Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Aniyatul Ain

Cara Islam Mengisi Kas Negara

Politik | 2021-11-12 11:35:22

Oleh: Aniyatul Ain

Pegiat Literasi Islam

Seiring dengan disahkannya UU HPP (Harmonisasi Peraturan Perpajakan) yang telah disahkan oleh Pemerintah dan DPR (7/10), efek dari kebijakan ini adalah tarif PPN akan naik kembali mencapai 11% dan mulai diberlakukan pada April 2022. Yasonna Laoly selaku Menteri Hukum dan HAM mengatakan, secara global tarif PPN di Indonesia masih lebih rendah dari rata-rata dunia sebesar 15,4%, lebih rendah dari Filipina (12%), Cina (13%), India (18%).

Pro kontra di kalangan masyarakat kerap terjadi manakala penguasa mengambil kebijakan yang amat memberatkan rakyat. Wacana kenaikan pajak tentu memberatkan masyarakat. Apakah penguasa lupa? Dua tahun lamanya negeri ini dilanda pandemi. Perekonomian masyarakat lesu. Tetapi pemungutan pajak sampai ke lubang jarum pun terus diburu. Sungguh, ironis. Inilah dampak dengan disahkannya UU HPP. Beban hidup masyarakat ke depan semakin berat. Sebagaimana kita tahu, UU HPP dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan ekonomi, serta mengoptimalkan penerimaan negara guna membiayai pembangunan nasional secara mandiri menuju masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera.

Selain itu, dengan disahkannya UU HPP, ke depan berdampak juga pada NIK secara otomatis menjadi NPWP. Ini juga meresahkan masyarakat. Masyarakat terus diburu dengan pajak dan pajak, disamping terus menanggung beban biaya hidup yang tidak murah di negeri yang menerapkan sistem kapitalisme ini. Untuk menepis kekhawatiran masyarakat, Pemerintah pun bersikeras bahwa pendapatan kena pajak orang pribadi ditingkatkan menjadi Rp 60 juta dari sebelumnya Rp 50 juta, dengan tarif pph sebesar 5%. Begitupun penghasilan tidak kena pajak tidak berubah yakni tetap Rp 4,5 juta/bulan kepada Wajib Pajak (WP) pribadi lajang maupun yang sudah kawin. Lapis pendapatan kena pajak pun ditambah satu, yakni pendapatan di atas 5M terkena pajak 35%.

Potret kehidupan dalam sistem kapitalisme-liberal tidak mengherankan jika bertumpu pada pajak. Aroma kapitalisme begitu menyeruak tatkala berbicara soal pengaturan kehidupan masyarakat, ekonomi dan keuangan negara. Di dalam sistem kapitalisme, pajak menjadi instrumen utama dalam mengisi kas negara. Selain pajak, untuk menggenjot pendapatan negara juga dengan utang, baik utang dalam negeri maupun luar negeri yang berbasis ribawi. Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dalam “mazhab kapitalisme” juga harus diliberalisasi/privatisasi atas nama investasi. Selain itu, sistem kapitalisme pun menggariskan masyarakat tidak boleh terus-menerus disubsidi negara. Negara dilarang campur tangan. Sistem ini membiarkan semua aktivitas perekonomian yang terjadi diserahkan kepada mekanisme pasar. Dampak dari diterapkannya paradigma ekonomi kapitalisme ini, utang negara yang berbasis ribawi semakin membengkak jumlahnya. Negara ini bukan hanya menanggung beban utang pokok tetapi juga bunga utang yang terus membumbung tinggi. SDA bumi Indonesia yang seharusnya milik umum/masyarakat, jatuh ke tangan asing/swasta. APBN semakin “sulit bernafas” karena beban utang yang besar. Selain itu juga dihantam pandemi dua tahun terakhir ini sehingga defisit APBN terjadi terus-menerus. Untuk menambal defisit APBN tersebut, masyarakat terus diburu kenaikan pajak dengan “motivasi” untuk membiayai pembangunan dan percepatan pemulihan ekonomi nasional. Namun, jauh panggang dari api. Fakta di lapangan menunjukkan pembangunan belum juga merata bahkan terjadi jurang kesenjangan yang menganga, antara pusat dan daerah. Juga antara si kaya dan miskin papa. Belum lagi gurita korupsi yang semakin menjebol APBN kita. Lantas bagaimana cara menyelamatkan APBN?

