Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Istiqomah

Penyengat, Kota Gurindam Sumbangsih Era Ke-Khilafahan

Sejarah | Thursday, 28 Oct 2021, 20:16 WIB
Sumber : Dok. Film JKDN

Perlawanan-perlawanan terhadap penjajahan sangat sengit. Saat itu , beberapa wilayah yang berhasil ditaklukkan seperti Maluku, Makassar, Borneo, Jawa dan setengah pulau Sumatra takluput juga Kepulauan Riau menghadapi situasiyang serba sulit. Akhirnya segenap pembesar dari Jawa, Bugis, Kalimantan dan Palembang yang berhasil dicaplok Belanda mengirim surat permintaan bantuan kepada Paduka yang berdaulat di Bandar Aceh.

Sang Paduka Sultan Manshur Syah melihat semua ini tidak mungkin dilawan tanpa kebersatuan. Kunci persatuan untuk negeri-negeri Islam yang sudah dipecah-pecah oleh kafir penjajah hanyalah satu, yakni bersandar kepada satu-satunya pemimpin kaum Muslimin sedunia, Khilafah Utsmaniyyah. Menurut ahli sejarah Nicko Pandawa menuturkan Sultan Manshur Syah dari Aceh meyakini bahwa persatuan di Khilafah adalah sebuah kunci, satu-satunya kunci bahkan untuk menyatukan kata dan kekuatan para Sultan di Asia Tenggara. Maka dari itu Sultan Aceh mengirim surat kepada Khalifah Abdul Majid I pada 8 Februari 1849 untuk memperbarui baiat Kesultanan Aceh.

Dengan baiat inilah, Sultan Manshur Syah berharap menjadi pemersatu perlawanan seluruh sultan Asia Tenggara di bawah naungan Khilafah Utsmaniyyah. Surat itu dikirim dalam bahasa Melayu, di dalamnya Sultan Manshur Syah mengatakan bahwa

“Apabila bangkit perang orang Belanda itu maka segala orang Islampun bangkit melawan dia, lagi memukul dia dari tiap-tiap yang telah tersebut itu. Karena orang yang sudah diperintah Belanda pada tiap-tiap negeri semuanya menanti titah dari pada Patik negeri Aceh dan tantangan Patik pun menanti titah dari wasitah (daripada) duli haddrat di negeri Rum (Istanbul)” (Sumber : film dokumenter JKDN)

Setahun berselang Sultan Manshur Syah mengirim surat dengan menggunakan bahasa Arab yang fasih dan berkata yang artinya

“Maka dari itu yang diharapkan dan sumber kasih sayang Tuan yang berbahagia adalah menganugerahkan kami sebuah titah kesultanan yang dapat menyatukan seluruh pembesar rakyat kami dari kaum musliminsupaya suara mereka bersatu padu dan bulat untuk menegakkan jihad di jalan Allah dan mengusir kaum nasrani itu dari negeri-negeri kaum muslimin. Sebab jika tidak mengusir mereka dari negeri-negeri kaum muslim, kami khawatir seluruh penghuni pulau akan murtad dan keluar dari agama Islam sekaligus kita berlindung kepada Allah Ta’ala atas yang demikian semoga Allah tidak menakdirkan hal itu. Maka hendaklah tuan mengirimkan kepada titah itu.” (Sumber : film dokumenter JKDN)

Sultan Aceh ini meminta kepada Khalifah Abdul Majid I sebuah Ma’muriyyah Sulthaniyyah, dalam Khazanah Utsmani disebut dengan Ferman, “An tashira kalimatuhu mutawfiqah fi iqomatil jihadi fisabilillah.” Untuk menjadikan seluruh sultan dan raja di Nusantara seiya sekata dalam jihad fi sabilillah. Sultan Manshur Syah menstrategikan sebuah perang raya yang menyatukan seluruh pembesar untuk bersama-sama menggalang jihad fi sabilillah, menaklukkan Batavia, mengalahkan Belanda dan mengusir penjajah. Bagi sultan Aceh ini perang raya tersebut hanya dapat diciptakan atas izin Khilafah Utsmaniyyah. Sultan Manshur Syah mempercayakan utusannya Muhammad Ghauts Sayful ‘Alam. Ketika dihadapan khalifah beliau memperlihatkan peta dunia Islam di Asia Tenggara buatannya. Sebuah peta geopolitik yang menyebutkan Minangkabau, Daik (Riau-Lingga), Selangor, Kedah, Pattani, Trenggano, Pahang, Banjar, Bone, Semarang dan Bali sebagai “Wali Sultan Manshur Syah Aceh”

