Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image alvia 14

Meredamkan Polarisasi Dengan Komunikasi Politik Islam di PEMILU 2024

Politik | Thursday, 14 Jul 2022, 15:23 WIB

Indonesia merupakan negara yang kaya akan keberagaman suku, agama dan ras. Tatkala keberagaman tersebut dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa dikarenakan semakin banyak keanekaragaman, seringkali memicu garis-garis perbedaan dan memunculkan sekat-sekat yang memperjelas perbatasan. Hal tersebut dapat menimbulkan polarisasi.

Polarisasi akan membentuk petakan atas isu, kebijakan ataupun ideologi yang dapat menimbulkan pembedaan di masyarakat yang membagi dua kubu yang bersebrangan baik itu dalam lingkup elite, kelas biasa, dan lingkungan masyarakat.

Polarisasi menjadi suatu hal yang melekat dalam sistem demokrasi dan kerap kali mewarnai sistem politik Indonesia pada saat pemilihan umum. Dalam sistem demokrasi, pemilihan umum menjadi tonggak berdirinya suatu negara yang demokratis. Pemilu bertujuan untuk memilih wakil rakyat pada pemerintahan pusat ataupun pemerintahan daerah dan membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat, dan mendapatkan dukungan dari rakyat sehingga dapat mewujudkan tujuan negara sebagaimana tertulis dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Ancaman nyata polarisasi dapat ditemukan dengan mudah di media sosial. Dapat dilihat dari akun-akun anonim tidak bertanggungjawab yang membuat tagar provokatif dan fitnah. Di tengah dominasi media sosial, tentunya ini menjadi tantangan bagi media arus utama.

Kemudian polarisasi sangat nyata dan tajam terlihat pada kampanye pemilihan presiden 2014 yang dimana calon saat itu yang maju ialah Joko Widodo di usung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP dan Prabowo Subianto yang merupakan pendiri Partai Gerindra. Yang kemudian hal yang sama terjadi lagi pada Pemilihan Presiden 2019 dimana adanya pertarungan simbolik "Cebong" versus "Kampret" tentunya hal ini tidak asing lagi terdengarnya di telinga terlebih ketika masa kampanye khususnya pada media sosial.

Tidak hanya polarisasi politik, identitas politik juga terjadi di Indonesia. Pada 2017 ketika pemilihan gubernur DKI Jakarta dimana komunitas muslim melakukan gerakan massa dalam jumlah yang besar untuk melawan mantan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau dikenal Ahok. Hal ini menjadi sorotan khususnya pada masyarakat Indonesia pada masa pemilu, terlebih setelah pemilu kemudian yang menjadi sorotan utama ketika Gubernur Anies Baswedan yang baru dilantik yang menggunakan istilah "pribumi" dalam pidato publik pertamanya. Dimana hal ini ketika kekuasaan tidak dapat di taklukan dan kekuasaan tidak dapat di capai sebagai tujuan gerakan maka pengecualian diri diambil menjadi jalan keluar untuk menjatuhkan calon pasangan yang lain (Habibi, 2017).

Pemilu yang seharusnya menjadi ruang tumbuhnya perbedaan ideologis sehingga pada setiap calon dapat menunjukkan perbedaanya sesuai dengan garis perjuangan partai tersebut. Akan tetapi justru dalam realitanya cenderung mendorong sifat propaganda dan menimbulkan "kebencian".

Polarisasi politik itu muncul karena faktor identitas, akan tetapi lebih berfokus pada faktor lainnya, yaitu persepsi atas pengelolaan kekuasaan (Karim, 2019). Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi munculnya polarisasi ialah Identitas.

Oleh karena itu hubungan yang pernah retak akibat polarisasi antara kubu pendukung selama pemilihan umum sebelumnya harus membangun koalisi baru. Jika tidak, maka hal paling berbahaya jelang Pemilu 2024 adalah maraknya politik identitas. Gerakan yang memainkan politik di mana entitas keagamaan, etnisitas dan kesukuan digunakan sebagai tema dan narasi politik untuk memobilisasi gerakan dan merebut kekuasaan. Saat ini contoh sikap para elite politik sangat dibutuhkan untuk pendukungnya dan masyarakat. Perhelatan pilihan presiden harus menjadi ajang kesempatan pendidikan politik ke masyarakat.

Di dalam negara yang demokratis, memandang salah satu komponen penting dalam komunikasi politik adalah institusi politik dengan aspek komuniasina dimana lembaga yang bersifat politik yaitu partai politik, dengan berbagai kebijakan-kebijakan yang dilakukannya baik input maupun output partai memiliki keterkaitan dengan institusi kenegaraan.

