Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Agus Darwanto

Bukti-Bukti Ilmiah Pancasila Bukan Thaghut

Agama | Wednesday, 13 Jul 2022, 08:10 WIB

Seruan dakwah seluruh nabi dan rasul adalah sama, yaitu kalimat tauhid laa ilaaha illallah “tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah” sebagaimana firman Allah ta’ala dalam Al-Qur’an :

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِيْ كُلِّ أُمَّةٍ رَسُوْلاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَ

“Sesungguhnya Kami telah utus pada setiap umat seorang rasul utusan yang menyeru : “Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut !” (Qs. An-Nahl : 36 )

Dalam Al-Mu’jam Al-Wasith dijelaskan bahwa thaghut adalah orang yang melampaui batas atau banyak melakukan perbuatan yang melampaui batas.(1) Al-‘Allamah Ibnul Qayiim Al-Jauziyah memberikan definisi yang lengkap sebagai berikut : “thaghut adalah setiap apa pun yang diperlakukan melampaui batas oleh seorang hamba, baik itu dengan disembah, diikuti atau ditaati.”(2) Berdasarkan definisi tersebut maka apa pun dan siapa pun yang disembah selain Allah dan dia ridha diperlakukan demikian maka dia adalah thaghut. Demikian pula siapa pun yang diikuti tanpa dalil atau ditaati dalam menyelisihi perintah Allah dan Rasul-Nya maka itu pun adalah thaghut. Seorang muslim wajib hukumnya mengingkari segala bentuk thaghut tersebut.

Seiring berkembangnya pemahaman takfiri di Indonesia, istilah thaghut pun mengalami distorsi. Pemaknaan thaghut bukan lagi mengikuti keyakinan aqidah para salafush shalih, namun sudah dibelokkan ke arah politik (siyasiyah). Seperti kutipan Badrus Sholeh (2017) tentang pemaknaan thaghut dalam Buku Seri Materi Tauhid karya Aman Abdurrahman tokoh Jama’ah Anshorud Daulah (JAD) yang menyorot prinsip ketauhidan melalui pemaknaan thaghut dan bagaimana kewajiban Muslim untuk beriman kepada Allah dan kufur terhadap thaghut, serta kritik atas praktik demokrasi sebagai bagian dari tradisi thaghut. Aman Abdurrahman menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia termasuk thaghut, sehingga menjadi pegawai negeri sipil (PNS) atau ASN dan bekerja di perusahaan milik Pemerintah atau BUMN menjadikan orang yang menjalaninya kafir.(3) Senada dengan itu adalah pernyataan Abu Bakar Ba’asyir yang dikutip oleh VOA Islam yang menyebut NKRI sebagai Negara musyrik dan kafir karena dasar negaranya adalah ideologi syirik yaitu Pancasila dan hukun jahiliyah yaitu UUD 1945.(4) Lalu bagaimanakah pandangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah tentang Pancasila ?

Untuk memberikan vonis terhadap suatu perkara, seseorang diharuskan mengerti tentang perkara tersebut sehingga vonis yang dijatuhkan tersebut memiliki bobot keadilan yang tepat. Untuk menghukumi Pancasila, semestinya seseorang harus mengenal betul apa itu Pancasila dari masa awal kelahirannya. Perumusan Pancasila dilakukan dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) I yang dilaksanakan pada 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945. Dalam sidang tersebut menampilkan beberapa pembicara, yaitu Mr. Muh. Yamin, Ir. Soekarno, Ki Bagus Hadikusumo, dan Mr. Soepomo. Keempat tokoh tersebut menyampaikan usulan tentang dasar negara menurut pandangannya masing-masing.(5) Sebenarnya Ki Bagoes Hadikoesoemo dari Muhammadiyah dan K.H. Wahid Hasyim dari Nahdhatul Ulama (NU) sempat mengusulkan agar yang menjadikan Islam sebagai dasar negara Indonesia, namun mereka tidak menyampaikan sesuatu rumusan sebagai tindak lanjutnya.(6) Akhirnya sidang menerima usulan Ir. Soekarno tentang nama Pancasila bagi dasar Negara Indonesia. Kemudian dibentuk panitia kecil 8 orang yang terdiri dari Ki Bagus Hadi Kusumo, K.H. Wahid Hasyim, Muh. Yamin, Sutarjo, A.A. Maramis, Otto Iskandar Dinata, dan Moh. Hatta yang bertugas menampung usul-usul seputar calon dasar Negara.(7)

