Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Athalia Pradianti

Etika dalam Penyelenggaraan Negara

Eduaksi | Saturday, 09 Jul 2022, 21:50 WIB

Abstrak –Aparatur Sipil Negara (ASN) memiliki peran sangat penting dalam penyeleng-garaan pemerintahan Negara Republik Indonesia. Fungsi utama ASN adalah pelaksa-na kebijakan publik, pelayanan publik, dan perekat dan pemersatu bangsa. Di tangan ASN lah eksekusi berbagai urusan pemerintahan secara nyata dilakukan.

Agar pelaksanaan fungsi berjalan efektif, ada kode etik yang harus dipatuhi oleh se-tiap ASN. Namun dalam kenyataannya, masih banyak terjadi pelanggaran terhadap kode etik ASN. Penyebabnya bisa karena faktor-faktor intern maupun ekstern. Se-mentara unsur-unsur yang memengaruhi perwujudan etika dalam organisasi menurut Magnis Suseno adalah lingkungan kerja dan pengawasan/pengendalian.

Mengingat determinannya peranan ASN dalam penyelenggaraan pemerintahan nega-ra, penegakan etika ASN menjadi sangat penting. Dengan mengetahui faktor-faktor penyebab pelanggaran etika oleh ASN dan unsur-unsur yang memengaruhi perwu-judan etika dalam organisasi, maka yang harus dilakukan adalah pertama, penguatan dan pemantapan jiwa korsa ASN melalui pembinaan yang konsisten dan berkelanju-tan; kedua, kontrol oleh masyarakat dan media massa terhadap perilaku ASN mel-alui saluran-saluran yang tersedia; dan ketiga, menegakkan disiplin dan mengenakan sanksi yang tegas jelas atas pelangaran kode etik oleh ASN.

Kata kunci: etika, kode etik, aparatur sipil negara

A. Pendahuluan

Bagaimana pun, Aparatur Sipil Ne-garåa (ASN) mempunyai peran penting dan menentukan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara sesuai peraturan pe-rundang-undangan untuk mewujudkan tu-juan dan sasaran-sasaran penyelenggaraan pelayanan publikyang telah ditentukan dalam rangka tujuan nasional. Untuk itu, sebagaimana disebutkan dalam Penjela-san Umum Undang-Undang Nomor 5 Ta-hun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, diperlukan ASN yang profesional, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan per-an sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Konteks tujuan nasional yang men-jadi garapan pekerjaan dan layanan ASN, mencakup bidang tugas yang sangat kom-prehensif, yaitu tugas untuk melaksanakan pelayanan publik, pemerintahan, dan pem-bangunan tertentu.

Tugas pelayanan publik dilakukan dengan memberikan pelayanan atas ba-rang, jasa, dan/atau pelayanan administra-tif yang disediakan Pegawai ASN. Adapun tugas pemerintahan dilaksanakan dalam rangka penyelenggaraan fungsi umum pe-merintahan yang meliputi pendayagunaan kelembagaan, kepegawaian, dan ketata-laksanaan. Sedangkan pelaksanaan tugas pembangunan tertentu, dilakukanmelalui pembangunan bangsa (cultural and polit-ical development) serta melalui pemban-gunan ekonomi dan sosial (economic and social development) yang diarahkan men-ingkatkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh masyarakat.

Oleh karena itu, kualitas SDM ASN, baik aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap benar-benar harus mumpuni sehingga bisa disebut kompeten pada bi-dang tugas yang digeluti. Dengan kualitas demikian, ASN, sendiri-sendiri maupun bersama-sama akan mampu memberikan kontribusi berarti dan signikan bagi mas-yarakat dan pemerintah dalam melaksana-kan tugas dan tanggung jawab pelayanan yang dilaksanakan. Ke dalam aspek sikap perilaku (at-titude), terpateri juga nilai-nilai, norma, aturan, prinsip-prinsip yang memberi warna sekaligus menggerakkan sikap itu sendiri. Dan dalam banyak kasus, justru sikap/perilaku ini yang sangat menentukan efektivitas dan kemanfaatan seseorang da-lam dunia kerja apalagi dalam pelayanan publik. Percuma memiliki pengetahuan yang baik dan keterampilan yang andal tapitidak memiliki sikap perilaku yang dibutuhkan.

Sikap perilaku yang dibutuhkan da-lam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab ASN sudah barang tentu terkait dengan etika yang mesti melekat dalam diri ASN. Sebagai profesi, maka ASN memiliki kode etik dan kode perilaku sebagai salah satu dari 6 (enam) prinsip profesi ASN yang ditentukan (cfr. Pasal 3 UU 5/2014).

