Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Al Fitriyani

Fondasi Karakter Bangsa di Era Digital

Pendidikan | 2025-12-09 17:33:52


Di tengah pesatnya gelombang globalisasi dan digitalisasi yang mengubah hampir seluruh aspek kehidupan, Indonesia menghadapi tantangan untuk mempertahankan identitas bangsa. Generasi muda tumbuh di era media sosial di mana nilai-nilai dari berbagai belahan dunia mengalir tanpa saringan. Dalam kondisi ini, Pendidikan Pancasila bukan sekedar mata pelajaran wajib atau formalitas akademis, namun kebutuhan mendesak untuk membangun karakter bangsa yang kuat.

Pancasila sebagai ideologi pendiri bangsa Indonesia memiliki peran strategis dalam pembentukan nasionalitas. Namun, pertanyaannya tetap, apakah Pendidikan Pancasila yang diajarkan saat ini benar-benar relevan dan efektif dalam menghadapi tantangan zaman sekarang?Pancasila; Lebih dari Sekadar Menghafal Lima Prinsip. Pendidikan Pancasila sering kali dianggap sebagai pendidikan yang bersifat teoritis dan hafalan. Siswa dan peserta dibesarkan di semua tingkat menghafal Lima Prinsip, pasal-pasal UUD 1945 dan makna Bhinneka Tunggal Ika, tanpa memahami dengan cukup bagaimana nilai-nilai tersebut dioperasionalkan dalam kehidupan nyata.

Faktanya, Pancasila adalah hasil perjuangan panjang para pendiri bangsa dalam sejarah negara ini, yang berusaha mencari formula terbaik untuk mempersatukan keberagaman Indonesia. Prinsip Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa mengajarkan untuk bertoleransi secara religius. Prinsip Kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, mendorong penghormatan dan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia yang Dasar. Prinsip Ketiga, Persatuan Indonesia, menekankan pentingnya solidaritas nasional.

Prinsip Keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan, mengajarkan demokrasi secara musyawarah. Prinsip Kelima, Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menuntut pendistribusian kekayaan yang adil. Semua nilai ini sangat kontekstual dengan tantangan dan masalah yang kita hadapi saat ini: Intoleransi, polarisasi politik, ketimpangan ekonomi, dan krisis identitas. Namun, jika Pendidikan Pancasila hanya berupa wacana dan berhenti pada ranah kognitif tanpa menyentuh ranah afektif dan psikomotor, nilai-nilai ini akan tetap mati.

UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika: Pilar NKRI yang Harus Dipahami UUD 1945 adalah hukum dasar di Indonesia. Ini memuat hak dan kewajiban rakyat, sistem administrasi negara, dan sistem check and balance antara lembaga-lembaga negara. Namun, seberapa banyak warga negara Indonesia yang benar-benar memahami isi Konstitusi? Kurangnya pengetahuan tentang konstitusi merupakan salah satu faktor yang membuat orang mudah diprovokasi oleh narasi yang merongrong integritas NKRI. Hoaks dan disinformasi yang beredar di media massa mengincar kebodohan masyarakat tentang hak-hak konstitusional mereka. Begitu juga dengan moto Bhinneka Tunggal Ika.

Sering dikutip, tetapi makna mendalam dari Persatuan dalam Keragaman belum sepenuhnya terintegrasi dalam kesadaran bangsa. Kasus intoleransi, diskriminasi terhadap kelompok minoritas, dan konflik horizontal yang bersifat SARA menunjukkan bahwa pemahaman tentang pluralisme masih sangat dangkal. Pendidikan Ilmu Sosial harus mampu mengubah paradigma ini. Tidak hanya mengajarkan apa itu Bhinneka Tunggal Ika, tetapi juga bagaimana menghormati perbedaan, berdialog dengan kelompok keyakinan yang berbeda, dan menciptakan solidaritas lintas identitas.

Tantangan Pendidikan Pancasila di Era DigitalEra digital membawa tantangan baru bagi Pendidikan Pancasila. Media sosial menjadi medan pertarungan narasi, di mana informasi dan disinformasi bercampur aduk. Algoritma platform digital cenderung menciptakan ruang gema, di mana orang hanya terpapar pada tampilan yang sejalan dengan keyakinannya sendiri. Hal ini memperkuat polarisasi dan memperlemah kemampuan berdialog.