Panitia 8 melakukan pertemuan pada tanggal 22 Juni 1945 dengan para anggota BPUPKI, yang ketika itu dihadiri oleh 38 anggota. Dalam rapat gabungan tersebut juga berhasil membentuk “Panitia 9” yang beranggotakan Ir. Soekarno sebagai ketua, Drs. Mohammad Hatta, Mr. Mohammad Yamin, Mr. Achmad Soebardjo, Mr. Alfred Andre Maramis, Abdoel Kahar Moezakkir, K.H. Wahid Hasyim, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan Agoes Salim. Tugas pokok dari Panitia 9 adalah merumuskan dasar negara Indonesia dan mencari jalan keluar dari perselisihan antara golongan Islam dengan dengan golongan nasionalis, Akhirnya Panitia 9 ini berhasil memperoleh jalan keluar yang berkaitan dengan dasar negara yang dibentuk dalam suatu “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar”, yang kemudian oleh Mr. Moh Yamin disebut dengan “Piagam Jakarta, (Jakarta Charter)” atau menurut Soekiman disebut dengan “Gentleman Agreement” (Perjanjian Luhur) yang di dalamnya termuat perumusan dasar negara yang terdiri atas lima macam atau lima sila, yaitu:

1. Ke- Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.

3. Persatuan Indonesia.

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Piagam Jakarta atau Gentleman Agreement ini kemudian diserahkan kepada Panitia 8 untuk selanjutnya dilaporkan dalam siding pleno BPUPKI pada tanggal 10 – 16 Juli 1945.(8) Namun demikian, rumusan Pancasila yang disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) berbeda dengan rumusan Pancasila dalam Piagam Jakarta. Hal ini dikarenakan adanya tuntutan dari wakil yang mengatasnamakan masyarakat Indonesia Bagian Timur yang menemui Bung Hatta yang mempertanyakan 7 kata di belakang kata “Ketuhanan”, yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Tuntutan ini ditanggapi secara arif oleh para pendiri negara sehingga terjadi perubahan yang disepakati, yaitu dihapusnya 7 kata yang dianggap menjadi hambatan di kemudian hari dan diganti dengan istilah “Yang Maha Esa”.(9) Pada saat perubahan tersebut tidak ada reaksi apa pun dari para ulama Islam Indonesia baik yang tergabung dalam PPKI maupun yang di luar PPKI. Ada pun pemberontakan Daarul Islam (DI) terjadi jauh setelah masa tersebut. Darul Islam / Tentara Islam Indonesia yang dibentuk oleh Kartosoewirjo pada 1949 merupakan sebuah bentuk gerakan politik sebagai bentuk kekecewaan terhadap kepemimpinan Soekarno.(10), bukan karena penghapusan 7 kata dalam sila pertama Pancasila. Hal ini dikarenakan penggantian 7 kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “Yang Maha Esa” memiliki muatan yang kurang lebih sama. Para ulama pendiri bangsa Indonesia memahami betul bahwa satu-satunya agama yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa hanya agama Islam. Dengan memahami hubungan antara Islam dan Pancasila akan dipahami bahwa Pancasila bukanlah Islam, tetapi Pancasila memperoleh ruh melalui ajaran Islam. Hal ini tercermin dalam kemampuan para pendiri bangsa Indonesia dalam meletakkan fondasi ideologi bangsa yaitu Pancasila dimulai dengan fondasi tauhid sebagai sokoguru utama Pancasila yang mewarnai sila-sila yang lain dalam Pancasila.(11)

Konflik pertentangan antara Islam dan Pancasila terjadi pada saat diberlakukannya azas tunggal Pancasila pada masa Orde Baru. Pada 1966 Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) menyelenggarakan seminar di Bandung tentang ideologi nasional yang merekomendasikan Pancasila sebagai azas ideologi setiap partai, organisasi sosial-keagamaan, serta administrasi pemerintahan. Hal itu kemudian dilanjutkan dengan usaha memberlakukan azas tunggal pada 1975 meskipun menemui kegagalan karena muncul respons negatif. Pada 6 November 1982, kelima organisasi yang mewakili kelima agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Buddha mengeluarkan pernyataan bersama bahwa masing-masing ingin mempertahankan azas keagamaan mereka dan berjanji akan membuat pengikut mereka tetap menjadi orang beragama dan Pancasilais. Namun usaha Pemerintah Orde Baru tidak bisa dibendung lagi. Pidato kenegaraan Presiden Soeharto di depan Sidang Paripurna DPR RI pada 16 Agustus 1982 tentang azas tunggal terus menggelinding dan mendapat legitimasi lewat ketetapan Sidang Umum MPR 1983. Kebijakan itu diperkuat dengan keluarnya UU No. 3 Tahun 1985 tentang Kepartaian dan Keormasan, yang mengatur bahwa azas selain Pancasila tidak lagi diperbolehkan. Keputusan pemerintah itu merupakan taruhan besar mengingat banyaknya penolakan dari ormas keagamaan. Bagi umat Islam, kebijakan tersebut jelas-jelas berdampak buruk karena menempatkan Islam fundamentalis sebagai musuh rezim.(12) Azas tunggal Pancasila telah melahirkan kontroversi di kalangan umat Islam. Sebagian besar umat Islam Indonesia bisa menerima azas tunggal, walaupun dalam keadaan terpaksa. Bagi umat Islam yang tidak mau menerima azas tunggal Pancasila, maka mereka dianggap sebagai gerakan bawah tanah yang anti pada pada pemerintah.(13) Hal tersebut yang memicu munculnya vonis thaghut terhadap Pancasila dari para tokoh-tokoh muslim yang menolak pemberlakuan azas tunggal.

