Jangan Terpukau dengan Pencitraan, Inilah Kriteria Orang Baik
Agama | 2022-07-12 11:09:30Cicero, filosof Yunani, seperti yang ditulis sekretarisnya Tiro, sangat berambisi menjadi orang terkenal. Selain itu, Sang Filosof yang masa kecilnya dihabiskan di kota Sisilia ini berambisi menjadi pusat perhatian, menjadi tokoh besar dan sukses di kota tersebut, bahkan ia ingin terkenal di seantero Roma.
Menjelang musim pemilihan umum, untuk menarik perhatian massa ia sering membeli gandum dalam jumlah besar untuk memberi makan para pemilih di ibu kota. Jika ia tidak memberi makanan gratis, ia mengadakan operasi pasar atau menyelenggarakan pasar murah barang-barang yang diperlukan khalayak, terutama barang-barang yang dibutuhkan orang-orang miskin.
Cicero pun sering pura-pura tertarik pada percakapan penduduk setempat, sering mendengarkan keluh kesah, dan kesulitan yang mereka hadapi. Semua orang tertarik dengan perilaku Cicero, khalayak menyebutnya sebagai orang baik dan penuh perhatian kepada rakyat jelata nan menderita (diadaptasi dari novel “Imperium” karya Robert Harris).
Kondisi tersebut berbeda dengan Plato yang juga seorang Filosof Yunani. Untuk dapat menentukan seseorang sebagai orang baik, penentuannya bukan hanya dengan perilaku baik yang dilakukan sesaat.
Cucuran air mata ketika melihat orang menderita belum tentu menunjukkan kesedihan, bisa jadi sebagai “mata uang” yang dapat dipakai seseorang untuk membeli simpati orang lain agar menilai dirinya sebagai orang perhatian yang turut serta merasakan penderitaan orang lain. Pun halnya dengan pemberian bantuan yang diberikan secara terbuka belum tentu sebagai tanda simpati, bisa jadi sebagai “mata uang” untuk membeli “suara”.
Tapi, kata Plato, “You can discover more about a person in an hour of play than in a year of conversation. Anda bisa menemukan watak, ciri, karakter seseorang dalam satu jam permainan (bergaul, bercengkrama, atau bekerjasama dengannya). Dengan kata lain terlibat langsung dalam kegiatan bersama. Melalui aktivitas bersama ini akan efektif untuk saling mengenal dibanding dengan hanya mengobrol kendati dalam waktu satu tahun” (Fahruddin Faiz, Menjadi Manusia, Menjadi Hamba, 2020 : 176).
Umar bin Khattab juga mewanti-wanti kepada kita agar jangan terlalu cepat menilai seseorang sebagai orang baik karena hanya melihat pencitraan. Jangan hanya karena melihat sekali senyuman kita langsung memvonis seseorang sebagai orang baik.
Pun jangan hanya karena pernah melihat seseorang menangis tatkala melihat penderitaan orang lain, kita langsung memvonisnya sebagai orang yang penuh perhatian. Terlebih-lebih jika dilakukan pada saat-saat seseorang memerlukan dukungan.
Dalam suatu persidangan, Umar bin Khattab bertanya kepada seseorang yang mendatangkan seorang saksi. “Saya belum mengenal orang ini. Apakah saksi ini orang baik?“
Orang tersebut menjawab, “Amirul Mukminin. Aku bersaksi, saksi ini merupakan orang yang baik.”
“Dengan kriteria apa, kamu bisa menentukan saksi ini sebagai orang baik. Apakah dia tetanggamu sehingga kamu mengetahui segala perilakunya di dalam dan di luar rumah?” Tanya Umar bin Khattab selanjutnya.
“Sama sekali dia bukan tetanggaku. Hanya aku pernah mendengar kabar dari orang lain tentang keadilan orang ini.” Jawab orang tersebut.
“Apakah kamu pernah bekerjasama dengan orang tersebut dalam kegiatan bisnis bersamanya dan menitipkan sesuatu kepadanya?” Lanjut Umar bin Khattab.
“Sama sekali belum.” Jawab orang tersebut.
“Apakah kamu pernah melakukan muamalah, hidup bergaul bermasyarakat atau bepergian bersamanya?” Lanjut Umar bin Khattab.
“Sama sekali belum.” Jawab orang tersebut.
“Kalau begitu, kamu belum mengenal karakter orang ini yang kamu datangkan sebagai saksi. Kamu pun tidak berhak menilai orang tersebut sebagai orang baik. Cobalah kamu datangkan saksi seseorang yang benar-benar kamu kenal, dan kamu telah mengetahui akhlak atau perilakunya.” Demikian perintah Umar bin Khattab.
Percakapan seseorang dengan Amirul Muknin tersebut dicantumkan Muhammad Nashiruddin al Albani dalam salah satu karyanya Irwa al Ghalil fi Takhrij al Hadits Manari al Sabil, Juz 8, hal. 260, hadits nomor 2367.
Intinya, baik menurut Umar bin Khattab maupun Plato, untuk menentukan seseorang itu berperilaku baik, bergaullah dengan orang tersebut. Melalui pergaulan dengan seseorang, kita akan mengetahui karakter perilakunya, baik yang bersifat sosial maupun spiritual.
Secara sosial misalnya dalam hidup bermasyarakat kita akan mengetahui perilaku, tata krama seseorang ketika bertetangga dan bermasyarakat. Demikian pula halnya dalam kerjasama bisnis dengan seseorang, kita akan mengetahui tingkat kejujuran, kebohongan, dan keamanahannya.
Secara spiritual, melalui pergaulan dengan seseorang, kita akan mengetahui bagaimana ketaatannya dalam menjalankan perintah agama serta pengimplementasian nilai-nilai agama dalam kehidupan.
Abu Zaid, seorang ulama sufi berkata, “Jika kalian melihat seseorang diberi berbagai karamah, sampai-sampai dia bisa terbang di angkasa, maka janganlah kalian terkecoh olehnya, sehingga kalian melihat bagaimana dia berhadapan dengan perintah dan larangan, menjaga hukum, dan adab-adab syari’at” (Yusuf Qaradhawi, Fi Thariq Ilallah, al Hayat ar Rabbaniyah wal ‘Ilm, 195 : 114).
Pada saat ini kehidupan kita beada di tengah-tengah lingkungan yang sarat dengan pencitraan. Seringkali terjadi, perbuatan baik yang dilakukan seseorang maupun organisasi hanya kamuflase belaka untuk menutup tujuan sebenarnya.
Untuk itu kita harus berhati-hati dalam menilai kebaikan seseorang atau suatu organisasi. Namun demikian, kita pun harus berhati-hati jangan sampai terjebak ke dalam sikap berburuk sangka.
Agar kita tidak terjebak ke dalam sikap berburuk sangka, seperti pesan Umar bin Khattab dan Plato kita harus meneliti perilaku seseorang melalui bergaul dengan mereka, baik secara sosial maupun spiritual.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.