Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image MOH ZULHAM ALSYAHDIAN

'Menghamba pada Anak'

Guru Menulis | Friday, 12 Nov 2021, 22:07 WIB

Menurut Ki Hajar Dewantara (selanjutnya KHD), pendidikan diartikan sebagai ‘tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak’. Maksud Pendidikan yaitu untuk menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Walaupun pendidikan itu hanya dapat ‘menuntun’, akan tetapi faedahnya bagi hidup tumbuhnya anak-anak sangatlah besar. Tidak berlebihan kalau kemudian dikatakan, pendidikan adalah jembatan emas menuju perubahan. Atau dalam istilah lain disebutkan, bahwa pendidikan bisa mengubah arah sejarah bangsa.

Pertanyaannya kemudian, pendidikan seperti apa yang bisa menjadi (meminjam istilah KHD) “alat mobilisasi politik sekaligus sebagai penyejahtera umat”. Atau secara provokatif para sosiolog menyebut, “pendidikan sebagai dinamit yang dapat menghancurkan struktur masyarakat yang rigid”. Sementara fakta hari ini, institusi pendidikan dianggap gagal dalam mempersiapkan peserta didiknya, menuju masa depannya. Bahkan sekolah dianggap Munif Chatib (2009) -disadari atau tidak- malah ‘membunuh’ banyak potensi siswa-siswi didiknya. Secara lebih lugas Buckminster Fuller (Sulung Nofrianto, 2008) pernah mengatakan: “semua bayi dilahirkan cerdas. 9.999 dari setiap 10.000 bayi itu dengan begitu cepat, dan sembrono, dijadikan tidak cerdas lagi oleh orang-orang Dewasa.

Jadi apa yang salah dengan pendidikan kita ? Membicarakan masalah-masalah dalam dunia pendidikan kita, bagaikan mengurai benang kusut, sangat komplek. Akan tetapi, satu hal yang ingin menjadi fokus pembahasan kita adalah bagaimana kita (segenap stakeholder dunia pendidikan) memandang dan memperlakukan semua peserta didik kita.

Setiap Peserta Didik itu “Istimewa”

Pertama-tama yang harus kita pahami adalah bahwa setiap peserta didik memiliki ‘keunikan’ dan ‘kecerdasannya’ masing-masing, seperti apa pun kondisinya. Dalam bahasa KHD para peserta didik itu memiliki kodrat alam-nya masing-masing. Inilah kata kunci yang harus dipahami oleh semua pendidik di Indonesia. Tuhan telah menciptakan seluruh manusia dengan segala keunikan dan bakat yang dimilikinya (atau kodrat alamnya).

Jadi, sebagaimana Thomas Amstrong (dalam Hamzah B.Uno dan Masri Kudrat Umar, 2009), tegaskan dalam tulisannya yang berjudul Natural Genius of Children : “Bahwa setiap anak adalah genius. Setiap anak dilahirkan dengan kemampuan tertentu. Setiap anak dilahirkan ke dunia dengan kekaguman, keingintahuan, spontanitas, vitalitas, fleksibilitas, dan banyak lagi kesenangan lain baginya. Anak kecil akan secara langsung menguasai sistem simbol yang rumit, otak cemerlang, kepribadian sensitif dan akselerasi terhadap setiap stimulasi, tanpa pendidikan secara formal. Dalam hal ini, adalah kewajiban orang tua di rumah dan guru di taman kanak-kanak untuk memelihara setiap kecerdasan anak sejak dini. Kegeniusan alam tersebut hendaklah dipelihara dan ditumbuhkembangkan secara optimal oleh orang dewasa.

Satu hal yang harus kita sadari, bahwa pada hakikatnya para peserta didik memiliki kecerdasannya masing-masing. Sebagaimana yang dikembangkan oleh Howard Gardner, dengan teorinya Multiple Intelligences, bahwa manusia (baca : peserta didik) memiliki 9 jenis kecerdasan, yang oleh DePorter, Reardon dan Nourie (2004) disingkat dengan istilah SLIM N BIL + E, yaitu S (Spatial Intelligence), L (Linguistic Intelligence), I (Interpersonal Intelligence), M (Musical Intelligence), N (Natural Intelligence), B (Bodily-Kinesthetic Intelligence), I (Intrapersonal Intelligence), L (Logical-Mathematical Intelligence), plus E (Exsistensial Intelligence). Sehingga dalam konteks ini, Bagi Gardner, tidak ada anak yang bodoh, yang ada adalah anak yang menonjol pada satu atau beberapa jenis kecerdasan. Sekali lagi, tidak ada siswa-siswi yang bodoh, goblok, bloon, tolol, bego, tulalit serta berbagai citra negatif lainnya, yang biasanya disematkan kepada mereka.