Di sisi lain, generasi muda lebih banyak menghabiskan waktu di dunia maya daripada berinteraksi secara langsung dengan keberagaman di sekitar mereka. Mereka lebih mudah terpengaruh oleh influencer, konten viral, dan tren global dibandingkan nilai-nilai lokal dan nasional.Dalam konteks ini, Pendidikan Pancasila harus bertransformasi. Metode pengajaran yang konvensional tidak lagi efektif. Dibutuhkan pendekatan yang lebih interaktif, kontekstual, dan berbasis pengalaman. Misalnya, melalui studi kasus, simulasi, diskusi publik, atau proyek-proyek yang melibatkan mahasiswa dalam menyelesaikan masalah sosial di sekitar mereka.

Revitalisasi Pendidikan Pancasila: Dari Wacana ke AksiUntuk menjadikan Pendidikan Pancasila lebih bermakna, beberapa langkah strategi perlu dilakukan:1. Pendekatan Pembelajaran yang KontekstualPengajaran Pancasila harus dikaitkan dengan isu-isu aktual yang dihadapi masyarakat. Misalnya, diskusi tentang sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dapat dikaitkan dengan kasus-kasus pelanggaran HAM, kekerasan terhadap perempuan, atau diskriminasi terhadap kelompok minoritas.2. Penggunaan Teknologi dan Media DigitalPendidikan Pancasila harus memanfaatkan teknologi untuk menjangkau generasi muda. Video edukatif, podcast, game interaktif, dan platform e-learning dapat menjadi media yang efektif untuk menyampaikan nilai-nilai Pancasila dengan cara yang menarik.3. Keteladanan dari Para PemimpinPendidikan Pancasila tidak akan efektif jika para pemimpin bangsa tidak menunjukkan keteladanan dalam mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Korupsi, intoleransi, dan politik identitas yang dilakukan oleh elit politik justru mengikis kepercayaan masyarakat terhadap Pancasila sebagai ideologi bangsa.4. Penguatan Literasi Digital dan KritisGenerasi muda perlu dibekali dengan kemampuan literasi digital dan berpikir kritis agar tidak mudah terprovokasi oleh hoaks dan propaganda. Pendidikan Pancasila harus mengajarkan bagaimana memilah informasi, memverifikasi sumber, dan berdialog secara sehat di ruang publik.5. Pelibatan Masyarakat SipilPendidikan Pancasila bukan hanya tanggung jawab pemerintah dan institusi pendidikan, tetapi juga masyarakat sipil. Organisasi kemasyarakatan, komunitas, dan massa media perlu berperan aktif dalam mensosialisasikan nilai-nilai Pancasila melalui berbagai kegiatan dan kampanye.

KesimpulanPendidikan Pancasila adalah investasi jangka panjang untuk masa depan bangsa. Di tengah tantangan globalisasi dan digitalisasi, Pancasila harus tetap menjadi kompas moral yang menuntun arah perjalanan Indonesia. Namun untuk itu, Pendidikan Pancasila harus bertransformasi dari sekedar hafalan menjadi pemahaman, dari wacana menjadi aksi, dan dari formalitas menjadi kebutuhan.

Generasi muda adalah harapan bangsa. Jika mereka memahami dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila, maka Indonesia akan memiliki fondasi yang kuat untuk menghadapi berbagai tantangan di masa depan. Sebaliknya, jika Pendidikan Pancasila gagal menyentuh hati dan pikiran generasi muda, maka kita akan kehilangan jati diri sebagai bangsa.Pancasila bukan warisan masa lalu yang harus dijaga di museum, namun pedoman hidup yang harus terus hidup dan berkembang sesuai dengan dinamika zaman. Saatnya kita semua, baik pemerintah, pendidik, pelajar, maupun masyarakat luas, berkomitmen untuk menjadikan Pancasila sebagai pedoman hidup, bukan sekedar slogan.Bhinneka Tunggal Ika bukan sekedar semboyan, namun komitmen untuk merawat keberagaman dan menjaga persatuan. Dan itu dimulai dari pendidikan yang berkualitas dan bermakna.



Pancasila adalah dasar negara serta falsafah negara Republik Indonesia yang terdiri atas lima sila

Lima ideologi utama penyusun Pancasila merupakan lima sila Pancasila. Ideologi utama tersebut tercantum pada alinea keempat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945:
Ketuhanan yang Maha EsaKemanusiaan yang adil dan beradabPersatuan IndonesiaKerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, sertaKeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image