Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Afiani Azwita

Pelangi Setelah Hujan

Sastra | Thursday, 11 Nov 2021, 11:04 WIB

“Innalillahi wa innailaihi rojiun”

Hanya itu kalimat pertama yang terucap dari bibir tipis Pelangi dengan hati bergetar saat berita duka dari Semarang datang mengguncang harinya. Suara sedih dari Mbak Awan di seberang sana terdengar jauh, seakan bergema dari atas langit. Dia separuhnya tak percaya bahwa kabar itu turun untuknya. Rasanya terlalu jauh baginya. Dari dalam jurang kesedihannya, Pelangi berusaha menyimak baik-baik.

“Kabari saudara – saudara ya, Dik. Mbak di sini urus jenazah Mas Hujan sebaik mungkin, jadi sampai Pekalongan nanti tinggal dimakamkan.

“ Kamu harus tabah, Dik!” Kata Mbak Awan Lagi. Ach, suara Mbak Awan terdengar ikhlas, meski ia juga ditinggalkan.

Sirine ambulan terdengar tiga jam berikutnya. Pertanda jenazah telah tiba. Segenap kerabat pun sudah berkumpul untuk mengikuti prosesi pemakaman. Kuantarkan jenazah Mas Hujan ke peristirahat terakhirnya. Tepat di samping pusara ayah dan bunda. Lantunan doa terucap “semoga kau tenang di surga, Mas!

Kepergian Mas Hujan menyisakan duka untukku. Masih terekam dalam memori. Hari dimana aku dapat berdiri tegak, bangga, iya, aku sangat bangga. Saat namaku dipanggil. Menggema suara bariton sang MC.

Hadirin yang terhormat,

Inilah wisudawan terbaik tahun ini, Saudara Cintya Ratna Pelangi, dengan Nomor Induk Mahasiswa A 310 010 055, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Ach, masih ku ingat jelas. Ada wajah yang jauh lebih bangga. Binar kebahagiaan itu nyata. Dialah Cakrawala Rosika Hujan. Sosok yang selalu ada untukku. Tanpa pamrih tapi penuh kasih merawat, mengayomi bahkan membiayai hidupku. Tak pernah ada kata yang tepat untuk menggambarkan peran Mas Hujan. Terkadang dia bisa menjadi ayah yang bijak. Ataupun menjadi ibu yang pandai memasak. Meski terkadang ia berubah menjadi sosok kakak yang galak. Semua melebur dalam diri Mas Hujan.

“Dik!” tiba – tiba Mbak Awan membuyarkan lamunanku. Dalam buaiannya terlihat malaikat kecil, nampak teduh. Tenang sekali. Seakan kepergian ayahnya tak berimbas apapun.

“Iya, Mbak!” jawabku cepat.

“Apakah Mbak sementara waktu boleh tinggal di sini” terdengar berat dan segan pertanyaan dari Mbak Awan.

“Dengan senang hati, Mbak. Cukuplah aku kehilangan Mas Hujan. Namun kiranya jangan sampai aku juga kehilangan apa yang telah Mas Hujan amanahkan”

Seketika aku pun menceritakan percakapanku dengan Mas Hujan sebulan sebelumnya.

“Pelangi!” panggilnya

“Iya, Mas” Jawabku

“Andai aku tak bersama kalian lagi, izinkan aku titipkan istri dan anakku padamu. Perlakukan mereka dengan baik. Cukupkan segala kebutuhan sampai kau rasa mereka mampu berdiri sendiri. Bukan berarti aku menagih apa yang telah ku beri padamu. Tidak, Pelangi. Aku ikhlas. Tapi aku tak rela andai anak dan istriku terlantar karena kepergianku!

“Mengapa Mas Hujan berpikiran akan meninggalkan kami” cecarku.

Mbak Awan diam membisu. Rupanya Mas Hujan sudah memiliki firasat akan pergi. Butiran kristal pun menghiasi sudut matanya.

“Aku berjanji akan menjaga amanah Mas Hujan”

Sudut Kota Kecil, 4 Juni 2020

Nur Afiani, Guru di SMK 1 Sragi

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image