Mengenal Apa itu Nota Rinkes, Pedoman Penulisan Karya Sastra pada Masa Balai Pustaka
Sastra | 2022-06-21 14:49:58Nota Rinkes adalah kritik sastra karena menjadi pedoman penulisan karya sastra yang ditandatangani oleh D.A. Rinkes pada periode balai pustaka, sebelum mengenal lebih jauh mengenai Nota Rikes dan D.A Rinkes, ada baiknya untuk kita mengetahui apa itu periode Balai Pustaka terlebih dahulu.
Periode balai pustaka adalah periode kesustraan Indonesia pada masa 1920 hingga 1940. Periode Balai Pustaka juga dikenal sebagai Angkatan Balai Pustaka atau angkatan Siti Nurbaya, dinamakan angkatan Situ Nurbaya karena novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli merupakan puncak karya sastra pada zaman itu. Pada masa ini, ada beberapa sastrawan yang terkenal di sejarah sastra Indonesia diantaranya adalah Nur Sutan Iskandar, Abdul Muis, Marah Rusli, Muhammad Kasim, dan Merari Siregar.
Adapun karya-karya yang muncul pada era Balai Pustaka antara lain:
Karya-karya Merari Siregar antara lain:
Cerita Si Jamin dan Si Johan (1918)
Azab dan Sengsara (1920)
Karya-karya Marah Rusli antara lain:
Siti Nurbaya (1922)
La Hami (1952)
Anak dan kemenakan (1956)
Memang Jodoh (otobiografi).
Karya-karya Abdul Muis antara lain:
Don Kisot (1923,terjemahan)
Salah Asuhan (1928)
Pertemuan Jodoh (1933)
Surapati (1950)
Robert Anak Surapati (1953)
Karya-karya Nur Sutan Iskandar antara lain:
Apa Dayaku karan Aku Perempuan (1922)
Cinta yang Membawa Maut (1926)
Salah Pilih (1928)
Karena Mertua (1932)
Tuba Dibalas dengan Air Susu (1933)
Hulubalang Raja (1934)
Katak Hendak Menjadi Lembu (1935_
Neraka Dunia (1937)
Karya-karya Moh. Yamin antara lain:
Tanah Air (1922, kumpulan puisi)
Indonesia Tumpah Darahku (1928, kumpulan puisi)
Kalau Dewi Tara sudah Berkata (1934, drama)
Ken Arok dan Ken Dedes (1934, drama).
Karya-karya Rustam Effendi antara lain:
Bebasari (1924, drama)
Percikan Permenungan (1926, kumpulan puisi).
Menurut Faruk, Balai Pustaka membawa misi moral dan juga politik. Misi moralnya antara lain adalah mengatur secara ketat penggunaan bahasa dan juga kecenderunagn perilaku atau hubungan seksual yang menyimpang. Misi politiknya adalah mengontrol ketat terhadap kemungkinan pembeberan konflik sosial dan politik yang mencangkup SARA serta pengungangkapan citra buruk terhadap diri orang Eropa sebagai bagian dari kelompok yang berkuasa
Balai Pustaka adalah bagian dari program pemerintah untuk mendidik masyarakat Hindia agar menjadi masyarakat modern. Tahun 1922 Balai Pustaka mulai menerbitkan majalah, yaitu: Panji Pusataka dan Sri Pustaka (berbahasa Melayu), Kejawen (berbahasa Jawa), Paralujangan (berbahasa Sunda).
Rinkes merupakan ketua pertama Balai Pustaka . Tugas Komisi Bacaan Rakyat menurut Rinkes (via Rosidi, 1991: 16): “Hasil pengajaran itu boleh juga mendatangkan bahaya, kalau orang yang telah tahu membaca itu mendapat kitab-kitab bacaan yang berbahaya dari saudagar kitab yang kurang suci dan dari orang-orang yang bermaksud hendak mengacau. Oleh sebab itu bersama-sama dengan pengajaran itu maka haruslah diadakan kitab-kitab bacaan yang memenuhi kegemaran orang kepada membaca dan memajukan pengetahuannya, seboleh-bolehnya menurut tertibdunia sekarang. Dalam usahanya itu harus dijauhkan segala yang dapat merusakkan kekuasaan pemerintah dan ketenteraman negeri”.
Pemerintah Belanda menjadi takut akan dampak yang akan muncul karena hal tersebut. Hal ini akhirnya diketahui melalui pernyataan Rinkes bahwa pengajaran dan pengadaan buku bacaan harus dijauhkan dari segala yang dapat “merusakkan kekuasaan pemerintah” Belanda dan ketentraman negeri. Dengan kata lain, segala upaya yang dilakukan Belanda berujung pada kekokohan kekuasaannya atas Hindia. Tidak heran jika kemudian diterbitkan Nota Rinkes yang merupakan syarat atau pedoman bagi karya yang hendak diterbitkan oleh Balai Pustaka.
Isi Nota Rinkes (via Pradopo, 1995: 97) adalah: tidak berpolitik, tidak menyinggung masalah agama, tidak menyinggung kesusilaan masyarakan / adat, dan bersifat mendidik. Tidak berpolitik memiliki maksud tidak menganggu atau menentang kekuasaan kolonial Belanda di Hindia atau tidak “merusakkan kekuasaan pemerintah“ kolonial sebagaimana istilah Rinkes tadi.
Pengertian tidak menyinggung masalah agama karena Belanda sangat takut sebagaimana yang telah disinyalir oleh Suminto pada bukunya tentang kekuatan Islam sebagai identitas bangsa Hindia. Hal ini berkait dengan pengertian bersifat mendidik dalam Nota Rinkes, yaitu bagaimana mendidik bangsa Hindia agar menjadi jinak dan patuh kepada Belanda atau dalam istilah Suminto bagaimana menjinakkan pribumi dan menghadapi Islam.
Adapun dampak dari Nota Rinkes antara lain ialah novel Salah Asuhan karangan Abdul Muis yang diterbitkan Balai Pustaka tahun 1928 sebenarnya tidak seluruhnya sesuai dengan naskah asli. Novel tersebut mengalami perubahan dan pembersihan, baik bahasa maupun isinya sesuai dengan kebijaksanaan pimpinan dan ketentuan yang ada. Novel Belenggu karangan Armijn Pane pernah ditolak oleh Balai Pustaka karena isinya tidak bersifat membangun dan tidak membentuk budi pekerti sesuai dengan persyaratan Nota Rinkes. Kemudian novel tersebut di muat oleh Pujangga Baru dalam lustrumnya yang pertama tahun 1938, dan baru pada cetak ulang berikutnya diterbitkan oleh Balai Pustaka. Di samping itu, ada keluhan para pengarang, termasuk Sanusi Pane yang merasakan bahwa persyaratan yang dikehendaki Balai Pustaka merupakan hambatan bagi kemurnian ilham dan penciptaan sewajarnya.
Sumber Referensi
Drs. Harjito, M.Hum , POTRET SASTRA INDONESIA. 2007
https://sastra100km.wordpress.com/2014/04/30/angkatan-balai-pustaka/
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.