Jika dikaji seksama, Islam pun punya seperangkat hukum yang menjadi pemecah persoalan hidup manusia. Termasuk di dalamnya masalah ekonomi. Islam sebagai sebuah agama dan sistem hidup telah menggariskan batas-batas yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan dalam mekanisme sistem ekonomi Islam. Dalam hal ini, Allah Swt telah menetapkan sejumlah aturan untuk kebaikan hidup manusia. Karena Dialah Al-Khalik Al-Mudabbir (Pengatur), yang memahami betul seluk-beluk manusia. Oleh karenanya, kita sebagai makhluk wajib berpegang teguh pada hukum-hukum-Nya. Karena ini menjadi konsekuensi dari keimanan kita. Selain juga menjadi bukti penghambaan untuk memperoleh keselamatan di dunia dan akhirat.

Di dalam sistem ekonomi Islam, nash-nash syara telah menetapkan bahwa: Pertama, pemimpin adalah pengayom/pengurus masyarakat. Sebagaimana dalam hadis “Imam/Khalifah adalah raa’iin (pengurus) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari). Jika di dalam sistem kapitalisme negara tidak boleh campur-tangan (hanya sebagai regulator), lain halnya dengan Islam. Justru di dalam Islam, negara yang bertanggung jawab penuh terhadap berbagai urusan masyarakat, termasuk di dalamnya persoalan ekonomi. Maka, dalam mekanisme perekonomian Islam, menyubsidi rakyat itu bukan suatu “dosa”, malah “wajib”. Karena penguasa akan ditanya di hari kiamat tentang apa yang sudah menjadi tanggung jawabnya. Berbanding terbalik dengan sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan saat ini, yang melarang rakyatnya disubsidi terus-menerus oleh negara.

Kedua, perekonomian tidak boleh dibangun dengan sistem ribawi. Islam telah mengharamkan praktek riba. Baik dilakukan oleh individu per individu ataupun masyarakat dan negara. Sebagai seorang yang beriman, kita meyakini dalam larangan tersebut pasti mengandung hikmah yang luar biasa. Dan nyatanya terbukti, siapapun yang terjebak dalam riba, hancurlah kehidupannya! Dalil keharaman riba tersebar di dalam Al-Qur’an dan As-sunnah. Sebagaimana firman Allah Swt: “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS: Al-Baqarah: 275). Atau di ayat yang lain “ Maka jika kamu tidak meninggalkan sisa riba, (maka ketahuilah) bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu”. (QS: Al-Baqarah: 279). Demikian tegasnya perintah Allah kepada kita agar menjahui aktivitas riba. Selain itu, diperkuat juga dengan dalil yang terdapat dalam As-Sunnah sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw: ”Jauhi tujuh hal yang membinasakan!” Para Sahabat berkata, Wahai Rasulullah, apakah itu? Beliau bersabda: “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa diharamkan tanpa haq, memakan harta riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang dan menuduh wanita beriman berzina.” (HR. Muttafq ‘Alaih). Hadis Nabi Saw juga mengatakan: “Dosa riba terdiri dari 72 pintu. Dosa riba yang paling ringan adalah bagaikan seorang laki-laki yang menzinai ibu kandungnya.” (HR. Thabrani). Laknat pelaku riba bukan hanya kepada yang makan harta riba, tetapi juga untuk pemberi riba, pencatat juga saksinya. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Jabir RA:” Rasulullah Saw mengutuk orang yang makan harta riba, yang memberikan riba, penulis (transaksi riba) dan kedua saksi (transaksi riba), mereka semuanya sama”. (HR. Muslim).

Oleh karenanya, kita patut waspada dengan jumlah hutang ribawi negeri ini yang mencapai ribuan trilyun. Jangan sampai kita terjebak dalam kubangan hutang yang berpotensi menggadai negeri sendiri. Lihatlah betapa banyak BUMN saat ini pailit, gulung tikar dan bangkrut! Tersebab hutang ribawi negara-negara asing. Semestinya hal tersebut membuat kita mawas diri dan merenungkan peringatan dari Allah Rabb Semesta Alam akan bahaya riba ini. Tidak ada kata terlambat, negeri ini harus berbenah.

