Kebaya, Budaya atau Kapitalisasi Perempuan Indonesia?
Gaya Hidup | 2022-07-04 18:24:06Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mengajak perempuan Indonesia untuk mendorong kemajuan kebudayaan Indonesia di kancah dunia melalui kebaya. Hal ini merupakan salah satu kekuatan perempuan untuk membangun kebudayaan dan meningkatkan jati diri bangsa Indonesia. "Kebaya adalah pakaian yang pantas dipakai untuk segala kesempatan, maka saya melihat bahwa sesungguhnya busana nasional kebaya adalah kekuatan kita, kaum perempuan Indonesia. Untuk mempertinggi perannya dalam membangun kebudayaan bangsa dan memuliakan jati diri bangsa,” kata Bintang dalam keterangan pers pada Ahad (Republika.co.id, 3/7/2022).
Sebanyak 150 komunitas dari berbagai daerah di Tanah Air juga pegiat budaya, pekerja seni, perwakilan pelajar, organisasi perempuan dan tokoh masyarakat mendukung upaya pengajuan Hari Kebaya Nasional sebagai salah satu upaya melestarikan jenis pakaian nusantara tersebut dan menandatangani surat dukungan pengajuan Hari Kebaya Nasional menuju UNESCO.
Komunitas-komunitas ini berrgerak melakukan berbagai kegiatan yang berhubungan dengan kebaya. Salah satunya Hari Bebas Berkendara (CFD) Berkebaya yang diikuti para pecinta Kebaya di Jakarta, pada Minggu (19/6) lalu, menurut Lana, Ketua Umum Perempuan Indonesia Maju mengatakan, hal itu merupakan bukti dan bentuk kecintaan masyarakat Indonesia pada busana warisan leluhur.
Menyinggung penetapan Hari Kebaya, dia menyatakan, masih menunggu kajian akademik dari tim pakar untuk menentukan tanggal yang akan diusulkan ke pemerintah, karena hal itu harus memiliki dasar historis. "Harapan kami untuk segera mungkin diputuskan," katanya.
Ide Sekuler Menguasai Perempuan
Banyak cara yang digunakan untuk mengeluarkan perempuan dari fitrahnya. Mulai Pemberdayaan Ekonomi Perempuan (PEP), kesetaraan gender, gerakan feminisme hingga kini mengenakan kebaya sebagai upaya melanggengkan budaya leluhur bangsa Indonesia. Apakah benar kebaya adalah identitas perempuan Indonesia, kalimat ini sangat riskan sebab menggeser makna akidah bahwa perempuan juga hamba Allah SWT. Yang seharusnya juga setiap perilakunya menggambarkan ketaatan kepada Rabbnya.
Rasanya terlalu berlebihan, pertama secara historis, pakaian asal wanita di masa kerajaan Hindu Budha berkuasa bukanlah kebaya. Sejarah mencatat, pengenalan kebaya dipengaruhi oleh dua hal yakni pengaruh yang muncul dari Islam dan kedatangan orang Eropa ke nusantara. Kebaya berasal dari kata Arab "kaba" yang berarti "pakaian" dan diperkenalkan ke Indonesia melalui bahasa Portugis.
Diketahui, kebaya pertama kali digunakan di Indonesia pada beberapa waktu selama abad ke-15 dan ke-16. Pada tahun 1920-an, seiring dengan kemunculan perjuangan nasionalis di Indonesia, perempuan Eropa berhenti mengenakan kebaya, karena pakaian ini mulai diidentikkan dengan pakaian khas Indonesia. Bagi penjajah Eropa, Kebaya telah dikaitkan dengan nasionalisme Indonesia.
Dan selama masa pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945), para tawanan perang perempuan Indonesia yang berpendidikan memilih untuk mengenakan kain dan kebaya daripada pakaian barat yang dialokasikan untuk mereka sebagai pakaian penjara. Bahkan lebih jauh lagi kebaya seringkali diidentikkan dengan gerakan emansipasi karena RA Kartini sering memakainya. Kesimpulannya, kebaya lebih ke arah politik kebebasan dan nasionalisme. Pemahaman yang sebenarnya menjadi racun bagi perempuan. Karena sekali lagi, malah menghilangkan identitasnya sebagai seorang Muslimah.
