Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Achmad Hidayat, M.Ag.

Idul Adha, Kita Ikut Siapa?

Agama | Tuesday, 05 Jul 2022, 15:07 WIB

Bismillah,

Sahabat saya mengatakan, jika di Saudi Arabia wuquf hari ini, maka keesokan harinya adalah idul Adha, dan menurutnya berlaku secara umum bagi seluruh umat Muslim di dunia, termasuk Indonesia.

Saya bertanya balik, sebenarnya siapa sih yang memiliki otoritas untuk memberlakukan hal tersebut, 'kan saat ini gak ada khilafah...

Tak pernah bosan kami berdiskusi dengan tema yang sama setiap jelang hari raya idul Adha. Topik tahunan...hehe...

Alhamdulillah masih memiliki sahabat yang bisa mengajak kita untuk terus belajar dan mengkaji.

Terimakasih sahabat, semoga diskusi-diskusi ini bermanfaat dan bikin otak kita terus tambah nutrisi dan nggak kering ilmu. Mubazir kan kalo otak kita jadi kering yaa...hihi

Tulisan berikut bukan untuk menunjukkan siapa yang paling berilmu ataupun siapa yang paling benar, bukan...

Tulisan berikut adalah bagian dari pengembangan diskusi kita sehingga menemukan perspektif lain dalam "kegenitan" berfikir kita memecahkan persoalan-persoalan di masyarakat yang ada secara kontekstual... hehe...

Nah, bagaimana sih pendapat ulama Saudi sendiri terkait otoritasi negeri-negeri Muslim yang berijtihad menentukan hari Raya Idul Adha di negeri mereka sendiri, tanpa ikut keputusan pemerintah Saudi.

Jadi begini nih sobat,

Menghadapi kenyataan seperti ini, biasanya timbul pertanyaan kita mau ikut yang mana? Ikut Arab Saudi atau ikut Pemerintah Indonesia?

Prinsipnya, tidak masalah bila Idul Adha di Indonesia dan Arab Saudi berbeda karena Hilal di negeri masing-masinglah yang menjadi patokan. Para ulama telah sepakat bahwa terbitnya hilal di setiap tempat itu bisa berbeda-beda dan hal ini dapat diketahui dengan pasti secara inderawi dan logika.

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan dalam Syarh Shahih Muslim : “Setiap negeri memiliki penglihatan hilal secara tersendiri. Jika mereka melihat hilal, maka tidak berlaku untuk negeri lainnya. Menurut pendapat yang kuat di kalangan Syafi’iyah, penglihatan rukyah (hilal) tidak berlaku secara umum. Akan tetapi berlaku khusus untuk orang-orang yang terdekat selama masih dalam jarak belum diqasharnya shalat.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 175).

Hadits berikut pun menunjukkan yang jadi patokan adalah hilal. Hilal yang berlaku adalah di negeri masing-masing.

إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئً

“Jika telah masuk 10 hari pertama dari Dzulhijjah dan salah seorang di antara kalian berkeinginan untuk berkurban, maka janganlah ia memotong rambut dan kuku sedikit pun juga.” (HR. Muslim no. 1977)

Karena larangan yang disebut dalam hadits berlaku jika sudah terlihat hilal Dzulhijjah, maka demikian pula untuk puasa Arafah berpatokan pada hilal dan bukan pada wukuf.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin juga mendapat pertanyaan sebagai berikut, “Jika terdapat perbedaan tentang penetapan hari Arafah disebabkan perbedaan mathla’ (tempat terbit bulan) hilal karena pengaruh perbedaan daerah. Apakah kami berpuasa mengikuti ru’yah negeri yang kami tinggali ataukah mengikuti ru’yah Haromain (dua tanah suci)?”

Syaikh rahimahullah menjawab, “Permasalahan ini adalah turunan dari perselisihan ulama apakah hilal untuk seluruh dunia itu satu ataukah berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah. Pendapat yang benar, hilal itu berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah. (Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 20: 47-48).

Kesimpulan dari Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, puasa Arafah mengikuti penanggalan atau penglihatan di negeri masing-masing dan tidak mesti mengikuti wukuf di Arafah. Begitu pula dalam Idul Adha, baiknya mengikuti negeri masing-masing. Kita harus berlapang dada karena para ulama berselisih pula dalam memberikan jawaban untuk masalah ini. Legowo itu lebih baik. Namun mengikuti keputusan pemerintah RI itu lebih baik karena mereka telah menjalankan sunnah Rasul.

Kata para ulama, berdasarkan kesimpulan dari dalil, menentukan awal bulan Hijriyah adalah dengan dua cara:

melihat (rukyah) hilal,

bulan digenapkan jadi 30 hari.

Pemerintah RI kita menempuh dua jalur ini. Adapun hisab tetap dilakukan, namun cuma sekedar alat bantu dan cara untuk menentukan kalender setahun. Sedangkan penglihatan hilal (rukyat), tetap jadi rujukan utama.

Jika di negeri tersebut terjadi perselisihan pendapat, maka hendaklah dikembalikan pada keputusan penguasa muslim di negeri tersebut. Jika penguasa tersebut memilih suatu pendapat, hilanglah perselisihan yang ada dan setiap muslim di negeri tersebut wajib mengikuti pendapatnya.

Yang paling terpenting perlu ditegaskan di sini adalah menjaga keutuhan dan persatuan umat dengan mengedepankan sikap toleransi dan menghargai perbedaan pendapat, adalah hal yang lebih utama.

Semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik.

Referensi :

– Rumaysho.com

– Konsultasisyariah.com

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image