Pada masa reformasi muncul Tap MPR No.18/1978 tentang pencabutan azas tunggal Pancasila dan berlanjut dengan keluarnya UU Sisdiknas No. 20/2003 yang mengeluarkan Pancasila dari mata pelajaran wajib dari Taman Kanak-kanak (TK) sampai dengan Perguruan Tinggi. Fakta-fakta tersebut merupakan bagian dari ”dinamika” kebangsaan yang bisa terus berlangsung di tengah pusaran fenomena yang semakin kompleks yang pada gilirannya akan dapat mempengaruhi penafsiran terhadap Pancasila.(14) Namun demikian kelompok-kelompok radikal anti Pancasila masih tetap memberikan label thaghut untuk Pancasila.

Bila menilik dari sejarah perumusan Pancasila hingga dicabutnya azas tunggal Pancasila dapat dipahami bahwa kedudukan Pancasila bagi bangsa Indonesia sama seperti kedudukan Piagam Madinah pada saat pertama kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menata masyarakat kota Madinah. Piagam Madinah merupakan sebuau ikatan perjanjian antar semua elemen penduduk Madinah untuk bersama-sama menjaga dan melindungi kota Madinah. Dr. Akram Dhiya’ Al-‘Umari menjelaskan bahwa Piagam Madinah terdiri dari dua perjanjian, yaitu perjanjian antara kaum muslimin dengan Yahudi yang ditulis sebelum terjadinya perang Badar dan perjanjian antara kaum Muhajirin dan Anshar yang ditulis setelah perang Badar.(15) Dalam Piagam Madinah disebutkan bahwa kaum muslimin dan Yahudi menjadi satu umat yang mana Yahudi tetap bersama agamanya dan kaum muslimin pun tetap bersama agamanya. Antara kaum muslimin dan Yahudi saling bahu membahu melindungi kota Madinah.(16)

Peran Pancasila sebagai sebuah perjanjian luhur yang disepakati oleh para pendiri bangsa Indonesia tidak jauh berbeda dengan isi Piagam Madinah. Sehingga secara esensi, tidak ada permasalahan dengan Pancasila. terdapat kesamaan antara nilai isi dari Pancasila dengan nilai-nilai ajaran Islam. Sila pertama sama dengan ketauhidan dan Hablum Min Allah, sila kedua sejalan dengan hablum Hablum Min An-Nas, sila ketiga sesuai dengan prinsip ukhuwah, sedangkan sila keempat sejalan dengan prinsip mudzakarah dalam menyikapi perbedaan pendapat dan syura (musyawarah), dan sila kelima sama dengan prinsip keadilan, yang khususnya dalam hal zakat, infaq dan shadaqah.(17) Hal ini sekaligus memberikan pemahaman bahwa perumusan ide Pancasila sejatinya diilhami oleh konsep dan nilai-nilai keislaman. Penegasan ini didasarkan kepada nilai-nilai dalam Pancasila bersesuaian dengan ajaran agama Islam meskipun Indonesia bukan negara Islam secara formal.(18)

Dengan demikian sangat keliru pemikiran para takfiriyun yang melabeli Pancasila sebagai thaghut. Namun demikian mengkultuskan Pancasila dan mendewa-dewakannya juga bukan perilaku yang dibenarkan oleh Islam. Pancasila di tangan para pendiri bangsa Indonesia adalah sebuah perjanjian luhur untuk mempersatukan semua elemen bangsa yang diilhami oleh Piagam Madinah. Selama peran Pancasila hanya sebatas itu maka tidak akan merusak aqidah Islam dan tidak boleh disebut sebagai thaghut. Ada pun perilaku sebagian kaum nasionalis yang kolot yang mengkultuskan Pancasila hingga mengatakan Pancasila lebih bagi dari Al-Qur’an, maka oknum yang demikian adalah salah satu perwujudan dari thaghut. Kesalahan bukan pada Pancasilanya, tetapi pada orang yang berlebih-lebihan dalam mengkeramatkannya. Sehingga Pancasila dalam pandangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah bukan thaghut, namun sebuah perjanjian luhur yang diinspirasi oleh Piagam Madinah dan konsep kalimatun sawa’.