Islam Memuliakan Perempuan
Dalam Islam, cara berpakaian seorang wanita sangat berkaitan dengan akidah. Sebab terkait adanya perintah dan larangan. Jika pakaian itu mengandung hadlarah ( peradaban ) Barat bahkan identik dengan nilai-nilai yang bertentangan dengan syariat seperti nasionalisme dan emansipasi tentulah haram dikenakan. Sebagus apapun bentuk pakaiannya sebagai seorang mukmin yang standar perbuatannya adalah halal dan haram tentu tidak begitu saja dikenakan.
Islam sudah sedemikian detil mengatur cara berpakaian perempuan baik ketika di ranah khusus, di dalam rumah bersama mahrom atau walinya dan ketika diluar rumah. Jika di dalam ranah khusus, kebaya tidak masalah dipakai, sebab tidak ada syariat khusus yang mengatur ketika perempuan di dalam rumahnya dengan keluarga, mahrom atau walinya. Namun berbeda jika berada di luar, maka ia wajib terikat dengan ketentuan syariat. Tidak ada pilihan lain, ketaatan kepada aturan ini adalah bernilai ibadah yang akan mendatangkan kebaikan dunia akhirat.
Berpakaianpun bukan kemudian untuk diakui oleh dunia, bagian dari budaya, sebab pakaian adalah bicara menutup aurat bukan komoditas. Namun di sistem kapitalis liberalis hari ini pakaian bergeser dari fungsi asalnya, bahkan menjadi ajang memperoleh materi, baik uang, pengakuan, ketenaran maupun yang lain. Kaum Muslimah akhirnya juga terdorong ke arah itu dengan kemudian memadupadankan kebaya agar tetap terlihat syar'i. Padahal secara bahan, model maupun potongan samasekali tak mendekati syar'i , kemudian dikenakan di ranah umum yang jelas-jelas bukan itu yang dikehendaki Allah dengan perintahNya.
Allah SWT memerintahkan dalam QS An Nur:31 yang artinya: "Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung".
Demikian juga Allah SWT berfirman dalam QS al-Ahzab :59 yang artinya: "Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
Jelas disini, dengan pengaturan yang sedemikian teliti Allah SWT benar-benar menjadikan perempuan mulia. Rasulullah Saw bersabda, “Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah.” (HR: Muslim). Sebagaimana pria, perempuan juga memiliki hak kewajiban yang sama sebagai hamba Allah SWT. Maka, ketaatan perempuan tidak dinilai setengah dari pria. Dengan fitrah masing-masing Allah SWT menjadikan keseimbangan kehidupan.
Sedangkan kapitalis liberal ingin mengajak kepada kerusakan, mengapa harus bersusah payah ingin diakui UNESCO, sedangkan organisasi ini adalah bentukan kafir yang benci dengan Islam. Apalagi menjadikan setiap pengakuan mereka sebagai standar perbuatan jelas perbuatan dosa. Perempuan mulia dan berharga hanya jika menggunakan kebaya, adalah pemikiran yang menyesatkan. Sebab hal yang demikian hanyalah perhiasan dunia yang kelak membawa pada kehinaan di akhirat.
Sudah seharusnya para perempuan sadar, bahwa ketaatan kepada Allah adalah nilai tertinggi bagi dirinya. Negara seharusnya jika memang hendak menjadikan para wanitanya berdaya tentulah dengan menjamin penuh pendidikan, kesehatan dan keamanannya. Disamping memastikan para wali bagi perempuan itu mampu menafkahi dengan memudahkan urusan sandang, pangan dan papan. Wanita adalah kehormatan dan Islamlah yang mampu mewujudkan hal itu. Wallahu a'lam bish showab.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.