Seharusnyalah tidak ada kategori-kategori tersebut. Hal ini akan menjadi ‘sesat pikir’ yang pada gilirannya akan membuat stigma negatif bagi diri peserta didik, sekaligus merupakan sebuah “pembunuhan karakter” bagi peserta didik tersebut. Dampak selanjutnya, akan membuat citra diri mereka pun menjadi negatif. Sehingga wajar pada tahapan selanjutnya, mereka akan menjadi pribadi-pribadi yang cenderung negatif, bahkan destruktif di antara teman-temannya.

Justru hal inilah yang menjadi tugas dan tantangan bagi setiap institusi pendidikan dan guru/tenaga kependidikan, agar bagaimana berupaya untuk mencerdaskan anak-anak bangsa tersebut. Sebab sebagaimana sudah termaktub dalam Undang-Undang No. 141 tahun 2005, pasal 1, butir 1 tentang guru dan dosen adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Apalagi hak untuk mendapatkan pendidikan, merupakan hak yang dimiliki oleh setiap warga negara, sebagaimana yang menjadi amanah dalam Undang-Undang.

Menuju Merdeka Belajar

Janganlah sekolah, menjadi tempat “pembunuh kecerdasan”. Setiap murid, hampir dapat dipastikan memiliki satu atau dua jenis kecerdasan yang menonjol. Jadi, dengan paradigma baru yang menganggap bahwa tidak ada murid yang bodoh, setiap guru akan memandang para muridnya sebagai manusia-manusia yang memiliki potensi untuk berprestasi. Dengan pemahaman akan kondisi psikologis peserta didik ini, seyogyanya bagi para pendidik (di mana pun berada), untuk lebih bisa mengakomodir para peserta didiknya, untuk bisa menyelenggarakan sebuah pembelajaran yang lebih kreatif, inovatif, dan bermakna.

Jauh-jauh hari, KHD secara brilian sudah secara kritis memaknai fenomena dan realitas ini. Oleh karenanya, KHD secara solutif menawarkan konsep tentang Menghamba Kepada Anak. Menghamba bukan dalam artian harpiah. Tapi bagaimana guru (menurut KHD), menjadikan para peserta didiknya sebagai subjek pembelajaran (student oriented). Artinya bagaimana pembelajaran di ruang-ruang kelas itu bisa memberikan porsi lebih kepada peserta didiknya. Sebuah pembelajaran seharusnya dimulai dari siswa dan berakhir kepada siswa. Dalam bahasa lain, pembelajaran itu seharusnya “dari siswa, oleh siswa dan untuk siswa”. Itulah makna merdeka belajar sesungguhnya, sebagaimana tagline yang hari-hari ini selalu didengungkan Pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Apabila hal ini bisa diimplementasikan di ruang-ruang kelas, maka proses pembelajaran akan lebih menyenangkan dan bermakna. Karena peserta didik merasa bahwa seluruh proses pembelajaran itu merupakan bagian dari diri mereka, sebab segala proses pembelajaran melibatkan mereka dengan segala proses dan tahapannya. Sehingga hasilnya, tidak ada lagi peserta didik yang mengantuk, malas, dan bosan. Sehingga dengan ini terciptalah sebuah iklim pendidikan di sekolah yang lebih humanis, tanpa tekanan, tanpa paksaan, dan tentunya pembelajaran yang mengasyikkan lagi menyenangkan.

Bagi guru (di mana pun berada), ini lah tugas mulia dalam rangka mencerdaskan anak bangsa. Semua peserta didik adalah cerdas. Semua peserta didik berhak untuk sukses. Karena sejatinya fungsi sekolah adalah : “Bukan seberapa cerdas peserta didik, melainkan bagaimana menjadikan peserta didik anak-anak yang cerdas dan berguna”.

PROFIL PENULIS

Moh Zulham Alsyahdian, S.Hum, M.Pd. Guru SMP Negeri 1 Keritang

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image