Laksamana Maeda
Sastra | 2022-07-13 17:50:10Laksamana Muda Maeda Tadashi (lahir di Kagoshima, Jepang, 3 Maret 1898 – meninggal 13 Desember 1977 pada umur 79 tahun) adalah seorang perwira tinggi Angkatan Laut Kekaisaran Jepang di Hindia Belanda pada masa Perang Pasifik.
Laksamana Muda Maeda memiliki peran yang cukup penting dalam kemerdekaan Indonesia dengan mempersilakan kediamannya yang berada di Jl. Imam Bonjol, No.1, Jakarta Pusat sebagai tempat penyusunan naskah proklamasi oleh Soekarno, Mohammad Hatta dan Achmad Soebardjo, ditambah sang juru ketik Sayuti Melik.
Maeda pula yang menjamin rapat PPKI pada tanggal 16 Agustus 1945 dilangsungkan. Namun, sebelum rapat itu dimulai dikabarkan Sukarno dan Hatta sebagai ketua dan wakil ketua PPKI menghilang. Baru kemudian diketahui, keduanya dibawa ke Rengasdengklok oleh pemuda dengan maksud diamankan dari Jepang. Subardjo yang menjemput keduanya memberikan jaminan bahwa kemerdekaan akan segera diproklamirkan. Hal itu mengingat karena Subardjo telah memiliki keyakinan bahwa AL Jepang dibawah komando Maeda akan mendukung pelaksanaan itu.
Ternyata benar, malam 17 Agustus pukul 23.00, para anggota PPKI telah berkumpul di rumah Maeda di JL Teji Mejidori No.1 (saat ini Imam Bonjol) dan Maeda mempersilahkan rumahnya dipakai untuk rapat PPKI. Setelah Sukarno, Hatta, dan Subardjo tiba yang disambut Maeda seraya mengucapkan selamat dan meyakinkan tentang jaminan keamanan, ketiganya bergegas ke ruang tengah untuk menyusun teks Proklamasi.
Tepat pukul 03.00, teks itu rampung diketik dan disepakati oleh seluruh anggota PPKI. Pukul 10.00 paginya, status Indonesia sebagai bangsa terjajah resmi berubah menjadi bangsa merdeka setelah dibacakan teks Proklamasi itu oleh Sukarno dan Hatta. Maeda pun bangga atas keberhasilan perjuangan bangsa Indonesia dalam memperoleh kemerdekaannya.
Laksamana Maeda harus menanggung konsekuensi berat setelah mengizinkan rumahnya sebagai tempat perumusan naskah proklamasi. Saat Inggris datang pada September 1945, Maeda dan stafnya, Shigetada Nishijima, ditangkap dan dimasukkan ke penjara Glodok dan rutan Salemba.
Dia dipaksa mengaku oleh Belanda untuk mencap Republik Indonesia merupakan bikinan Jepang. Sebab dalam tanggal naskah proklamasi tertulis '05 berdasarkan tahun Jepang, bukan '45. Nishijima mengatakan, walau dirinya disiksa sampai buang air kecil berdarah, dia tetap tidak mengaku.
Setelah dipulangkan ke Jepang, Maeda mengundurkan diri dari angkatan laut Jepang menjadi rakyat biasa, tidak memiliki tunjangan pension. Namun, Jaka Perbawa dari Museum Perumusan Naskah Proklamasi menengarai bahwa generasi ketiga tahun 2000-an kemungkinan memposisikan Maeda sebagai sosok yang layak diperhitungkan dalam percaturan pasca Perang Dunia II.
Pada 17 Agustus 1977, Maeda diundang pemerintah Indonesia untuk menerima tanda kehormatan Bintang Jasa Nararya. Pada 13 Desember 1977, Maeda menghembuskan nafas terakhir. Subardjo menuliskan “Dengan wafatnya Laksamana Maeda, Indonesia kehilangan seorang setiakawan yang besar jasanya dalam sejarah Kemerdekaan Indonesia. Pada detik-detik terpenting dalam melaksanakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Laksamana menunjukan sifat Samurai Jepang, yang mengorbankan diri dengan rela demi tercapainya cita-cita luhur dari rakyat Indonesia yakni: INDONESIA MERDEKA”.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0476/0/1992 tanggal 24 November 1992, gedung yang terletak di Jalan Imam Bonjol No. 1 Jakarta ditetapkan sebagai Museum Perumusan Naskah Proklamasi, berada dibawah Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Museum ini memiliki beberapa ruang pameran antara lain ruang Pra-Proklamasi Naskah Proklamasi, Ruang Perumusan Naskah Proklamasi, Ruang Pengesahan/ Penandatanganan Naskah Proklamasi, dan Ruang Pengetikan Teks Proklamasi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.