Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Harry Ahmadi

Seniman Ruangrupa di Jerman: Sehabis Pentas Musik Islami Lantas Gelar Pesta Bawah Tanah

Gaya Hidup | Thursday, 30 Jun 2022, 14:55 WIB

Tulisan ini merupakan curahan hati seorang warga negara Indonesia yang berusaha mencari tahu berita Documenta 15 yang sedang viral di berbagai media dalam dan luar negeri. Apa yang saya temukan cukup mengejutkan saya sebagai orang yang tidak menekuni bidang seni. Meski terdapat perbedaan “kultur” antara dunia para seniman dengan dunia orang biasa seperti saya, saya berharap dunia seni masih dapat mendengar pandangan normatif yang saya sampaikan dalam tulisan ini.

Pada awalnya saya membaca soal polemik anti-semit di mana seniman Palestina yang tampil mendapat protes dari Pemerintah Israel dan Jerman. Namun, seperti dilaporkan Deuthce Welle (DW Indonesia) pembelaan atas nama “kebebasan berekspresi” dari kurator tidak dapat diterima publik Jerman ketika pada karya seniman Taring Padi ditemukan simbol topi orang Yahudi diberi tanda SS (petugas keamanan Hitler). Sejak itu, polemik seputar “anti-semitisme” tak bisa dibendung lagi.

Baliho Seniman Kelompok Taring Padi sebelum diturunkan karena protes warga Jerman (daily Sabah)

Dalam tulisan ini, saya hendak membahas hal-hal sederhana dari Documenta 15. Bagi saya ini perlu untuk disampikan karena mengandung pelajaran penting soal agama dan kemanusiaan. Dari hal-hal sederhana itu tampak bahwa panitia penyelenggara atau kurator pada dasarnya kurang peka terhadap pesan etis dari agama dan budaya bangsanya sendiri, meksi secara simbolis mereka menggunakan kata “lumbung” khas masyarakat petani Indonesia sebagai tema pameran.

Peristiwanya sedang terjadi pada bulan-bulan ini. Mulai 18 Juni hingga 25 September 2022, sejumlah seniman Jakarta yang tergabung dalam kelompok “ruangrupa” sedang sibuk bekerja sebagai kurator (mungkin semacam event organiser?) pameran seni paling akbar sedunia yang disebut Documenta untuk Edisi ke-15 yang diselenggarakan di kota Kassel. Biaya yang diberikan pemerintah Jerman kepada ruangrupa selaku pelaksana teramat besar yaitu USD 45 juta atau sekitar Rp 754 miliar. Dengan uang sebanyak itu ruangrupa diharapkan bisa menyelenggarakan pameran dengan sebaik-baiknya untuk mengharumkan nama Jerman dan Indonesia di panggung budaya dunia.

Artnewspaper membuka artikelnya dengan kalimat “the 15th edition of Documenta will be a sprawling show with around 1,500 participant”. Ruangrupa mengundang seniman sebanyak itu dari seluruh dunia (utamanya Asia-Afrika) untuk hadir di Kassel dalam rangka mengikuti pameran. Untuk melayani mereka, ruangrupa selaku panitia pelaksana bahkan membuka tempat tidur untuk para seniman di lingkungan pameran, ada juga yang warung dan bioskop (mungkin semacam layar tancap) agar ribuan seniman yan hadir tidak kesusahan di negeri orang, apalagi biaya hidup di Jerman sangat tinggi.

Sampai di situ, upaya ruangrupa dapat diharggai karena telah menampilkan gaya hidup Indonesia yang ramah, suka menolong, sederhana dan murah-meriah. Meski mungkin bagi orang Barat apa yang dilakukan oleh ruangrupa itu terkesan aneh, terutama jika melihat dana yang disediakan sangat besar, sehingga harapannya para seniman yang hadir bisa mendapatkan fasilitas yang layak dan terhomat.

Dalam pembukaan pameran, ruangrupa berusaha menghadirkan grup musik kosidah tahun 1980-an, Nasida Ria. Tujuannya mungkin untuk mempromosikan Islam Indonesia yang ramah serta punya nuansa seni yang khas. Selain itu, Nasida Ria dipentaskan oleh ruangrupa di Jerman dalam rangka memberi angin perdamaian di tengah perang Rusia-Ukraina yang telah melibatkan seluruh benua Eropa. Maklum, lagu Nasida Ria yang hits pada era itu berjudul Perdamaian.

Nasida Ria berfoto bersama seniman Indonesia dalam ameran Documenta15 (Tribun Palu)

Tampil di luar negeri tentu amat membanggakan apalagi dalam pameran bergengsi. Tak heran jika Nasida Ria mendapat liputan luas dan trending di media-media Indonesia. Harapannya, tak lain dan tak bukan, adalah demi mengharumkan nama Indonesia di mata dunia. Namun, tampilnya Nasida Ria juga menimbulkan kesan yang kurang baik. Personel Nasida Ria sekarang sudah menjadi ibu-ibu yang tua/sepuh. Tak terbayang melihat betapa lelahnya mereka harus menempuh penerbangan sangat jauh dan meninggalkan keluarga mereka di tanah air untuk tampil di benua lain. Akan lebih manusiawi jika ruangrupa selaku panitia pameran menampilkan grup musik yang lebih muda sekalian menunjukan perkembangan musik Indonesia terkini kepada dunia.