Ketiga, kepemilikan di dalam Islam juga diatur. Kepemilikan terbagi menjadi tiga jenis: kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Dalam kepeimilikan individu, Islam tidak melarang seseorang untuk memiliki harta dan kuantitasnya. Islam hanya membatasi dan mengatur mekanisme/cara perolehannya. Maka individu tetap diperbolehkan memiliki rumah, kendaraan, tanah, dll tentu dengan jalan yang tidak melanggar syariat (seperti mencuri, korupsi, menipu dll). Islam juga mendorong tiap individu untuk mengembangkan kepemilikan/hartanya dengan jalan yang diizinkan oleh asy-Syari’. Berbeda lagi dengan kepemilikan umum. Adapun kepemilikan umum, maka individu/kelompok/swasta tidak boleh secara mutlak menguasai segala sesuatu yang terkategori kepemilikan umum, semisal: air, tambang, minyak dan gas, hutan, danau, laut, dll. Hal ini berdasarkan nash hadis: “Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal air, padang (hutan) dan api.” (HR. Abu Dawud). Barang tambang yang tidak terbatas jumlahnya dan tidak mungkin dihabiskan, termasuk kepemilikan umum dan tidak boleh dimiliki secara pribadi. Hal ini berdasarkan hadis riwayat Imam at-Tirmidzi dari Abyadh bin Hamal: “Sesungguhnya ia pernah meminta kepada Rasulullah Saw. Untuk mengelola tambang garamnya. Lalu, Beliau memberikannya. Setelah ia pergi, ada seseorang dari majelis tersebut bertanya, “Wahai Rasulullah, tahukah Engkau, apa yang Engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya Engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air yang mengalir.” Rasulullah Saw bersabda, kalau begitu cabut kembali barang tambang tersebut darinya.” (HR. At-Tirmidzi). Demikian pengaturan Islam terhadap kepemilikan umum. Maka, individu/swasta tidak boleh menguasai semua benda yang terkategori kepemilikan umum karena itu semua adalah hak umat/masyarakat. Negaralah yang wajib mengelolanya. Bukan diserahkan kepada asing/swasta. Inilah keagungan sistem ekonomi Islam. Sayangnya, Indonesia sebagai negeri yang kaya raya malah menerapkan konsep bathil liberalisasi/privatisasi yang lahir dari sistem kapitalisme. Dampaknya, negeri ini tidak bisa mengelola SDA secara berdaulat dan mandiri.

Jenis kepemilikan yang ketiga adalah kepemilikan negara. Kepemilikan negara definisinya adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum muslimin/masyarakat sementara pengelolaanya menjadi wewenang penguasa Islam (khalifah). Semisal: harta fa’i, kharaj, jizyah, gedung-gedung, fasilitas publik, dsb.

Keempat, cara Islam mengisi kas negara. Ketika kekuasaan Islam masih berdiri di dalam institusi politik khilafah islamiyyah, sumber pendapatan negara (baitul mal) dapat diperinci dari beberapa pos sebagai berikut:

a. Pos Fa’i dan Kharaj: meliputi ghanimah, kharaj, tanah-tanah, jizyah, fa’i dan pajak.

b. Pos Kepemilikan Umum: meliputi minyak bumi, gas, listrik, barang tambang, laut, sungai, selat, mata air, hutan, padang gembalaan, hima, dsb.

c. Pos Zakat: meliputi zakat uang, komoditas perdagangan, pertanian dan buah-buahan, unta, sapi dan domba.

Tampak jelas bukan? Islam sedemikian detil mengatur berbagai persoalan hidup manusia. Termasuk cara mengisi kas negara. Bukan malah pajak dan utang yang menjadi andalan untuk membiayai pembangunan negara! Pajak dalam fiqh Islam dikenal dengan istilah dharibah. Hanya saja, pemungutan pajak dalam sistem ekonomi Islam bersifat temporer tidak terus-menerus seperti sekarang. Dharibah diambil ketika kondisi kas negara (baitul mal) benar-benar kosong. Itupun teknis pemungutannya hanya kepada Muslim dan yang kaya (mampu). Adapun Muslim yang kurang mampu atau non Muslim tapi kaya-raya, tidak akan terkena pajak (dharibah). Demikianlah sistem ekonomi dalam Islam. Dengan kembali kepada pengaturan Islam, maka sesungguhnya kehidupan kita sangat mungkin menjadi negara yang terdepan, kokoh lagi kuat dari sisi ekonomi. Karena negeri ini sangat kaya luar biasa, hanya keliru dalam tata kelola SDA. Jika kapitalisme sudah terbukti membuat bangkrut negeri ini kenapa tidak segera kembali kepada pengaturan syariah Islam untuk menyambut seruan dari Tuhanmu (Allah) agar terbebas dari kehidupan yang sempit? Firman Allah Swt “ Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan ayat-ayat kami, maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS: Al-A’raf: 96). Wallahua’lam.

Referensi:

https://money.kompas.com/read/2021/10/07/144200826/ppn-naik-jadi-11-persen-tahun-depan-skemanya-tetap-single-tarif

Struktur Negara Khilafah, Pemerintahan dan Administrasi, 2005. Hal: 238

Sistem Ekonomi Islam. Taqiyuddin An-Nabhani. 2010. Hal: 303-306

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image