Aja

‘Derita’ Anak Medan yang Merantau ke Pulau Jawa

Curhat | Friday, 15 Jul 2022, 18:58 WIB
Sumber: Unsplash

Derita Anak Medan yang Merantau ke Pulau Jawa

Kota Medan terkenal dengan kehidupannya yang keras. Level kehidupan yang keras di kota Medan sebenarnya sama saja seperti kota-kota besar lainnya, tapi yang mungkin banyak orang-orang luar Medan pikirkan adalah logat dan bahasa yang terkesan kasar di telinga mereka. Bahasa sehari-hari yang banyak digunakan oleh anak-anak Medan biasanya terkesan hardcore, vulgar dan asal keluar saja dari mulutnya. Oleh sebab itu, jika anak Medan keluar dari kotanya dan merantau ke kota lain, khususnya kota-kota di pulau Jawa, tentunya butuh adaptasi agar bisa berbaur dengan penduduk asli di pulau Jawa.

Berbanding lurus dengan hal tersebut, banyak orang Medan, dan pada umumnya anak-anak muda yang merantau ke pulau Jawa. Alasan untuk merantau itu sendiri bermacam-macam. Alasan yang pertama dan paling umum adalah untuk mencari pekerjaan. Namun tak sedikit juga yang mempunyai alasan yang bisa dikatan unik, yaitu: lari dari masa lalu, lari dari kejaran debt collector, lari dari penagih utang lainnya bahkan melarikan diri dari kejaran polisi.

Dalam hal ini kita tidak akan membahas tentang tindak-tanduk unik dan tindak kriminal tersebut. Yang akan kita bahas adalah tentang "derita" anak medan yang merantau ke pulau Jawa dan mulai beradaptasi di sana. Apa-apa saja "derita" anak Medan yang merantau ke pulau Jawa? Berikut ulasannya, yang secara khusus diceritakan oleh salah satu anak Medan, yaitu saya sendiri, yang merantau ke pulau Jawa.

Derita Anak Medan yang Merantau ke Pulau Jawa

Sumber: Unsplash

1. Proses Adaptasi Bahasa

“Derita” yang pertama sama seperti yang sudah dijelaskan di atas, yaitu bahasa atau cara berkomunikasi. Kebanyakan anak Medan menjelaskan sesuatu itu dengan kata “apa”.

Contoh: “Apa kan dulu apa itu, biar gak apa kali ku liat”.

Bagi orang-orang di luar Medan yang pertama kali mendengar ini tentu saja akan kebingungan menangkap maksud dari pernyataan itu. Padahal anak Medan tersebut hanya ingin mengatakan: “Pindahkan dulu buku itu, biar tidak berserakan di meja dan mengganggu pandanganku” (contoh).

Jadi bagi anak Medan, kata “apa” seolah bisa menggantikan kata apapun yang dalam hal ini tentu saja tidak mudah dipahami oleh orang lain. Jangankan orang-orang di luar Medan, sesama anak Medan sendiri saja sering berselisih hanya gara-gara kebiasaan ini. Tapi anehnya hal ini masih sering diucapkan, seolah sudah menjadi kebudayaan tak resmi yang sudah mengakar kuat pada kehidupan sehari-hari.

Tapi tentu saja bukan berarti anak Medan tidak bisa menggunakan bahasa Indonesia yang formal. Pancasila dan bahasa Indonesia tetap menjadi pedoman utama bagi anak-anak Medan.

Sumber: Unsplash

2. Adaptasi Kebiasaan

“Derita” yang kedua adalah adaptasi kebiasaan. Pulau Jawa dikenal dengan kebudayaannya yang santun dan lemah lembut, hal ini agak sedikit berbanding terbalik dengan kebudayaan di Medan yang serampangan dan apa adanya. Hal ini tentu memberikan sedikit kendala bagi anak Medan yang baru menginjakkan kakinya di pulau Jawa bagian manapun.

