Ilustrasi Pondok Pesantren Ideal Bagi Santriwati
Agama | 2022-07-09 19:00:07Pondok pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Pola pendidikan yang digunakan mirip dengan model padepokan namun dengan beberapa penyempurnaan. Bila di padepokan murid-murid disebut cantrik, sedangkan di pondok pesantren disebut santri. Dari kata “santri” ini terbentuk istilah pesantrian atau pesantren. Sedangkan pondok berasal dari bahasa Arab Arab funduuq (فندوق) yang berarti asrama untuk menginap para santri. Dalam pendidikan pondok pesantren, para santri diwajibkan menginap dalam rangka menggembleng ilmu, keterampilan dan karakter para santrinya.
Materi-materi yang diberikan kepada para santri meliputi pendalam agama Islam melalui kitab-kitab salafiyah yang sering disebut dengan istilah kitab kuning. Penyebutan kitab kuning sebenarnya dilatarbelakangi oleh penggunaan kertas yang tidak terlalu mahal sebagai media pencetakannya. Isinya sebenarnya sama dengan kitab-kitab dari Timur Tengah, yaitu tulisan atau karya-karya para ulama salaf yang menjadi panduan dalam memahami Al-Qur’an dan Hadits. Selain itu banyak pula karya-karya ulama Nusantara yang ditulis dalam bahasa Arab yang menjadi materi pembelajaran di pondok-pondok pesantren. Sehingga lulusan pondok pesantren memiliki kualitas keilmuan yang mumpuni dan berbudi pekerti yang luhur.
Sebelum era tahun 1990-an, pondok pesantren sering diidentikkan dengan tempat untuk mendidik anak-anak yang nakal dan bandel. Sehingga pondok pesantren saat itu dikenal sebagai bengkel akhlak. Namun mindset tersebut mulai luntur semenjak tahun 2000-an dimana pondok pesantren mulai menjadi tempat favorit para orang tua menitipkan anak-anaknya untuk belajar dan bersekolah. Apalagi dengan semakin derasnya arus degradasi moral yang membuat banyak orang tua mengkhawatirkan pergaulan anak-anaknya. Trend ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi lembaga pendidikan pensantren yang selama puluhan tahun terpinggirkan oleh kehadiran pendidikan formal yang memiliki hak mengeluarkan ijazah resmi. Sebelum lahirnya UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren dan Peraturan Menteri Agama No. 31 Tahun 2020 tentang Pendidikan Pesantren, banyak pesantren yang mengintegrasikan lembaganya dengan PKBM (pusat kegiatan belajar masyarakat) atau membuka sekolah-sekolah formal yang terintegrasi dengan pesantren. Sehingga kebutuhan masyarakat akan ijazah dapat dipenuhi dengan tetap mempertahankan ciri pendidikan kepesantrenan.
Agama Islam memberikan ruang yang begitu luas bagi kaum wanita untuk belajar dan mendalami ilmu agama. Dr. Nawal binti Abdul Aziz Al-Id menjelaskan bahwa telah sepakat para ulama akan pentingnya pendidikan bagi kaum wanita agar mereka bisa melaksanakan kewajibannya dalam beraqidah, beribadah dan berakhlak mulia. Oleh karena itu, agama Islam mengharuskan adanya pendidikan terhadap anak-anak perempuan dan menyebarkan ilmu di kalangan para wanita.(1) Sehingga kehadiran kaum wanita yang belajar di pondok-pondok pesantren merupakan salah satu bentuk realiasasi dari perintah menuntut ilmu agama.
Seiring dengan bermunculannya banyak lembaga pondok pesantren yang belum diimbangi dengan pengawasan yang ketat dari pihak Kementerian Agama RI maupun Majelis Ulama Indonesia (MUI), sehingga memicu maraknya banyak kasus, mulai dari sarang terorisme hingga pelecehan seksual dan pemerkosaan. Seperti kasus Herry Wirawan yang memperkosa belasan santriwatinya di Bandung yang mengundang keperihatinan banyak pihak. Demikian pula kasus kekerasan seksual yang dilakukan anak seorang pengasuh salah satu pondok pesantren di Ploso, Jombang. Berbagai kasus serupa juga kerap terjadi, lalu apa penyebabnya ? Padahal pondok pesantren semestinya menjadi tempat yang nyaman bagi para santriwan dan satriwati. Sederatan kasus yang terjadi sebenarnya memang tidak mewakili pondok pesantren yang ada di seantero Nusantara. Pelakunya hanya oknum-oknum yang melanggar aturan agama. Namun kenapa peristiwa demikian bisa terjadi ? Untuk mencari tahu faktor-faktor apa saja yang memicu terjadinya tragedi demikian, perlu dikembalikan kepada dasar-dasar pendidikan pesantren, yaitu Al-Qur’an dan Hadits.