Pengertian etika secara sederhana berhubungan dengan penilaian baik-bu-ruk, benar-salah suatu perbuatan dalam konteks lingkungan tertentu (Sitanggang, 1998: 5-7). Konteks lingkungan bisa merujuk kelompok masyarakat, negara, komunitas profesi tertentu. ASN sebagai suatu profesi juga memiliki standar-stan-dar etika tertentu yang harus dipatuhi dan dilaksanakan. Sebagai profesi bagi peg-awai negeri sipil dan pegawai pemerin-tah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah, maka etika ASN sudah barang tentu ada dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan.

Penyimpangan-penyimpangan perila-ku atas norma etika yang telah ditentukan, apalagi sikap “membangkang” terhadap pemerinah dan negara, di mana ASN ada-lah aparatus pelaksana tugas dan tanggung jawab yang diberikan pemerintah, tentu adalah pelanggaran etika yang sangat pa-rah.

Beberapa kasus penyimpangan dan “pembangkangan” yang paling marak belakangan ini adalah ketidaknetralan ASN dalam pemilu kada, korupsi, ket-idakdisiplinan, dan bahkan penyebaran ujaran kebencian melalui media sosial, termasuk pengingkaran terhadap ideologi negara Pancasila, mengkritik dan meni-stakan lembaga atau aparatur negara lain secara tidak bertanggung jawab. Kepala Biro Badan Kepegawaian Negara (BKN), Mohammad Ridwan, sebagaimana dikutip Yoga Sukmana, mengatakan bahwa seba-gian besar terlapor ujaran kebencian ber-profesi sebagai dosen ASN dan PNS Pe-merintah Pusat (https://nasional.kompascom/read/2018/06/08/16095701/hingga-mei-2018-bkn-terima-14-aduan-ujaran-kebencian-oleh-asn).

Lalu, masih segar dalam ingatan kita, ketika terjadi teror bom di Surabaya, bagaimana seorang guru PNS melalui akun media sosialnya mengomentari teror bom di Surabaya sebagai rekayasa pengalihan isu oleh kepolisian; kemudian juga beber-apa dosen bahkan dekan di beberapa per-guruan tinggi yang akhirnya dilengserkan karena menyebarkan paham radikalisme. Tatanan kehidupan bersama menjadi tidak nyaman, friksi di sana-sini, kekha-watiran dan ketakutan menyembul dalam kehidupan bersama, akibat penyimpangan etika oleh ASN yang justru seharusnya menjadi perekat kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pentingnya peran ASN dalam penye-lenggaraan tugas-tugas pemerintahan untuk mewujudkan tujuan negara, tentu menjadi kajian menarik, yang tidak hanya cukup dipahami dengan baik namun yang terpenting bagaimana peran itu dilaksan-akan secara bertanggung jawab, termasuk menaati kode etik yang telah digariskan.

Maka tulisan ini berupaya mendisk-usikan beberapa permasalahan, yaitu: bagaimana kedudukan, fungsi, peran ASN dalam penyelenggaraan pemerin-tahan NKRI?; mengapa terjadi penyim-pangan-penyimpangan etika bahkan cenderung sebagai suatu model “khianat” dan “pembangkangan”; dan bagaimana memantapkan perilaku etis ASN?

B. Pemerintahan Negara dan ASN

Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik dengan sistem pemerintahan prisidensial. Ini berarti bah-wa penyelenggaraan pemerintahan nega-ra dipertanggungjawabkan oleh Presiden. Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 secara tegas menentukan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemer-intahan menurut Undang-Undang Dasar.Kekuasaan pemerintahan dalam hal ini merujuk pada pengertian pemerintahan dalam arti sempit, yang dalam ajaran trias politicaMontesquieu menyangkut kekua-saan eksekutif, yaitu kekuasaan melaksan-akan undang-undang (Winarno, 2008: 90). Dalam menyelenggarakan pemerin-tahan negara, menurut Pasal 17 ayat (1) UUD 1945, Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara; lalu ayat (3) menen-tukan bahwa setiap menteri membidan-gi urusan tertentu dalam pemerintahan. Sementara dalam Penjelasan UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daer-ah, dikatakan bahwa Presiden sebagai pe-megang kekuasaan pemerintahan dibantu oleh menteri negara dan setiap menteri bertanggung atas Urusan Pemerintahan tertentu dalam pemerintahan.

Urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab Presiden selaku eksekutif, mencakup bidang yang sangat luas, boleh dikatakan mencakup seluruh aspek ke-hidupan masyarakat (publik) dalam wadah negara. Dalam hubungan dengan pemerin-tahan daerah, jenis urusan pemerintahan yang dimiliki pemerintah, dalam hal ini pemerintah pusat, jika dilihat berdasarkan kewenangan,dipilah menjadi:a. urusan pemerintahan absolut, yaitu urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pu-sat;b. urusan pemerintahan konkuren, yaitu urusan pemerintahan yang dibagi an-tara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota;c. urusan pemerintahan umum, yaitu urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan presiden sebagai kepa-la pemerintahan, seperti pembinaan wawasan kebangsaan, pembinaan per-satuan dan kesatuan bangsa, serta pen-anganan konik. (Rudito, dkk, 2016: 90).

Urusan pemerintahan absolut pada prinsipnya, sepenuhnya memang menjadi tanggungjawab dan kewenangan pemer-intah pusat sehingga pada dasarnya juga dapat diselenggarakan sendiri oleh pemer-intah pusat. Namun demikian, pemerintah pusat juga dapat melimpahkan kewenan-gan penyelenggaraannya kepada instansi vertikal yang ada di daerah atau gubernur sebagai wakil pemerintah pusat berdasar-kan asas dekonsentrasi.

Selanjutnya, urusan pemerintah konkuren dan umum, penyelenggaraan-nya dilakukan baik oleh pemerintah pu-sat maupun daerah dengan ruang lingkup masing-masing yang diatur dalam pera-turan perundangan-undangan. Dalam kon-teks negara kesatuan, berarti pemerintah pusat memberikan kewenangan kepada daerah-daerah untuk menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan tersebut. Pelimpahan kewenangan inilah yang men-jadi dasar pelaksanaan otonomi daerah (Rudito, dkk, ibid.).

Sudah barang tentu, dari pusat hingga daerah, dalam melaksanakan urusan-urusan pemerintahan tersebut, ASN memiliki peranansangat penting karena merekalah yang secara langsung melaksanakan urusan-urusan tersebut dan berhadapan langsung dengan masyarakat atau pengguna layanan.

Yang dimaksud ASN, sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Nomor 5 Tahun 2014, adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah den-gan perjanjian kerja yang bekerja pada in-stansi pemerintah. Dengan demikian jelas, sesuai pengertian tersebut, ASN itu adalah profesi. Menurut Kamus Besar Bahasa In-donesia Online, profesi berarti bidang pek-erjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejujuran, dan sebagainya) tertentu (https://kbbi.web.id/profesi).

Orang yang memiliki profesi atau melaksanakan bidang pekerjaan tertentu biasanya disebut profesional; sebutannya bisa pegawai atau karyawan. Jika ASN itu adalah profesi, maka pegawai ASN, sesuai ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Nomor 5 Tahun 2014 adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanji-an kerja yang diangkat oleh pajabat pembi-na kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasar-kan peraturan perundang-undangan.

Dengan ketentuan tersebut berarti kini hanya terdapat 2 jenis pegawai sebagai un-sur aparatur negara, yaitu Pegawai Negeri Sipil Republik Indonesia (PNS) dan peg-awai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK), sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 dan 7 UU ASN. Sebelumnya, PNS terdiri dari PNS Pusat, Daerah dan pega-wai tidak tetap (PTT), di samping itu ada PNS TNI dan POLRI.

Pembaruan, penyesuaian dengan tun-tutan perkembangan memang merupakan keharusan jika sebuah organisasi ingin bertahan dan berlangsung terus, apala-gi organisasi negara yang birokrasinya memang didesain untuk tugas-tugas pe-layanan bukan penguasaan. Dalam kon-teks demikian, momentum reformasi kemudian menjadi garis-mulai untuk me-nata birokrasi. Melalui reformasi birokra-si, pelayanan publik dituntut: (Rudito, dkk., 2016: 50-51).

a. lebih profesional, yang berarti pelayan publik (birokrasi) memiliki akuntabili-tas dan responsibiltas;

b. efektif, yaitu mengutamakan pencapa-iaan tujuan dan sasaran;

c. sederhana, yaitu prosedur/tata cara pe-layanan diselenggarakan secara cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah di-pahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan;

d. memiliki kejelasan dan kepastian men-genai prosedur/tata cara pelayanan, persyaratan pelayanana teknis maupun administratif, unit kerja dan/atau pe-jabat yang berwenang dan bertanggu-ngjawab dalam memberikan pelaya-nanan, perincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya, serta jad-wal waktu penyelesaian pelayanan;

e. terbuka, yaitu seluruh aspek yang ber-kaitan dengan proses pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar mu-dah diketahui dan dipahami oleh mas-yarakat, baik diminta maupun tidak;

f. efisien, tepat waktu, responsif dan adaptif. Apa yang tergambar sebagai tujuan reformasi birokrasi tersebut memang se-jalan dengan fungsi, tugas, dan tanggung jawab ASN.

