Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Yuangga Kurnia Yahya

Insiden di Beirut dan Trauma Perang Saudara Lebanon

Politik | Tuesday, 26 Oct 2021, 05:54 WIB

Ibukota Beirut kembali memanas. Pada Kamis (14/10/2021) lalu, terjadi baku tembah di ibukota Lebanon tersebut. Insiden yang menwaskan sedikitnya 7 orang tersebut berawal dari aksi demonstrasi yang digalang oleh Hizbul Amal dan Hezbollah di depan Gedung Kementerian Kehakiman di timur Beirut. Mereka menuntut pemecatan salah seorang hakim yang memimpin investigasi terkait ledakan di pelabuhan Beirut pada 4 Agustus 2020, Tarek Bitar.

Menurut saksi mata, penduduk di kawasan Kristen tersebut melempari para demonstran denga batu. Lalu kemudian, seorang penembak jitu memberikan tembakan ke arah demonstran yang kemudian dibalas oleh ratusan tembakan dari para gerilyawan Amal dan Hezbollah. 3 orang gerilyawan Amal dikabarkan tewas dalam baku tembak tersebut. Hezbollah, yang merupakan faksi politik Syi’ah menuduh Lebanese Forces (LF), kelompok Kristen sebagai dalang di balik insiden tersebut karena mereka juga mendukung investigasi di pelabuhan. Hal ini kemudian disangkal oleh LF dan menyatakan bahwa tidak ada milisi Kristen dari LF yang terlihat di jalan selama insiden tersebut.

Ketakutan akan Perang Saudara

Lebanon adalah rumah bagi banyak sekte agama-agama di kawasan Timur Tengah. Sedikitnya ada 18 sekte yang diakui hidup berdampingan di negara ini yang terdiri dari 4 sekte Muslim, 12 sekte Kristen, 1 sekte Druze, dan 1 sekte Yahudi. Dalam data yang dirilis oleh thearda.com, menunjukkan bahwa penduduk Lebanon terdiri dari 28% Muslim Sunni, 28% Muslim Syi’ah, 22% Kristen Maronit, 8% Ortodoks Yunani, 5% Druze, dan 4 % Katolik Yunani. Adapun agama-agama lainnya seperti Buddha, Hindu, Sikh, dan Baha’I berada di bawah 2%.

Dengan keragaman tersebut, Lebanon memiliki cara unik dalam mengelola keragaman tersebut, yaitu dengan adanya Pakta Nasional Lebanon tahun 1943. Pakta tersebut mensyaratkan Presiden berasal dari kelompok Kristen Maronit, Perdana Menteri dari kelompok Islam Sunni, dan Juru Bicara dari kelompok Islam Syi‟ah demi menjamin kesetaraan hak tiap kelompok dalam politik skala nasional. Kebijakan ini disebut dengan power-sharing antara kelompok-kelompok besar di negara tersebut.

Dengan adanya pakta tersebut, masyarakat Kristen di Lebanon terjamin keberlangsungan hidup mereka dengan tenteram. Lebanon yang memiliki populasi Kristen terbesar memberikan status sosial secara proposional. Bahkan terkadang negara ini disebut negara paling aman dalam hal kebebasan beragama dan perlindungan terhadap minoritas

Perlu diingat bahwa keadaan toleran dan intoleran adalah sebuah spektrum dan tidak statis. Dalam satu waktu satu kawasan dalam sangat toleran dan di lain waktu, karena adanya suatu sebab, dapat berubah intoleran. Tidak ada daerah yang sepenuhnya toleran atau intoleran, melainkan bergantung pada perubahan sosial politik. Hal ini juga berlaku di Lebanon. Pada dekade 1950-an hingga 1960-an, Beirut dikenal sebagai Paris of the East karena kestabilan ekonomi dan kemakmuran masyarakatnya yang multikultur.

Namun, pada awal 1970, diawali dengan eksodus basis kekuatan Palestine Liberation Organization (PLO) yang dipimpin oleh Yasser Arafat ke Lebanon. Pada tahun 1975, Lebanese National Movement (LNM) yang berafiliasi ke Muslim sayap kiri dan didukung Palestina bertikai dengan partai Kristen Phalange yang merupakan kelompok sayap kanan ekstrim yang berhaluan Barat. Dari sinilah rentetan perang antaraagama di seluruh Beirut.