Bentuk komunikasi politik yang sudah lama dikenal dan diterapkan dikalangan politik, para kandidat dan politik di dunia politik yaitu retorika dan agitasi politik.

Rethorika atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan rethoric berasal dari kata latin rteorica yang berarti ilmu bicara. Dalam pengertian yang lebih luas rethorika diartikan sebagai seni bahasa yang efektif. Aristoteles menegakan bahwa rethorika digunakan untuk membenarkan (currective), memerintah (instructive), mendorong (suggetive), dan mempertahankan (defensive) sesuatu yang didasarkan pada kebaikan masyarakat secara luas. Ethos, pathos, dan logos memainkan peran penting dalam retorika.

Permasalahannya adalah pesan seperti apa yang akan disampaikan ke publik. Tentunya, pesan yang disampaikan menyejukkan, menginspirasi, memberi ketenangan dan mendamaikan. Penggunaan prinsip-prinsip komunikasi islam dalam berkampanye dapat meredamkan polarisasi yang kita rasakan saat ini.

Para elite politik dapat memberikan gagasan yang mengandung anjuran, ajakan dalam menyampaikan pesan kepada pihak lain dengan penyampaian yang benar dan rasional, namun tetap tidak bermaksud merendahkan pendapat atau paradigma orang yang diajak bicara. Perkataan yang lembut dalam berkomunikasi merupakan hal yang paling penting untuk diperhatikan, sebab dengan perkataan yang lembut dari komunikator akan dapat menyentuh hati komunikan. Hal inilah yang mampu membuat pesan-pesan komunikasi sampai dengan baik tanpa menyinggung perasaan komunikan.

Perkataan yang lembut dalam Al-Qur’an telah dijelaskan dalam surah Thaha ayat 44, Allah berfirman:

فَقُوْلَا لَهٗ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهٗ يَتَذَكَّرُ اَوْ يَخْشٰى

Artinya: maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir‘aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.

Qaulan Masyura juga dapat di implementasikan oleh calon presiden 2024 dan para elite politik dengan bertutur kata yang baik, mudah dipahami dan melegakan atau tidak menyakiti, serta bisa juga dikatakan sebagai suatu pernyataan dalam menjawab persoalan dengan cara yang baik dan tidak dibuat-buat. Dengan kata lain pada pemilu 2024 ini tidak adanya wacana jabatan presiden 3 periode atau wacana baru lainnya tanpa sepengetahuan dan sepertujuan masyarakat Indonesia.

Dalam berkomunikasi, selain menggunakan bahasa yang efektif dan tepat sasaran, di sisi lain juga seorang komunikator yang akan menyampaikan informasi dianjurkan untuk menggunakan bahasa yang mudah dipahami, hal ini dimaksudkan agar komunikan mampu menerima pesan-pesan informasi dengan mudah.

Sedangkan qaulan sadida diartikan sebagai suatu pendapat atau perkataan yang tepat, jujur dan benar dalam berargumentatif. Gagasan yang harus disampaikan oleh partai politik ialah gagasan yang tidak memakai jargon “Indonesia”. Perkataan yang tidak benar atau berbohong adalah sesuatu yang tidak diperintahkan dalam ajaran agama Islam, apalagi kebohongan yang hanya menguntungkan sebelah pihak dan merugikan pihak lain dalam arti pada situasi seperti apapun Islam memerintahkan untuk berkata benar walaupun itu pahit, sebab sesuatu yang sudah jelas-jelas dilarang oleh Allah, pasti akan mendatangkan kemudharatan.

Qaulan Ma’rufa yaitu menuntut manusia untuk senantiasa bertutur kata dengan baik kepada setiap orang tanpa memandang dan mengkotak-kotakan strata sosial, agama, suku dan jabatan, sebab dengan tutur kata yang baik akan berdampak pada kemaslahatan dan terjalinnya silaturrahmi dengan baik kepada semua orang. Begitupula akan terjadi sebaliknya jika perkataan yang tidak baik, dengan cara menyakiti hati dan perasaan orang lain atas perkataan yang tidak baik (seperti halnya mengfitnah, membeicarakannya dibelakang atau gossip dan lain sebagainya), hal ini malah akan menjadi awal dari sebuah perselisihan dan perpecahan antar sesama manusia, tentu ini bukanlah sesuatu hal yang diidam-idamkan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image