Adakah Iman dalam Kurikulum Pendidikan
Eduaksi | 2021-11-03 22:46:29Oleh: Muhammad Syafiâie el-Bantanie
(Pendiri dan Pengasuh Ekselensia Tahfizh School)
Menjelang senja, seorang pemimpin kharismatik itu menghampiri seorang bocah penggembala yang tengah menggembala domba-dombanya. Seperti biasa pemimpin besar itu berkeliling negeri untuk memantau kondisi rakyatnya. Ia adalah Khalifah Umar bin Khathab radiyallahu âanhu.
Setelah membuka pembicaraan, Khalifah Umar mulai masuk pada pembicaraan untuk menguji bocah penggembala ini. Bocah penggembala itu tidak mengenali jika laki-laki yang sedang berbicara dengannya adalah Khalifah Umar.
âWahai bocah, bolehkah aku membeli dombamu seekor?â tanya Khalifah Umar.
âMaaf tuan, ini bukan domba-domba saya. Ini domba milik majikan saya. Jika tuan ingin membelinya, silakan tuan berbicara kepada majikan saya dan akan saya antar,â terang bocah penggembala.
âDomba-domba ini âkan banyak sekali. Ratusan jumlahnya. Saya kira jika kau menjualnya seekor saja, majikanmu tidak akan tahu. Nah, uang hasil penjualannya bisa kau nikmati. Bagaimana?â bujuk Khalifah Umar menguji.
âOh, mohon maaf tuan, saya tidak bisa melakukan itu. memang majikan saya tidak mengetahuinya. Namun, tolong katakan di mana Allah? Bukankah Dia Maha Mengetahui segala yang tampak dan tersembunyi?â ujar bocah itu tegas.
Jawaban bocah itu membuat hati Khalifah Umar gerimis. Sebuah jawaban yang mencerminkan iman telah menghunjam kokoh dalam hatinya.
ÙÙÙ
Inilah pendidikan iman yang teramat penting diinternalisasikan kepada murid-murid kita di sekolah. Ketika pendidikan iman telah berhasil terinternalisasi, maka ia akan menjadi fondasi yang kokoh bagi tegaknya bangunan Islam dalam diri seorang murid. Ia akan menjadi cahaya yang menerangi setiap tutur kata dan tingkah laku. Ia akan menjadi kompas yang memandu arah hidup.
Namun, sayangnya tidak banyak sekolah yang serius menanamkan keimanan kepada para muridnya. Perlu dipahami bahwa menginternalisasikan iman itu berbeda dengan mengajarkan ilmu tentang iman. Menginternalisasikan iman akan membuahkan para murid yang beriman. Sedangkan, mengajarkan ilmu tentang iman akan menghasilkan para murid yang memahami ilmu tentang iman.
Adalah berbeda beriman dengan memahami ilmu tentang iman. Banyak orang yang memahami ilmu tentang iman, namun justru dia gemar membelokkan penafsiran Al-Qurâan. Banyak orang yang memahami ilmu tentang iman, namun justru dia menjadi penentang syariat paling lantang. Ini karena mereka hanya memahami ilmu tentang iman. Namun, iman belum menghunjam dalam hatinya.
Inilah yang telah diingatkan Allah dalam Al-Qurâan. Ketika Allah menyindir keras para ahli ilmu Bani Israil. Mereka memahami taurat dengan baik, namun justru mengubah-ubah isi taurat dan menjualnya dengan harga murah untuk kepentingan dunia. Mereka diumpakan seperti keledai yang memikul kitab-kitab di pundaknya, namun tidak mengerti untuk apa digunakan.
Demikianlah, para ahli ilmu Bani Israil tidak memahami ilmu tentang iman (penguasaan taurat) yang dimilikinya, semestinya menjadikannya semakin taat kepada Allah. Namun, mereka malah menggunakan ilmunya itu untuk menentang ajaran Allah dan mengubah-ubah taurat.
âPerumpamaan orang-orang yang diberi tugas membawa taurat, kemudian mereka tidak membawanya (tidak melaksanakannya) adalah seperti keledai (himar) yang membawa kitab-kitab yang tebal. Sangat buruk kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah. Dan, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim.â (QS. Al-Jumuâah [62]: 5)
Mari kita bertanya, bagaimana dengan sekolah-sekolah kita? Pendidikan iman tidak cukup hanya dengan mengajarkan mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di kelas-kelas. Jika mengajarkan ilmu tentang iman barangkali cukup satu semester pembelajaran. Namun, memberikan pendidikan iman perlu ketulusan, kesungguhan, dan kesinambungan sampai terhunjam kuat dalam hati para murid. Jangan sampai pendidikan kita hanya melahirkan himar-himar intelektual.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.