Ada beberapa aturan dalam Al-Qur’an yang ternyata dilanggar oleh pengelola pondok pesantren sehingga memicu terjadinya kasus-kasus tersebut. Di antaranya adalah firman Allah ta’ala :
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَٰعًا فَسْـَٔلُوهُنَّ مِن وَرَآءِ حِجَابٍ ۚ ذَٰلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
Artinya : “Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (Qs. Al-Ahzab : 53)
Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya menyatakan : “Jangan memandangnya dan mintalah kepada mereka dari balik tabir.” (2) Ayat ini menjadi dalil bahwa berbicara dengan lawan jenis harus dilakukan dari balik tabir, tidak langsung face to face. Hal ini senada dengan firman Allah ta’ala :
قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا۟ مِنْ أَبْصَٰرِهِمْ وَيَحْفَظُوا۟ فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا يَصْنَعُونَ وَقُل لِّلْمُؤْمِنَٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَٰرِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
Artinya : “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman : "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman : "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan menjaga kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya.” (Qs. An-Nur : 30-31).
Bila ayat-ayat tersebut diamalkan dalam lingkungan pondok pesantren, niscaya kasus-kasus pelecehan seksual tidak akan terjadi.
Sebagian kalangan ada yang menolak pemberlakuan hijab (tabir) dalam proses belajar atau mengaji. Mereka berdalih bahwa Surat Al-Ahzab ayat 53 hanya berlaku bagi isteri-isteri Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Mengenai hal ini, Imam As-Sanqithi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat tersebut bersifat umum berlaku untuk seluruh wanita muslimah. Beliau menjelaskan bahwa disertakannya alasan dari perintah berbicara di belakang tabir, yaitu “lebih suci bagi hatimu dan hati mereka” menjadi bukti kuat pemberlakuan perintah tersebut untuk semua kalangan. Seandainya hanya berlaku bagi isteri-isteri Nabi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam maka penyebutan alasan perintah berbicara di belakang tabir menjadi hal yang sia-sia.(3)
Para Shahabat dan tabi’in yang menuntut ilmu dari isteri-isteri Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam maupun para syaikhah (ulama wanita) dilakukan dari balik tabir, demikian pula sebaliknya. Hal ini merupakan etika berbicara dengan lawan jenis. Syaikh Mushthafa Al-Adawi menjelaskan bahwa memperbanyak pembicaraan dengan wanita dan melembutkan suara saat berbincang-bincang antar lawan jenis merupakan faktor utama penyebab fitnah. Oleh karena itu dalam shalat jama’ah bila ada kesalahan imam para makmum wanita cukup menegur dengan bertepuk tangan, tidak perlu mengucapkan tasbih, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:
التَّسْبِيحُ لِلرِّجَالِ وَالتَّصْفِيقُ لِلنِّسَاءِ
Artinya : “Membaca tasbih itu untuk laki-laki dan bertepuk tangan itu untuk wanita.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) (4)
Gambaran pondok pesantren yang ideal bagi santriwati adalah pondok pesantren yang memisahkan antara lokasi kegiatan belajar santriwan dengan lokasi kegiatan belajar santriwati. Para pengelola asrama santriwati adalah para ustadzah atau petugas wanita, bukan laki-laki. Ada pun bila ada ustadz atau pengajar laki-laki yang akan menyampaikan materi, dilakukan dari balik hijab. Sehingga tidak terjadi fitnah di antara pengajar dan pengelola dengan para santriwatinya. Area terpisah ini sesuai etika belajar dalam Islam sebagaimana dicontohkan oleh para Shahabat dan tabi’in. Demikian ilustrasi pondok pesantren yang ideal bagi wanita sehingga selamat dari kejahatan seksual yang mungkin dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bermoral.
Endnote :
1 Huquq Al-Mar’ah fi Dhau’ As-Sunnah An-Nabawiyah cetakan Dar Al-Hadharah, Riyadh hal. 239.
2 Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim Cetakan Al-Maktabah At-Taufiqiyah, Kairo jilid 6 hal. 279 – 280.
3 Adwa’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an bi Al-Qur’an cetakan Dar Al-Fikr, Beirut jilid 6 hal. 242 – 243.
4 Fiqh Al-Akhlaq wal Muamalat baina Al-Mu’minin cetakan Dar Ibnu Rajab dan Dar Al-Fawaid, Kairo jilid 2 hal. 296 – 297.
5 fatwapedia.com/54450
6 https://binbaz.org.sa/articles/113
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.