Terkhusus di Jawa bagian Timur yang terkenal dengan bahasanya yang santun atau secara lokal di daerah tersebut dikenal dengan kromo. Hal yang saya rasakan sendiri adalah ketika sedang menjalani masa belajar bahasa Inggris atau kursus Kampung Inggris Pare di Kediri, Jawa Timur. Seminggu pertama menjalani kursus di sana, mungkin banyak dari penduduk lokal yang saya temui dan saya ajak bicara yang merasa agak tersinggung atau bingung dengan kata-kata “unik” yang saya lontarkan. Tapi luar biasanya mereka hanya tersenyum, padahal saat itu saya paham bahwa kata-kata saya tidak mereka mengerti. Sejak saat itu saya mulai memilih-milih kata untuk berbicara dan menghilangkan istilah atau kata “apa” yang bisa menggantikan kata apapun yang biasanya saya ucapkan.

Sumber: Unsplash

3. Adaptasi Lingkungan

“Derita” selanjutnya adalah adaptasi lingkungan. Pertama kali saya menginjakkan kaki di pulau Jawa, khususnya di Jawa Timur, ada banyak perbedaan lingkungan yang saya rasakan. Berdasarkan bagian waktu, wilayah Kampung Inggris Pare, Kediri masih masuk Waktu Indonesia Barat, tapi sudah hampir masuk ke wilayah Waktu Indonesia Tengah. Jadi wajar saja jika perbedaan waktu antara Medan dan Kediri memiliki selisih waktu hampir 1 jam. Jika di Medan waktu Maghrib sekitar jam 18.30 WIB, maka di Kediri lebih cepat 1 jam yaitu sekitar pukul 17.30.

Untuk bisa menyesuaikan dengan lingkungan saya butuh waktu sekitar 1 bulan. Saya sempat berpikir bahwa ini hanya jet lag tapi bukan. Ternyata itu semua adalah ketidaksiapan saya menghadapi Matahari yang terlalu cepat tenggelam dan terlalu cepat terbit.

Sumber: Kampung Inggris BE

4. Adaptasi Makanan

“Derita” yang terakhir adalah adaptasi makanan. Masih berdasarkan peribahasa yang menyatakan “Lain lubuk lain belalang, lain lubuk lain ikannya”, lain tempat lain juga jenis makanannya. Jenis makanan yang banyak saya temui di Kediri, Jawa Timur jauh berbeda dengan makanan yang ada di Medan. Saya adalah tipe orang yang menyukai makanan yang pedas, sedangkan di wilayah Kediri kebanyakan makanan yang saya rasakan terkesan manis. Bukan berarti tidak ada tanaman yang namanya cabe disini, kalau masakan yang kebanyakan cabe jelas pedas juga, hanya saja bumbunya berbeda dengan yang ada di Medan.

Jadi intinya kebanyakan masakan di pulau Jawa kurang sesuai dengan lidahnya anak Medan. Bahkan warung masakan padang yang saya temui bumbunya tidak sama dengan bumbu asli warung padang di pulau Sumatra. Akhirnya saya mulai menyesuaikan dengan bumbu-bumbu masakan yang ada di sini. Bukan berarti makanannya tidak enak, hanya lidah ini saja yang tidak bisa move on.

Itulah tadi beberapa “derita” anak Medan yang merantau ke pulau Jawa. Semua “derita” yang dituangkan di tulisan ini bukanlah penderitaan dalam arti yang sesungguhnya. Ini hanya soal adaptasi. Jika Anda anak Medan, silakan menambahkan hal-hal lain yang kamu rasakan di pulau Jawa. Kalau saya secara pribadi merasa nyaman tinggal di sini dan sudah mulai bisa berbaur dengan warga lokal walaupun masih kaku.

Secara keseluruhan tinggal di perantauan bagi para pemula itu setiap harinya adalah tantangan, tinggal bagaimana sikap dan perilaku kita menghadapi tantangan itu. Dan yang terpenting, pahamilah di mana kamu tinggal. Karena di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image