Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image MOH ZULHAM ALSYAHDIAN

PANDEMI COVID DAN REFORMASI BIROKRASI

Guru Menulis | Sunday, 14 Nov 2021, 06:18 WIB

Salah satu “berkah” dari pandemi Covid-19, di luar berbagai cerita tragis dan ironis, segala proses administrasi dilakukan secara daring (dalam jaringan), melalui medio internet. Sebagai contoh misalnya proses rekrutmen Guru Penggerak. Dikatakan berkah dikarenakan melalui proses secara daring ini, sangat memungkinkan bagi siapapun guru dan dari manapun mereka berada, bahkan dari pelosok Papua atau Aceh sekalipun, memiliki kesempatan yang sama dengan guru yang ada di Ibu Kota Jakarta.

Hal ini berbanding terbalik dengan proses rekrutmen konvensional, yang dilakukan dengan proses pendaftaran melalui kantor Dinas Pendidikan (Kabupaten/Kota maupun Provinsi). Dengan tanpa bermaksud mendeskreditkan berbagai pihak, inilah fakta yang terjadi dalam proses yang dilakukan secara “manual” tersebut. Di antara permasalahannya adalah pengumuman pendaftaran atau rekrutmen yang terbatas informasinya. Biasanya informasi ini tidak secara massif tersampaikan ke segenap insan pendidik di daerah tersebut. Apalagi bagi daerah-daerah yang secara geografis sangat jauh dari ibukota Kabupaten/Kota atau Provinsi, atau bahkan Ibu Kota Negara.

Selain itu, proses pendaftaran menjadi lebih lama dan terkadang banyak kendala dalam hal kelengkapan administrasi. Proses ini menjadi lebih rumit tatkala ada kekurangan-kekurangan secara administrasi, sehingga membuat seorang guru harus bolak-balik melengkapi bahan. Tentunya banyak hal yang dikorbankan, seperti waktu yang terbuang, dana yang dikeluarkan, bahkan tidak jarang bagi seorang guru harus meninggalkan kewajiban mengajarnya, demi menyelesaikan kelengkapan administrasi yang kurang.

Bandingkan dengan proses pendaftaran secara daring dalam konteks rekrutmen guru penggerak ini. Di mana informasi ini dengan sangat mudah didapatkan dari berbagai lini masa yang beredar di jejaring sosial. Baik melalui website resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, maupun di website Dinas Pendidikan (Provinsi dan Kabupaten/Kota), maupun dari group-group Whatsapp, Facebook, dan sebagainya, serta daya jangkau informasi ini pun tidak terbatas sifatnya, sehingga sangat memungkinkan bagi siapapun untuk berpartisipasi dalam proses rekrutmen ini.

Selain itu, dalam prosesnya yang dilakukan secara seratus persen daring ini, sangat efektif dan efesien dilihat dari aspek waktu, tenaga, maupun sumber dana. Sehingga para guru dengan tanpa harus meninggalkan tugas dan kewajibannya sebagai guru, bisa secara cepat melakukan proses pendaftaran tersebut. Kalaupun ada kendala-kendala terkait kelengkapan administrasi, hal ini bisa secara cepat diselesaikan, dengan tanpa memakan waktu yang lama dan proses yang berbelit. Diakui atau tidak, persoalan kita hari ini dalam aspek administrasi, masih ada oknum-oknum yang berpikir dan berperilaku, “kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah”. Seharusnyalah, sesuai tuntuan reformasi birokrasi hari ini, semangat yang diusung adalah, “kalau bisa dipercepat, kenapa diperlambat, kalau bisa dipermudah, kenapa dipersusah”.

Oleh karena prosesnya yang cepat dan mudah, sehingga dalam implementasinya, perekrutan Calon Guru Penggerak bisa secara massif dilakukan. Sehingga bagi para guru-guru di manapun berada, yang memiliki kompetensi yang baik, loyalitas yang tinggi, serta dedikasi yang militan, bisa berpartisipasi untuk meningkatkan kompetensi dan kualitas diri, dalam rangka mewujudkan ekosistem pendidikan yang baik di sekolah, menuju sebuah proses transformasi pendidikan ke arah yang lebih baik.

Solusi Ke depan

Sebagaimana berita di Detik.Com (17 Oktober 2020), bahwa negara Indonesia berada di ranking pertama untuk indeks kompleksitas bisnis untuk periode 2020, oleh lembaga riset TMT Group yang bertajuk Global Business Complexity Index Rankings 2020. Hal ini berarti, kemudahan berusaha di Indonesia paling sulit jika dibandingkan dengan negara-negara lain, seperti Brasil, Argentina, Bolivia, Yunani, dan sebagainya. Birokrasi negara Indonesia yang rumit dan berbelit, menjadi faktor kenapa kemudian Indonesia didapuk sebagai negara paling sulit, untuk tempat melakukan aktivitas bisnis dan investasi tersebut. Tidak terkecuali dalam dunia pendidikan, persoalan klasik birokrasi ini seakan bagian inheren dari wajah birokrasi di negara ini.

Model proses perekrutan Guru Penggerak ini, seharusnya menjadi solusi awal terhadap carut marutnya proses birokrasi kita. Pemanfaatan teknologi internet bisa mengurai rumit dan berbelitnya alur birokrasi kita, sekaligus memutus mata rantai perilaku destruktif dan koruptif oleh oknum-oknum aparat. Kredo kita hari ini seharusnya adalah, “kalau bisa dipercepat, kenapa diperlambat”, bukan malah sebaliknya. Berapa banyak waktu, energi, dan dana yang terkuras hanya untuk mengurus tetek bengek dan remeh temah birokrasi ini. Tidak heran, Guru Besar Universitas Gadja Mada (UGM), Heru Nugroho, pernah berkata, “birokratisasi dan administrasi menenggelamkan karya ilmiah”. Sebuah sindiran terhadap birokrasi di negara ini, di mana para ilmuwan (bahkan guru besar sekalipun), dosen, dan guru, justru ditelikung oleh model birokrasi yang justru tidak produktif.

Oleh karenanya, ke depan penulis berharap model perekrutan Guru Penggerak, seharusnya menjadi role model dalam berbagai aktivitas di lingkungan pendidikan khususnya, pemerintah Indonesia pada umumnya. Semisal pelatihan, lokakarya, penataran, atau apa pun istilahnya. Sehingga mereka yang ikut berpartisipasi, benar-benar person yang secara qualifikasi memiliki prospek yang lebih atau (bahkan) sangat baik. Bukan mereka yang (hanya) kenal atau dekat dengan lingkaran dalam birokrasi.

Moh Zulham Alsyahdian, S.Hum, M.Pd. Guru di SMP Negeri 1 Keritang, di sudut kampung Provinsi Riau.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image