Selain itu, meminta bantuan ibu-ibu untuk terlibat mendamaikan konflik perang di Eropa juga terasa berlebihan dan tega. Perang adalah urusan antar pemerintah yang berkonflik, bukan urusan ibu-ibu nasyid yang sudah lama pensiun menyanyi, tidak masusiawi jika tiba-tiba disuruh konser untuk masalah yang jauh di luar urusan dan kemampuan mereka. Ada kesan ruanagrupa melakukan prank terhadap ibu-ibu Nasida Ria.

Masalah berikutnya adalah ketika Nasida Ria pentas di Kassel, sejauh pengamatan saya di media sosial, ternyata hanya ditonton oleh panitia ruangrupa dan seniman Indonesia yang hadir di sana, karena lirik lagu Nasida Ria dalam Bahasa Indonesia sehingga yang paham juga orang Indnesia. Adapun kebanyakan orang Jerman, juga orang Ukraina dan Rusia yang sedang berperang, tentu tidak memahami lirik lagunya.

Jadi bisa dibayangkan meminta ibu-ibu konser di Jerman hanya untuk ditonton oleh sedikit orang dari sesama orang Indonesia. Maksudnya ingin promosi di mata dunia, tapi ujungnya hanya buat ditonton oleh bangsa sendiri yang sedang menjadi panitia penyelenggara. Selain itu, memementaskan Nasida Ria untuk kampanye perdamaian di Eropa itu terasa mengada-ada dan nonsense, setidaknya di mata orang awam seperti saya.

Tapi itu bukan masalah yang dianggap utama, terutama bagi umat Islam serta umat agama lain yang taat pada Tuhan. Setelah konser Nasida Ria, ruangrupa menyelenggarakan pesta di ruang bawah tanah dengan menunjuk EO para seniman dari India yang tergabung dalam kelompok Party Office. Pesta akan diselenggarakan setiap hari selama 100 hari dengan mengundang DJ dari banyak negara.

Suasana pesta dugem bawah tanah dalam pameran Documenta 15 dg pelaksana ruangrupa dari Jakarta (artnewspaper)

Pesta tersebut dilakukan di ruang basement dan disebut sebagai pesta yang ramah BDSM (beragam kegiatan seksual yang melibatkan praktik bondage and discipline [perbudakan dan disiplin], dominance and submission [dominansi dan penyerahan diri], atau bisa juga sadism and masochism [sadisme dan masokisme]).

Masih menurut media yang sama, penyelenggara pesta tersebut sering besikap tidak ramah atau diskriminatif terhadap orang kulit putih dengan dalih pesta itu diutamakan untuk orang Asia dan Afrika yang merasa tidak aman jika ikut pesta di klub lain yang mayoritas putih. Padahal, ruangrupa mengusung tema pameran “lumbung” sebagai simbol gotong-royong dan kesetaraan temasuk terhadap warna kulit yang berbeda—tak terkecuali warga Jerman yang pajaknya telah digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pameran Documenta15.

Di mata orang Barat sendiri, pesta tersebut adalah kegiatan yang aneh dan diskriminatif, kurang lebih seperti orang yang diberi uang untuk membayar sekolah tapi malah digunakan untuk berjudi dan tanpa berterimakasih tapi malah mencela pihak yang memeberi—dengan jumlah mencapai puluhan juta dollar. Sungguh sikap yang tidak etis dan beradab .

Jika di mata orang Barat pesta semacam itu dipandang aneh, apalagi dari sudut pandang orang Indonesia. Pesta semacam itu termasuk pelanggaran moral serius karena telah melanggar batasan norma adat, hukum dan agama. Apalagi pesta sangat bebas itu diselenggarakan setelah pertunjukan musik Islami dari ibu-ibu Nasida Ria. Para seniman ruangrupa seperti anak yang habis dari masjid kemudian melakukan perbuatan maksiat yang bertentangan dengan ibadah yang baru saja diamalkan. Sebagai umat Islam (juga tentu bagi umat agama lain), saya merasakan apa yang dilakukan ruangrupa merupakan tidakan merendahkan terhadap nilai-nilai agama dan nama baik bangsa.

Para anggota ruangrupa dari Jagakarsa Jakarta Selatan (New York Times)

Pameran Documenta 15 akan berlangsung selama 100 hari. Namun seperti dilansir CNN Indonesia dikutip dari Deutche Welle (DW), baru beberapa hari pameran dibuka telah menimbulkan banyak skandal termasuk masalah antisemitisme yang sangat sensitif di Jerman. Menteri Kebudayaan Jerman, Claudia Roth, merasa malu dengan berbagai skandal yang terjadi. Adapun kanselir Jerman, Olaf Scholz, memutuskan tidak hadir ke pameran. Ini adalah Documenta pertama yang tidak dihadiri kepala pemerintah Jerman. Peristiwa ini adalah pelajaran penting yang mahal karena menimbulkan kekecewaan, rasa malu dan luka banyak pihak—antar manusia, bangsa, agama dan ras manusia. Tak heran seorang netizen Jerman berkomentar di IG Ruang Rupa "mediocre" dan di IG Taring Padi, “educate yourself and go home.”

Sember; Artewspaper, Deutche Welle (DW), CNN Indonesia, Daily Sabah

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image