Ada tiga fungsi utama ASN sebagaimana ditentukan oleh Undang-Undang, yaitu: pelaksana kebijakan publik, pelayanan publik, dan perekat dan pemer-satu bangsa. Sedangkan tugas yang harus dilaksanakan terkait fungsi tersebut ada-lah:

a. melaksanakan kebijakan publik yang dibuat oleh Pejabat Pembina Kepega-waian sesuai dengan ketentuan peratur-an perundang-undangan;

b. memberikan pelayanan publik yang profesional dan berkualitas; dan

c. mempererat persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Atas tugas, fungsi, tanggungjawab yang digariskan peraturan perundangan terhadap ASN, sudah barang tentu ada hak-hak yang dimiliki/diberikan seperti gaji, fasilitas, promosi, dan sebagainya. Sementara kewajiban yang harus ditaati dan dipenuhi adalah:

a. setia dan taat pada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pemerintah yang sah;

b. menjaga persatuan dan kesatuan bangsa;

c. melaksanakan kebijakan yang dirumuskan pejabat pemerintah yang berwenang;

d. menaati ketentuan peraturan perundang-undangan;

e. melaksanakan tugas kedinasan dengan penuh pengabdian, kejujuran, kesa-daran, dan tanggung jawab;

f. menunjukkan integritas dan ketela-danan dalam sikap, perilaku, ucapan dan tindakan kepada setiap orang, baik di dalam maupun di luar kedinasan;

g. menyimpan rahasia jabatan dan hanya dapat mengemukakan rahasia jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

h. bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

C. Etika ASN

Untuk menjamin pelaksanaan fungsi, tugas, tanggung jawab dan kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan, ada rambu-rambu norma, kode etik yang harus senantiasa menjadi pedoman dalam penyelenggaraan tugas-tugas pelayanan setiap ASN.Kode etik, merujuk pengertian dalam Kamus Besar Bahasa Indone-sia Online (https://kbbi.web.id/kode), berarti norma dan asas yang diterima oleh kelompok tertentu sebagai landasan tingkah laku. Atau secara lugas bisa dikatakan bahwa untuk mewujudkan tujuan pelaksa-naan fungsi pelaksana kebijakan publik, pelayanan publik, perekat dan pemersatu bangsa, ada etika tertentu yang harus dipedomani dan dijadikan acuan bertindak oleh ASN.

Konsep “etika” sering dipertautkan dengan “moral”. Konsep “moral” mengacu pada seluruh aturan dan norma yang berlaku, yang diterima oleh suatu masyarakat tertentu sebagai pegangan dalam bertindak, dan diungkapkan dalam kerangka baik dan buruk, benar dan salah (Hary-atmoko, 2011: 2). Moral mengacu pada kewajiban, norma, prinsip bertindak, imperatif.

Etika lebih dimengerti sebagai refleksi/filosofis tentang moral, atas baik/buruk, benar/salah yang harus dilakukan atau bagaimana melakukan yang baik atau benar. Atau menurut Paul Ricouer sebagaimana dikutip Haryatmoko (2011: 2), etika merujuk pada tujuan hidup yang baik bersama dan untuk orang lain dalam institusi yang adil.

Pada aras pemahaman bahwa etika adalah refleksi/fillosofis atas moral, maka dapat dimengerti bahwa etika tidak hanya berkaitan dengan kepatuhan pada norma (moral), tetapi penekanannya justru pada aspek reflektif dalam upaya mencari “bagaimana” bertindak. Dalam konteks ASN, maka etika yang dimaksud lebih pada refleksi tentang standar/norma yang menentukan baik/buruk, benar/salah perilaku, tindakan dan keputusan untuk mengarahkan kebijakan publik dalam rangka menjalankan tanggung jawab pelayanan publik.