Kesimpulan dari pembahasan ini adalah Pancasila bukan thaghut karena peran Pancasila sebagai perjanjian luhur para pendiri negara Indonesia untuk mempersatukan seluruh elemen bangsa, sebagaimana peran Pigama Madinah yang mengilhami lahirnya Pancasila. Ada pun oknum yang dapat disebut sebagai thaghut adalah orang-orang yang mengkeramatkannya hingga menempatkannya lebih sakral daripada semua kitab suci, termasuk Al-Qur’an. Oleh karena itu dalam pandangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Pancasila bukan thaghut.

Referensi :

1. Al-Mu’jam Al-Washith 1 – 2, Cetakan II 1392 H / 1972 M, Cairo.

2. Fath Al-Majid Syarh Kitab At-Tauhid oleh Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Asy-Syaikh. Cetakan 1412 H / 1992 M. Daar Al-Fikr, Beirut Lebanon, hal 28.

3. Dari JI ke ISIS: Pemikiran Strategis danTaktis Gerakan Terorisme di AsiaTenggara oleh Bardus Sholeh. Jurnal Hubungan Internasional Vol. 5 No. 2 tahun 2017 : 210 – 221.

4. https://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/08/15/26277/ustadz-baasyir-indonesia-berhukum-thaghut-umat-islam-dilarang-patuh/

5. Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi oleh Paristiyanti Nurwardani, Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Kemenristekdikti tahun 2016 hal. 51.

6. Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi oleh H.M. Alwi Kaderi, Antarasi Press tahun 2015 hal. 38.

7. Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi oleh Paristiyanti Nurwardani, Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Kemenristekdikti tahun 2016 hal. 53.

8. Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi oleh H.M. Alwi Kaderi, Antarasi Press tahun 2015 hal. 41-42.

9. Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi oleh Paristiyanti Nurwardani, Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Kemenristekdikti tahun 2016 hal. 57.

10. Gerakan Politik S.M. Kartosoewirjo (DI/TII 1949 – 1962) oleh Wahyu Irwansyah Tambunan, Jurnal POLITEIA Vol. 6 No. 1 tahun 2014 : 26 – 36.

11. Islam dan Ideologi Pancasila, Sebuah Dialektika oleh Fokky Fuad, Lex Jurnalica Vol. 9 No. 3 tahun 2012. : 164 – 170.

12. Islam dan Pancasila: Pergulatan Islam dan Negara Periode Kebijakan Azas Tunggal oleh Zuhri Humaidi, Konstektualita Vol. 25 No. 2 tahun 2010 : 291 – 312.

13. Islam dan Kekuasaan Orde Baru : Membaca Kembali Politik De-Islamisasi Soeharto oleh Darmawijaya, Sosiologi Reflektif, Volume 10 No. 1 tahun 2015 : 63 – 84.

14. Bangsa Indonesia di Tengah Fenomena Kekerasan dan Ketidakadilan (Perspektif Falsafah Pancasila) oleh Robby H. Abror, Esensia Vol. 13 No. 1 tahun 2012 : 20 – 38.

15. As-Siroh An-Nabawiyah Ash-Shohihah 1 - 2, Dr. Akrom Dhiya’ Al-‘Umari. Cetakan V tahun 1413 H /1993 M. Maktabah Al-‘Ulum wa Al-Hikam, Madinah hal 278.

16. As-Siroh An-Nabawiyah Ash-Shohihah 1 - 2, Dr. Akrom Dhiya’ Al-‘Umari. Cetakan V tahun 1413 H /1993 M. Maktabah Al-‘Ulum wa Al-Hikam, Madinah hal 182-183.

17. Tafsir Pancasila : Sebuah Telaah Nilai-Nilai Islam dalam Al-Qur’an oleh Nur Mutmainnah, Jurnal Studi Al-Qur’an Vol. 6 No. 1 tahun 2010 : 27 – 36.

Pemafsiran Pancasila dalam Perspektif Islam : Peta Konsep Integrasi oleh MK Ridwan, Dialogia Vol. 15 No. 2 tahun 2017 : 203 – 223.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image