Titik Temu Ekologi dan Hak Asasi Manusia
Politik | 2021-11-05 19:14:55Kesadaran moral ekologis publik diguncang pekan ini dengan pernyataan Siti Nurbaya Bakar: "Pembangunan infrastuktur besar-besaran era presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi."
Pernyataan Menteri KLHK, Ibu Bakar, merupakan ancaman bagi lingkungan dan hak asasi manusia. Kenapa demikian? karena penyataan tersebut berasal dari pejabat publik yang tentu saja akan diikuti ada sudah memiliki rangkaian proyek yang mengarah pada legalisasi deforestasi atas nama pembangunan infrastruktur dan atas nama yang sebenar benarnya pemegang kuasa paksa dan kepentingan: satu persen oligarki.
Jenis oligarki di Indonesia ini akrab dengan kekerasan. Kekerasan memaksakan kebijakan pada pemegang kuasa dengan merusak mentalitas dan moral politiknya dan juga jangan lupa mereka sangat hobi melibas para aktifis lingkungan dan tak sedikit menghancurkan warga yang mengupayakan pertahanan lingkungan (environment defender). Selain itu, mereka mengendalikan media dan peradilan. Dalam batas ini rakyat 99% seolah mengalami jalan buntu mau apa dan kemana untuk agenda mulia pertahanan hidup lestari.
Titik Temu Ekologi dan HAM
Ada tiga titik temu ekologi dan HAM. Pertama, konflik sumber daya alam dan kekerasan sebagai ekses dari fenomena kutukan sumber daya alam. Di Indonesia, kutukan itu diundang dan bencana dirasakan sebagaian besar pihak yang tidak ikut mengundang. Investor dan pemberi izin penambangan dan pembakaran hutan adalah peniup bencana karena mengundang ketidaksetimbangan alam. Ada ketidakadilan distribusi bencana dan berkah dalam hal ini. Berkah alam dimonopoli 1% dan petaka diratakan untuk semua orang diluter 1 persen. Ormas keagamaan sering menjadi bagian cuci piring kalau ada masalah. Jika ada bencana, bukan oligarki yang datang segera ke TKP tetapi Muhammadiyah, ACT, NU, misalnya untuk menyebut sedikit.
Peneliti bidang HAM dan Perdamaian Setara Institute Selma Theofany mengatakan, ada 73 kasus pelanggaran terhadap aktivis HAM selama periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo sementara LEMBAGA Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) mencatat terdapat 27 kasus kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap pembela hak asasi manusia (HAM) atas lingkungan sepanjang 2019. Ini tahun 2020-2021 belum dimasukkan tentu saja banyak lagi jumlahnya sepanjang perlawanan menolak Omnibuslaw yang meresikokan alam, masyarakat adat dan aktifis lingkungan.
Eric Wakker dan Joanna De Rozario (2003) mengatakan bahwa perdagangan internasional minyak sawit merupakan pemicu utama kehancuran hutan tropik dan pelanggaran HAM dalam skala besar. Ada banyak peneliti yang juga bersaksi bahwa pembukaan lahan sawit adalah pangkal kekerasan dan pelanggaran HAM di berbagai sudut tanah air di Indonesia. Kutukan demi kutukan difestivalkan tanpa merasa dihantui dosa ekologis.
Kedua, keadilan informasi akan kerusakan alam dan ancaman bagi HAM. Ingat kasus laporan LBP kepada aktifis ICW, dan laporan Gubernur Kalsel dan haji Batubara ke aktifis pelantang kebenaran (pharresiastik). Ada sekian banyak kriminalisasi yang tercatat oleh Jatam dan Walhi yang salah satu pangkalnya adalah ketidaktransparan informasi pemerintah tentang perizinan tambang dan deforestasi. Ketika NGO mengungkap maka dikriminalisasikan. Titik temu ini membutuhkan jembatan besar seperti akademisi/kampus yang harusnya berdiri terdepan menjaga marwah demokrasi dan keadilan informasi.
Presiden Jokowi menyebutkan dalam pidato di COP26 bahwa laju deforestasi turun signifikan terendah dalam 20 tahun terakhir. Faktanya menurut GreenPeace, deforestasi di Indonesia justru meningkat dari yang sebelumnya 2,45 juta ha selama 2003-2011 (sebelum moratorium) menjadi 4,8 juta ha selama 2011-2019 (setelah ada moratorium). Padahal Indonesia sudah berkomitmen untuk menekan laju deforestasi. Tren penurunan deforestasi dalam rentang 2019-2021, tidak lepas dari situasi sosial politik dan pandemi yang terjadi di Indonesia sehingga aktivitas pembukaan lahan terhambat. Faktanya dari tahun 2002-2019, saat ini terdapat deforestasi hampir 1,69 juta hektar dari konsesi HTI dan 2,77 juta hektar kebun sawit. Selama hutan alam tersisa masih dibiarkan di dalam konsesi, deforestasi di masa depan akan tetap tinggi. Deforestasi di masa depan, akan semakin meningkat saat proyek food estate, salah satu proyek PSN dan PEN dijalankan. Akan ada jutaan hektar hutan alam yang akan hilang untuk pengembangan industrialisasi pangan ini.