Itu berarti, etika menjadi sangat penting dalam melaksanakan tugas, fungsi dan tanggung jawab secara profesional dalam sebuah organisasi. Siagian (1996: 11) menunjukkan beberapa alasan pentingnya etika dalam organisasi:

a. etika di samping menyangkut aplikasi seperangkat nilai luhur sebagai acuan dasar bersikap dan berperilaku, juga menyangkut berbagai prinsip yang menjadi landasan perwujudan nilai-nilai tersebut dalam berbagai hubungan yang terjadi antar manusia dan lingkungan hidup;

b. etika memberikan prinsip yang kokoh dalam berperilaku sehingga dapat menjamin kehidupan sosial yang tertib karena etika berisi nilai-nilai luhur yang disepakati bersama untuk dilaksanakan dan dijunjung tinggi sebagai prinsip yang kokoh dalam berperilaku sehingga kehidupan organisasi semakin bermakna;

c. etika sebagai landasan moral berperilaku yang relevan dan sejalan dengan dinamika yang berkembang sehingga memberikan makna dan memperkaya kehidupan seseorang, kelompok, organisasi, dan masyarakat luas, di mana etika akan memperlancar interaksi antar manusia;

d. etika menunjukkan kepada manusia nilai hakiki dalam kehidupan, sesuai dengan keyakinan agama, pandangan hidup, dan sosial, dengan kata lain bahwa etika berkaitan langsung dengan sistem nilai manusia, mendorong tumbuhnya naluri moralitas, nilai-nilai hidup yang hakiki, dan memberi inspirasi kepada manusia untuk secara bersa-ma-sama menemukan dan menerapkan nilai-nilai tersebut bagi kesejahteraan dan kedamaian umat manusia.

Etika ASN pada dasarnya telah diatur secara terperinci dalam Peraturan Pemer-intah Nomorr 42 tahun 2014 tentang Pem-binaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil, khususnya pada Bab IV. Di-tentukan bahwa kode etik PNS mencakup etika dalam bernegara, penyelenggaraan pemerintahan, berorganisasi, bermasyar-akat, dan terhadap diri sendiri.

Etika dalam bernegara meliputi:

(1) melaksanakan sepenuhnya Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

(2) men-gangkat harkat dan martabat bangsa dan negara;

(3) menjadi perekat dan pemersatu bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; (4) menaati semua peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam melaksanakan tugas;

(5) akuntabel dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan pe-merintahan yang bersih dan berwibawa;

(6) tanggap, terbuka, jujur, dan akurat, serta tepat waktu dalam melaksanakan setiap kebijakan dan program Pemerintah;

(7) menggunakan atau memanfaatkan semua sumber daya negara secara efisien dan efektif;

(8) tidak memberikan kesaksian palsu atau keterangan yang tidak benar.

Etika dalam berorganisasi adalah:

(1) melaksanakan tugas dan wewenang sesuai ketentuan yang berlaku;

(2) menjaga infor-masi yang bersifat rahasia;

(3) melaksana-kan setiap kebijakan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang;

(4) membangun etos kerja untuk meningkatkan kinerja or-ganisasi;

(5) menjalin kerja sama secara kooperatif dengan unit kerja lain yang ter-kait dalam rangka pencapaian tujuan;

(6) memiliki kompetensi dalam pelaksanaan tugas;

(7) patuh dan taat terhadap standar operasional dan tata kerja;

(8) mengembangkan pemikiran secara kreatif dan inovatif dalam rangka peningkatan kinerja organisasi;

(9) berorientasi pada upaya peningkatan kualitaas kerja.

Etika dalam bermasyarakat meliputi:

(1) mewujudkan pola hidup sederhana;

(2) memberikan pelayanan dengan empa-ti, hormat dan santun, tanpa pamrih dan tanpa unsur pemaksaan;

(3) memberikan pelayanan secara cepat, tepat, terbuka, dan adil serta tidak diskriminatif; (4) tanggap terhadap kedaan lingkungan masyarakat;

(5) berorientasi kepada peningkatan kes-ejahteraaan masyarakat dalam melaksana-kan tugas.

Etika terhadap diri sendiri mencakup:

(1) jujur dan terbuka serta tidak memberi-kan informasi yang tidak benar;

(2) bertin-dak dengan penuh kesungguhan dan ketu-lusan;

(3) menghindari konik kepentingan pribadi, kelompok, maupun golongan;

(4) berinisiatif untuk meningkatkan kualitas pengetahuan, kemampuan, keterampilan, dan sikap;

(5) memiliki daya juang yang tinggi;

(6) memelihara kesehatan jasmani dan rohani;

(7) menjaga keutuhan dan keharmonisan keluarga;

(8) berpenampilan sederhana, rapih, dan sopan.

D. Menafikan Etika

Yang terjadi, tidak semua ASN beru-saha memampukan diri dan mau meng-gunakan ketentuan-ketentuan etika yang sudah sangat baik tersebut dalam melak-sanakan fungsi, tugas dan tanggung jawab mereka sebagai aparatur negara. Tidak sedikit yang menafikan kode etik yang sebenarnya sudah inheren ketika sumpah/janji sebagai aparatur sipil negara diucapkan, bahkan atas nama Allah.

