Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ghina Athaya

Maaf, Kenapa Harus 'Sorry'?

Sastra | 2021-10-27 18:34:23
Unsplash)" />
Ilustrasi tiga remaja wanita sedang bercengkrama (Foto: Unsplash)

Rindu dengan masa lalu, saya kembali membuka pesan dari teman-teman SMA di Jakarta. Banyak emosi yang tercurah walau hanya sebatas beberapa potongan kata. Saya terenyuh pada ucapan ulang tahun mereka, ketika mereka menolong saat saya lupa membawa topi saat ada upacara sekolah, hingga menyesal sudah lupa mencetak tugas teman karna kelelahan. Hingga saya menyadari sesuatu, ungkapan perasaan di teman-teman saya kerap disimbolkan dengan kata ‘sorry’,‘thank you’, dan kata-kata asing lainnya. Apa salahnya pakai Bahasa Indonesia?

“Kadang udah otomatis aja,” ujar salah satu teman saya ketika ditanya demikian.

Memang benar, terkadang lingkungan yang membuat seseorang jadi terbiasa. Tetapi lingkungan SMA saya tidak mengharuskan murid-muridnya menggunakan Bahasa Inggris, bahkan ketika ada guru asing masuk ke kelas pun mereka lebih banyak diam. Lantas kenapa harus menggunakan pakai kata-kata asing jika begitu?

Bisa jadi memang bukan lingkungan sekolah yang menjadi inti permasalahan. Coba lihat saja orang-orang yang bersinar melalui kamera ponsel alias selebgram (atau bahasa kerennya influencer). Mereka mengunggah kehidupan mereka dari video lima belas detik yang terkumpul hingga bermenit-menit. Ketika tak sengaja menabrak bahu temannya saat pesta mereka akan berceletuk ‘Eh, sorry ya gak sengaja!’. Atau saat teman-temannya berbondong-bondong mampir ke rumahnya tengah malam sambil bawa kue, apa yang mereka nyanyikan? Tentu saja bukan lagu ‘Selamat Ulang Tahun’ tetapi ‘Happy Birthday’. Tulisan di kuenya pun begitu, pakai Bahasa Inggris.

Penonton dari video tersebut tentu bukan hanya satu atau dua orang. Pengikut akun tersebut bisa berjumlah ratusan ribu hingga jutaan. Jika hanya dihitung sepuluh persennya, sekurang-kurangnya ada seribu dan paling banyak seratus ribu orang yang menyaksikan orang tersebut (kemungkinan nyaris setiap hari). Sedangkan sosial media tidak hanya itu, ada empat bahkan lima aplikasi sosial media. Menurut penelitian GlobalWebIndex, rata-rata seseorang memiliki 7 akun sosial media.

Terlebih anak muda di masa pandemi di mana penggunaan sosial media makin masif. Mereka akan berpindah ke sosial media satu dengan yang lainnya. Habis lihat gerombolan itu menyanyikan lagu ‘happy birthday’, mereka langsung menonton video dari youtuber yang bilang ‘thank you’ berkali-kali karna dapat sponsor.

“Thank you ya buat produk A yang sudah jadi sponsor untuk video ini.”

“Sorry tadi ada yang kelewatan. Maksud saya—”

Hal tersebut itu terus menerus berulang hingga tanpa disadari sudah mendarah daging. Remaja yang menyaksikan jadi terbiasa untuk selalu bilang ‘thank you’ dan ‘sorry’. Memang tidak ada yang salah. Toh, artinya juga sama-sama baik. Tetapi dengan fenomena ini Bahasa Indonesia akan semakin bergeser eksistensinya. Membuat adanya pemikiran jika Bahasa Indonesia dianggap tidak lebih baik dari Bahasa Inggris. Padahal Bahasa Indonesia merupakan warisan negara yang semestinya dijunjung tinggi dan dijaga dengan baik. Sadar jika fenomena ini terjadi sudah baik, menjauhkan kita dari status quo, namun belum cukup. Harus ditanamkan dalam diri jika bahasa kita adalah bagian dari kualitas sebagai warga negara yang baik.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image