Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rosiana Muliandari

Memangnya Sudah Mahir Berbahasa Indonesia?

Eduaksi | 2021-10-29 22:11:16
Sumber: freepik.com

Pastinya tidak sedikit dari kalian yang sering melihat konten di media sosial yang menggunakan bahasa Inggris. Baik itu konten hiburan, edukasional, atau bahkan konten yang hanya dengan tulisan berbahasa Inggris tapi dibuat oleh akun yang dimiliki oleh orang Indonesia. Jika pernah, ada kemungkinan besar kolom komentar di konten tersebut memiliki beberapa komentar “pedas” yang mengkritik penggunaan bahasa Inggris oleh kreator.

“Pake bahasa Indonesia, dong!”

“Kenapa pake bahasa Inggris, sih?”

“Lu ‘kan tinggal di Indonesia, ngapain pake bahasa Inggris!”

“Nggak bisa basa enggres.”

Dan berbagai macam lagi bentuk komentar-komentar berkedok kritik yang tidak jarang memenuhi kolom komentar. Ketiga contoh di atas yang saya sediakan itu bahkan dapat dinilai sebagai bahwa saya sedang “bermurah hati”. Kenapa bermurah hati? Karena tidak sedikit komentar tersebut yang bahkan tidak menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Kenapa harus menggunakan bahasa Indonesia yang baik saat berkomentar di media sosial? Apalagi di konten yang seperti itu; menggunakan bahasa Inggris? Begini, mari pikirkan lagi. Logikanya, jika kita ingin mengkritik sebuah karya, orang lain, organisasi, dan lain-lain, bukankah akan lebih baik jika kita memiliki sebuah pengetahuan yang dapat mendukung kritik kita?

Gorys Keraf (1985) menuliskan bahwa pembicara, atau penulis dalam konteks komentar di media sosial, harus memiliki pengetahuan atau fakta mengenai topik yang ia akan berikan argumentasinya. Dengan adanya lebih banyak pengetahuan itu, argumentasi yang akan diberikan juga akan lebih kuat dan berbobot. Selain itu, Keraf juga menjelaskan bahwa argumentasi yang diberikan juga harus dijelaskan secara jelas.

Ada hubungan penjelasan Keraf dan “kritik” di media sosial terhadap konten lokal berbahasa Inggris. Saya tentunya tidak bisa menilai seberapa mahirnya seseorang dalam menggunakan bahasa Inggris, tapi, setidaknya, gunakanlah bahasa Indonesia yang baik dan benar saat menuliskan komentar kritik tersebut. Anda sedang mengomentari sebuah bahasa asing dengan menggunakan alasan dengan cara membanggakan bahasa ibu Anda tapi, menulis bahasa ibu Anda dengan baik dan benar bahkan tidak dapat dilakukan. Tidakkah itu ironis? Bukankah itu membuat sebuah argumen atau kritik menjadi hilang kekuatan dan bobotnya? Seperti yang Keraf katakan, kejelasan argumentasi merupakan hal yang penting. Jika komentar-komentar tersebut dikemas dengan baik, mungkin saja, akan ada orang yang setuju dengan kritik mereka.

Tentunya, kita, sebagai orang Indonesia harus selalu bangga dengan bahasa kita, apalagi dengan banyaknya ragam bahasa lokal yang kita miliki. Bahasa Indonesia merupakan sesuatu yang kita, sebagai warga Indonesia, harus terus junjung tinggi. Saya gemar mempelajari bahasa Inggris dan terkadang, saya lebih menyukai menggunakan bahasa asing tersebut. Bahasa Inggris juga merupakan bahasa internasional yang telah digunakan hampir di seluruh penjuru dunia. Jadi, mempelajari bahasa asing itu merupakan sebuah keuntungan bagi diri kita sendiri dan dapat saja menjadi sebuah penyelamat di karir kita. Namun, kembali lagi, bahasa Inggris merupakan bahasa asing dan, tentunya, bahasa kedua.

Tidak ada salahnya juga untuk kita saling mengoreksi satu sama lain mengenai frekuensi penggunaan bahasa Indonesia. Bahkan, itu merupakan sebuah hal yang baik dalam melestarikan bahasa kita dan, siapa tahu, bahasa kita dapat dikenal lebih banyak orang dan lebih banyak yang mempelajarinya. Namun, tetaplah harus diingat bahwa saat mengomentari atau mengoreksi sebuah konten di media sosial yang menggunakan bahasa asing dan dengan cara “menyuruh” menggunakan bahasa Indonesia, gunakanlah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Komentar Instagram memiliki batas 1.100 kata, Twitter dengan 140 kata, dan TikTok dengan 75 kata. Jika kurang banyak, dapat dilanjutkan dengan cara membalas komentar Anda sebelumnya. Selain itu, Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia juga dapat diakses dengan mudah lewat internet tanpa harus membeli buku fisiknya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image