Beberapa fenomena dan kejadian belakangan ini yang justru melibatkan tidak sedikit oknum ASN, misalnya terkait dengan kode etik dalam bernegara, menunjukkan betapa norma-norma etika itu dinafikan, tidak dianggap dan oleh karena itu pastilah dilanggar. Paham radikalisme yang telah memapar sementara ASN termasuk ujaran kebencian yang sangat masif melalui media sosial, penghinaan terhadap simbol-simbol kenegaraan, adalah contoh dari pengkhianatan terhadap sumpah/janji yang telah diucapkan.

Sebagaimana dicatat oleh Trisno Yulianto (https://news.detik.com/kolom/d-4036049/asn-radikalisme-dan-loyalitas-ideolo-gi-negara), penghkhianatan terhadap sumpah/janji yang telah diucapkan, bah-kan pembangkangan terhadap pemerintah yang sah, antara lain terungkap pada pemikiran dan tindakan:

a. Pemikiran ASN yang menolak konsepsi negara Pancasila, dan justru menyepakati konsepsi negara khilafah atau negara Islam (teokrasi). Banyak PNS/ASN yang terkontaminasi ajaran radikal menolak eksistensi nega-ra Pancasila dan enggan melaksanakan kegiatan yang mengekspresikan spirit nasionalisme. Mereka menolak mengikuti upacara bendera dan melaksanakan ritual menghormati bendera yang dianggap musyrik.

b. Pemikiran ASN yang menyetujui tindakan kekerasan dan atau terorisme yang berlabel “jihad”. Pemikiran demikian didasari doktrin yang mereka yakini bahwa kekerasan dan atau terorisme yang bermotivasi jihad sesuai prinsip “teologis” yang mereka anut. Yang terjadi kemudian, banyak kasus ASN terlibat dalam kegiatan jaringan kelompok radikalisme dan terorisme. Bahkan tidak sedikit ASN yang nekad pergi ke Suriah dan meninggalkan profesi kerja sebagai ASN dengan dalih memenuhi panggilan jihad.

c. Pemikiran “ambigu” atau paradoks ASN yang membenci pemerintahan yang sedang berkuasa. Banyak ASN, yang kecewa terhadap kepemimpinan presiden terpilih, mengekspos ujaran kebencian terhadap simbol negara (presiden) dan pemerintah melalui status dan komentar di media sosial. Mereka menerima gaji dan tunjangan dari negara namun bersikap “oposan” dalam pemikiran terhadap pemerintahan yang sah dan sedang “berkuasa”.

Selanjutnya, kasus-kasus korupsi yang melibatkan ribuan oknum ASN juga menjadi bukti penafikan dan penyimpangan kode etik ASN.

Data yang bersumber dari Badan Kepegawaian Nasional (BKN) sebagaimana dikutip oleh Muhammad Bernie (https:tirto.id/tujuh-ribu-pns-ko-rupsi-bagaimana-mendisiplinkannya) mengungkapkan sebanyak 7.749 PNS terlibat tindak pidana korupsi. Sebanyak 2.674 diantaranya bahkan telah mendapat vonis yang berkekuatan hukum tetap (in-cracht). Dan dari jumlah tersebut baru 317. pegawai yang telah dipecat, sementara sisanya masih berstatus PNS aktif.

Demikian juga, fenomena gaya hidup mewah yang dipertontonkan oleh oknum-oknum ASN di beberapa daerah, misalnya dalam kepemilikan dan penggunaan sarana mobilitas dan properti mewah, yang bahkan jumlahnya bisa lebih dari 3, pula menunjukkan pelanggaran etika ASN yang seharusnya berpola hidup sederhana.

Dari beberapa fakta penafikan dan penyimpangan kode etik tersebut, ternyata meski aturan-aturan etika telah ditentukan, meski sumpah/janji jabatan telah diucapkan, bahkan demi Allah, kepatuhan dalam pelaksanaan kode etik ternyata tidak hadir dengan sendirinya. Jika ditelusur, pertan-yaannya tentu mengapa demikian. Untuk itu mau tidak mau harus dielaborasi faktor-faktor yang memengaruhi perilaku dan tindakan etis seseorang, dalam hal ini ASN.