Contoh kedua, kebakaran hutan diklaim pemerintah turun 82% di tahun 2020. Fakta dari greenpeace, bahwa penurunan luas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) 2020 jika dibandingkan 2019 yang mencapai 296.942 hektar ini adalah angka kebakaran yang luasnya setara dengan 4 kali luas DKI Jakarta. Penurunan ini juga disebabkan gangguan anomali fenomena La Nina bukan sepenuhnya hasil upaya langsung pemerintah. Pemerintah tidak boleh menganggap sepele angka tersebut, sebab ongkos sesungguhnya harus ditinjau dari masalah kesehatan masyarakat, biaya penanggulangan, kerugian ekonomi dan kerusakan lingkungan yang sangat besar. Belum lagi ongkos kekerasan dan pelanggaran HAM dari pembiaran kebakaran.
Sekali lagi, saya kira soal demokrasi data dan demokratisasi pengetahuan ekologi sumbangsih pemerintah sangat sedikit bagi anak bangsa. Suka menghoaxkan tetapi tak punya versi yang obyektif terpercaya. Kebiasaan menyembunyikan data dan manipulasi sudah menjadi hukum besi oligarki di dalam rezim otoriter. Rezim otoriter hari ini bukan hanya pada manusia tetapi juga kepada jaring-jaring kehidupan.
Ketiga, kedaruratan lingkungan selalu beririsan dengan kedaruratan pada hak asasi manusia. Di mana ada kerusakan alam di sana ada ancaman dan kerusakan bagi manusia termasuk entitas masyarakat adat. Negara seringkali menganggap yang darurat sebagai hal yang normal-normal saja, dan kadang sebaliknya yang normal didaruratkan. Pembangunan infrastruktur besar-besaran untuk siapa sebenarnya belum jelas namun sudah dimasukkan sebagai sesuatu yang darurat segara dibangun.
Peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (UU No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana). Walaupun banyak buzzer selalu mendengungkan narasi climate change denial dan sikap tidak simpati pada aktifis dan kurban bencana.
Kajian Jatam menemukan sejumlah operasi pertambangan hingga PLTU berada di kawasan risiko bencana gempa, tsunami, tanah longsor, dan banjir.Terkait izin pertambangan, 131 di antaranya berada di kawasan risiko gempa bumi, dengan luas 1,6 juta hektare atau setara dengan setengah luas Belgia yang luasnya 3,2 juta hektare. Dalam laporan jatam juga menemukan juga, 2.104 konsesi pertambangan di seluruh Indonesia yang berada di kawasan berisiko tinggi bencana banjir yakni seluas 4,5 juta hektare atau setara dengan luas negara Swiss, yang setengah dari luasannya 2,4 juta hektare adalah konsesi pertambangan batubara. Selain itu juga terdapat 744 konsesi pertambangan di seluruh Indonesia yang berada di kawasan berisiko tinggi bencana tanah longsor seluas 6.154.830 hektare. Dari total tersebut, sejumlah yang 611.002 hektare di antaranya adalah konsesi pertambangan batubara.Sementara itu teridentifikasi juga sebanyak 57 PLTU dengan total kapasitas 8.887 MW dalam status beroperasi dan 31 PLTU lain dalam ragam tahap pembangunan dan dengan total kapasitas 6.950 MW, berada di kawasan risiko gempa bumi (https://www.jatam.org/wp-content/uploads/2021/05/FA-LAPORAN-BENCANA-YANG-DIUNDANG.pdf).
Fenomena banjir bandang di beberapa kota dan daerah tak bisa dijauhkan dari fakta penggundulan hutan sebagai area serapan. Salah contoh di Kota Batu dan Malang. Menurut langsiran walhi jatim, jika dlihat dalam citra satelit, RTH kota batu belum sampai 30 persen, masih berada di sekitar 12-15 persen. Lalu, merujuk data citra satelit 348 hektar hutan primer di Kota Batu hilang selama 20 tahun. Terakhir, dari data yang dihimpun terkait eksistensi keberadaan lahan hijau, dari luas 6.034,62 hektar di 2012 menjadi 5.279,15 hektar di tahun 2019.
Di saat pandemi, rakyat sedang sabung nyawa sementara APBN dilarikan ke pembangunan yang entah untuk siapa. Inilah kejahatan HAM yang dianggap bukan pelanggaran apa pun atas nama pembangunan dan sembunyi dibalik UUD 1945. Sejak kapan konstitusi menyuruh membangun sambil merusak alam? jangan-jangan sudah ada UUD atau konstitusi versi oligarki yang diam-diam sudah berlaku. Tak ada yang tak mungkin bagi oligarki. Kita dipaksa sehat di negara yang sakit oligarkis.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.