Pada 18 Januari 1976, milisi Kristen Maronite yang didukung oleh Rumania, Bulgaria, Jerman Barat, Belgia, dan Israel menyerang wilayah karantina yang menjadi hunian pengungsi Muslim Palestina. Mereka menuduh para pengungsi Palestina tersebut yang melakukan blokade jalur komunikasi antarwilayah Kristen di Beirut. Keadaan diperparah dengan Perang Israel-Lebanon pada 1982. Perang saudara ini berlangsung hingga 1990 dan diperkirakan 130.000 hingga 250.000 penduduk menjadi korban jiwa.

Kegagalan Sistem Power-Sharing

Di era modern ini, nyatanya kondisi Lebanon belum membaik 100%. Pada February 2005, Perdana Menteri Rafiq Hariry terbunuh dalam serangan teroris bersama 21 orang lainnya dan puluhan lainnya luka-luka. Politisi yang berasal dari kelompok Muslim Sunni ini merupakan simbol pembangunan kembali Lebanon pasca perang saudara. Kelompok Hezbollah yang berafiliasi Syi’ah dan didukung oleh Suriah dianggap bertanggungjawab dalam penyerangan tersebut. Hal ini membuat keadaan antar sekte tersebut kembali memanas.

Kejadian ini menyulut demonstrasi menuntut keadilan dan pengusutan kasus tersebut. Demonstrasi tersebut lama kelamaan berujung pada tuntutan pembubaran sistem konvensional yang berbasis pada power-sharing antar kelompok tersebut.

Menurut Ibnu Burdah, Guru Besar bidang Kajian Dunia Arab dan Islam Kontemporer UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam pidato pengukuhannya pada 3 September 2020, sistem ini dipandang sebagai biang keterpecahan dan kehancuran Lebanon. Sebab, sistem itu berpihak dan rentan digunakan untuk melindungi kepentingan-kepentingan para elit sektarian, baik elit Kristen Maronit, Sunni, Syiah, maupun Druze, dan mengabaikan kepentingan luas bersama rakyat Lebanon.

Faktanya, keluarga elit-elit sektarian itulah yang menguasai kehidupan politik dan ekonomi negeri itu. Di tengah sulitnya mencari konsensus dan mudahnya kesepakatan diruntuhkan oleh kepentingan segelintir elit sekte, persoalan makin rumit dengan menguatnya penetrasi kepentingan aktor-aktor regional ke dalam negeri itu, utamanya kepentingan Iran dan Suriah melalui Hizbullah dan Saudi melalui kelompok Sunni. Keterlibatan kelompok-kelompok di Lebanon dalam berbagai konflik besar di kawasan, sebaliknya, juga memperparah situasi ini.

Isu sektarian memang cukup akut di kawasan Arab Timur Laut ini (al-masyriq al-‘araby) dan bermuara pada potensi ancaman kembalinya Islamisme dalam bentuk terorisme. Irak, Suriah, Lebanon, dan Palestina menjadi bukti “bara di Timur Tengah”. Hanya Yordania yang tidak terseret isu sektarianimse ini.

Pada masa pandemi Covid-19, demonstrasi yang kerap terjadi di Lebanon sempat surut karena serangkaian aturan baru selama masa pandemi. Para pemimpin sektarian yang jadi musuh bersama rakyat tiba-tiba memainkan peran sentral mereka kembali di tengah wabah ini. Namun, tampaknya berbagai “bara” yang tersimpan di kelompok-kelompok yang bertikai semakin memanas dengan adanya tuduhan Tarek Bitar yang hanya menangkap musuh-musuh politik sebagai aktor yang terlibat dalam insiden di pelabuhan. Insiden di tengah kota Beirut Kamis kemarin, bila tidak segera diatasi, bukan tidak mungkin akan menjadi babak baru perseteruan dikarenakan isu sektarian.

Penulis:

Yuangga Kurnia Yahya (Mahasiswa S3 Kajian Timur Tengah UIN Sunan Kalijaga)

Para pasukan bersenjata yang terekam oleh saluran televisi Lebanon pada hari insidenSumber: NDTV

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image