Menurut Supardi, sebagaimana dikutip Ismail Nurdin (2017: 103-104) fak-tor-faktor yang memengaruhi perilaku ASN:

a. Faktor intern, faktor penjarah yang be-rasal dari manusia itu sendiri, seperti: faktor genetik atau keturunan, sifat dan bakat individu, kepribadian, agama dan kepercayaan, kehidupan sosial ekonomi.

b. Faktor ekstern, yaitu faktor penunjang yang berasal dari luar diri manusia atau disebut faktor lingkungan, yang ada di sekitar kehidupan manusia atau ekosistem tempat individu hidup, tumbuh dan berkembang, seperti: lingkungan pergaulan, budaya masyarakat, keadaan kehidupan keluarga, tingkat kehidupan ekonomi, ideologi atau politik negara, keamanan, ketertiban, dan keadilan hukum.

Senada dengan Ismail Nurdin, dengan formulasi yang lebih lugas, Azyumardi Azra dalam sebuah diskusi “membumikan etika politik” di Jakarta pada 22 Februari 2018 (http://indonews.id/artikel/11918),

memerinci 5 (lima) faktor penyebab terjad-inya pelanggaran etika, yaitu:

(1) keterbe-lahan pribadi (split personality);

(2) adan-ya dorongan gaya hidup materialistik dan hedonistik yang membuat pejabat publik tergoda melakukan pelanggaran integritas;

(3) lemahnya penghormatan pada tatanan hukum;

(4) lemahnya penegakan hukum oleh penegak hukum;

(5) adanya permi-sivisme luas dari masyarakat terhadap pel-anggaran norma, etika, budaya, dan agama yang dilakukan kalangan pejabat publik.

Dari pendapat-pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa faktor internal yang kemudian berkelindan dengan faktor-faktor eksternal sangat berpengaruh terhadap sikap dan keputusan ASN untuk mematuhi atau menafikan aturan-aturan kode etik yang telah ditentukan. Dan rupanya untuk kasus Indonesia, situasi eksternal yang cenderung negatif atau permisif terhadap pelanggaran norma etika, terlalu digjaya bahkan boleh dikatakan bersifat sistemik. Maka ketika individu, bahkan dengan situasi internal yang solid sekali pun, akhirnya sering tidak berdaya dan bertekuk lutut ketika sudah masuk dalam sistem yang begitu perkasa tersebut.

Dalam konteks demikian, pendapat Miftah Thoha terkait fenomena penyimpan-gan etika, bahkan mengarah pada “peng-khianatan” dan “pembangkangan” yang dilakukan oknum-oknum ASN, menarik untuk disimak. Menurut Miftah Thoha (https://kompas.id/baca/opini/2018/01/03/administrasi-publik-dan-oligarki), fenom-ena demikian terjadi karena administrasi publik telah digerogoti oleh sistem yang oligarkis. Ini terjadi ketika kepala daerah diusung oleh parpol atau sekelompok par-pol yang kemudian memenangi pemilu. Akibat selanjutnya adalah keterpasungan kepala daerah pada parpol-parpol pendukung, yang mau tidak mau harus diikuti dalam pembuatan kebijakan.

Kebijakan kebijakan yang lahir kemudian tentulah kebijakan-kebijakan yang mengabdi pada kepentingan parpol-parpol pendukung itu yang telah juga terpasung oleh kepentingan-kepentingan kelompok elit kecil dengan kuasa uangnya. Maka, ASN pun mau tidak mau masuk dalam pusaran sistem yang masif dan perkasa tersebut. Kode etik ASN kemudian bisa jadi tinggal sebatas untaian kata-kata bisu yang teronggok di sudut-sudut ruangan kantor.

E. Menegakkan Perilaku Etis ASN

Kepatuhan terhadap kode etik yang telah ditentukan dalam pelaksanaan tugas, fungsi dan tanggung jawab ASN sebagai aparatur negara menjadi sangat penting. Hanya dengan mematuhi dan melaksanakan dengan baik kode etik yang telah di-tentukan dalam menjalankan fungsi pelaksanaan kebijakan publik, pelayanan publik dan perekat dan pemersatu bangsa bisa diwujudkan dengan baik. Maka menegakkan perilaku etis ASN berdasarkan kode etik yang telah ditentukan menjadi keharusan.

Mengutip Magnis Suseno, Tim Pusdiklat Pengembangan SDM Kementerian Keuangan RI (2017: 32) memaparkan un-sur-unsur utama yang memengaruhi keber-hasilan perwujudan etika dalam organisasi pemerintah adalah etos kerja, moralitas pribadi, kepemimpinan yang bermutu, dan kondisi-kondisi sistemik.