Enam tahun kemudian setelah Sultan Manshur Syah mengirim suratnya ke Abdul Majid I, surat serupa juga datang dari pulau penyengat tempat kedudukan yang Dipertuan Muda Kesultan Riau berkuasa. Yang Dipertuan Muda Riau VIII Raja Ali Bin Raja Ja’far dengan pembukaan surat yang sama persis dengan surat dari Sultan Manshur Syah Aceh. Pada tahun 1857 mengajukan permohonan agar kesultanan Riau diakui menjadi bagian daripada Khilafah Utsmaniyyah. Petikan suratnya sebagai berikut

“Saya memohon dari sumber kasih sayang dan kelembutan daulah ‘aliyyah (Khilafah Utsmanniyyah), semoga Allah mengabadikannya , agar saya dijadikan di bawah naungannya untuk selamanya dimana naungannya meliputi yang banyak dan yang sedikit dan agar saya digolongkan sebagai rakyat yang ada di bawah perlindungannya.” (sumber : film JKDN)

Sejarawan lain Nur Fajarudin menyebut, ada satu alasan mengapa bendera Kesultanan Riau Lingga, yang itu merupakan penguasa selat Malaka sama persis dengan bendera Utsmaniyah. Karena jabatan Yang Dipertuan Muda hampir mirip jabatan ini dengan Wazir Agung. Yang Dipertuan Muda Kesultana Riau-Lingga, Raja Ali Bin Raja Ja’far meminta izin secara khusus agar bendera Utsmaniyyah dikibarkan di kesultanan Riau-Lingga. Hal ini menjadi perlambang bahwa wilayah ini tunduk dengan kekhilafahan Utsmaniyyah kala itu. Serta sebagai lambang perlawanan terhadap Belanda dan Inggris yang waktu itu ingin sekali menguasai Selat Malaka. Secara de facto dan de jure itu adalah wilayah kekuasaan Riau-Lingga yang berpusat di pulau Penyengat dan pulau Lingga.

Semangat ketertarikan Riau dengan Khilafah dilanjutkan oleh anak Raja Ali Bin Raja Ja’afar yang menjadi Dipertuan Muda Riau X Yakni Raja Yusuf Al Ahmadi. Pada tahun 1866 Raja Yusuf Al Ahmadi mendirikan perpustakaan Islam pertama di Asia Tenggara Kutub Khanah Marhum Ahmadi. Kutub Khanah perpustakaan yang ada di Masjid Sultan Riau Pulau Penyengat ini amat terinspirasi dengan konsep perpustakaan di Khilafah Utsmaniyyah, Kutuphane.

Sejarawan melayu Datuk UU Hamidi menjabarkan, buku-buku yang dibeli oleh Riau Lingga sebanyak 10.000 Ringgit dan juga buku-buku yang dibeli dari Turki Utsmani. Kesultanan Riau secara rutin mengirimi ulama-ulamanya untuk belajar ke pusat dunia Islam. Mereka membangun pusat ilmu pengetahuan di pulau Penyengat yang berada ditengah jalur Selat Malaka. Dari pulau ini lahir ulama-ulama terkemuka seperti Abdurrahman Stambul, Engku Haji Tua dan tentunya Raja Ali Haji sang pengarang Gurindam 12 , Bustan al Katibil dan kitab pengetahuan bahasa yang begitu masyhur.

Raja Ali Haji merupakan saudara sepupu dari Raja Ali Bin Raja Ja’far, penguasa Riau yang mengajukan diri agar wilayahnya menjadi bagian dari Khilafah Utsmaniyyah memberikan sumber keilmuan yang cukup besar bagi nusantara yakni bahasa Indonesia yang tata bahasanya dirumuskan di pulau ini.

Semoga secercah sumbangsih yang telah eksis sejak lama ini menjadi wasilah hidayah agar lebih memaknai Islam bertahta. Tak hanya simbol agama yang diakui tapi juga penerapannya yang sempurna. Wallahu alam bishawab

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image