Selanjutnya disebutkan ada 2 (dua) syarat sistemik yang berpengaruh terhadap keberhasilan mewujudkan etika dalam organisasi, yaitu:

a. Lingkungan kerja Lingkungan kerja dapat mendukung atau merusak wakak moral seseroang. Etos kerja yang baik hanya dapat berkembang dalam lingkungan di mana orang mengalami bahwa sikap-sikap moralnya yang positif didukung, dihargai, dan diharapkan oleh orang-orang sekitarnya. Sebaliknya, lingkungan yang tidak kondusif bisa menurunkan etos kerja seseorang.

b. Pengawasan/pengendalian Harus ada pengawasan/pengendalian atas pelaksanaan pekerjaan sehingga penerapak etikda akan selalu dapat dipantau. Pengawasan/pengendalian ini tidak cukup dari dalam organisasi saja, melainkan juga perlu ada pengawasan/pengendalian dari luar orgnisasi, dalam hal ini pengawasan/pengendalian oleh masyarakat harus diterima sebagai suatu hal yang positif.

Berangkat dari faktor-faktor yang memengaruhi pelaksanaan kode etik oleh ASN, faktor-faktor penyebab terjadinya penafikan dan penyimpangan kode etik, dan unsur-unsur yang memengaruhi perwujudan etika dalam organisasi, maka penegakan perilaku etis ASN bisa dilakukan melalui upaya-upaya pencegahan maupun penindakan. Pertama, penguatan dan pemantapan jiwa korsa ASN melalui pembinaan yang konsisten dan berkelanjutan. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS menyatakan bahwa jiwa korps (korsa) adalah rasa kesatuan dan persatuan, kebersamaan, kerja sama, tanggung jawab, dedikasi, disiplin, krea-tivitas, kebanggaan dan rasa memiliki or-ganisasi PNS dalam Negara Kesatuan RI.

F. Penutup

Dalam sistem penyelenggaraan pe-merintahan Negara Rebublik Indonesia, ASN mempunyai peranan sangat penting. Pada dasarnya, ASN lah yang mengeksekusi pelaksanaan pemerintahan sehari-hari melalui penyelenggaraan fungsi pelaksanaan kebijakan publik, pelayanan publik, dan perekat dan pemersatu bangsa. Agar pelaksanaan fungsi utama tersebut bisa dilaksanakan dengan baik, ada kode etik yang harus ditaati oleh setiap ASN. Namun demikian, sikap menafikan atau tidak memedulikan etika dalam pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut cenderung kemudian menabrak rambu-rambu etika yang berarti terjadi pelanggaran terhadap kode etik ASN, masih cukup marak terjadi.

Terjadinya pelanggaran kode etik dipengaruhi baik oleh faktor-faktor intern yang memang ada di dalam diri individu ASN, seperti sifat, watak, keterbelahan pribadi, keyakinan dan cara pandang; maupun faktor-faktor ekstern yang melingkupi dan ada di sekitar individu sebagai suatu ekosistem, seperti lingkungan pergaulan, budaya masyarakat, keadaan kehidupan keluarga, tingkat kehidupan ekonomi, ideologi atau politik negara, keamanan, ketertiban, dan keadilan hukum.

Faktor-faktor pengaruh sebagaimana disebutkan adalah realitas yang memang ada. Namun yang penting adalah mengelo-la dan memanipulasinya sedemikian rupa sehingga risiko bisa dinihilkan atau dimin-imalisasi dan kode etik ASN bisa ditegakkan.

Maka, pertama-tama perlu ditelusur unsur-unsur utama yang memengaruhi keberhasilan perwujudan etika dalam organisasi pemerintah. Unsur-unsur tersebut adalah etos kerja, moralitas pribadi, kepemimpinan yang bermutu, dan kondisikondisi sistemik. Dan secara sistemik, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan perwujudan etika dalam organisasi adalah lingkungan kerja dan pen-gawasan/pengendalian.

Berangkat dari realitas pentingnya peranan ASN dalam penyelenggaraan pe-merintahan negara dan fakta masih marak-nya pelanggaran etika oleh ASN; sementara faktor lingkungan kerja dan pengendalian/pengawasan menjadi faktor determinan dalam keberhasilan perwujudan etika dalam organisasi, maka penegakan etika ASN bisa dilakukan dengan (1) penguatan dan pemantapan jiwa korsa ASN melalui pembinaan yang konsisten dan berkelanjutan; (2) kontrol oleh masyarakat dan media massa terhadap perilaku ASN melalui saluran-saluran yang tersedia; (3) menegakkan disiplin dan mengenakan sanksi yang tegas jelas atas pelangaran kode etik oleh ASN.***

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image