Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dandi Bachtiar

TEUKU MUHAMMAD HASAN GEULUMPANG PAYONG, Bangsawan yang menjadi Konsul Pertama Muhammadiyah di Aceh

Sejarah | Sunday, 24 Oct 2021, 00:51 WIB

Dalam beberapa hari ke depan bulan November akan menjelang, bulan yang dapatlah disebut sebagai Bulan Pahlawan. Ini berkaitan dengan Hari Pahlawan yang diperingati setiap tanggal 10 di bulan November. Sehingga wajarlah untuk menghormati bulan ini sebagai Bulan Pahlawan, kita mendiskusikan profil tokoh sejarah yang berpengaruh di masa lalu yang telah mendarmabaktikan hidupnya sebagai pemimpin bangsa. Salahsatunya adalah Teuku Muhammad Hasan Geulumpang Payong, tokoh yang berasal dari Aceh.

Gambar 1 Sosok Teuku Muhammad Hasan Geulumpang Payong

Sumber foto: Instagram Atjeh Gallery

Bagi Aceh ketokohan seorang Teuku Muhammad Hasan Geulumpang Payong tidaklah diragukan lagi. Beliau dikenal luas pada zamannya sebagai salahsatu pemimpin rakyat yang berwibawa dan dicintai rakyatnya.

Beliau lahir pada tahun 1893 di wilayah 3 Mukim Geulumpang Payong, Pidie sebagai putra Uleebalang. Ayah beliau Teuku Haji Gam bin Teuku Sulaiman Bentara Seumasat.

Sang kakek Teuku Sulaiman Bentara Seumasat uleebalang Geulumpang Payong adalah seorang pemimpin pejuang yang melawan Belanda di wilayah Pidie. Namun Belanda berhasil menangkapnya pada tanggal 5 September 1898 dan membawa sang pejuang tua itu ke Kutaraja. Dua tahun dalam tahanan, beliau terpaksa berdamai dan kembali ke Geulumpang Payong. Pada 12 November 1900 Belanda mengukuhkan Teuku Sulaiman Bentara Seumasat sebagai uleebalang Geulumpang Payong melalui Korte Verklaring (penandatanganan Perjanjian Pendek) Keluarga ini adalah keturunan dari Tu Ulee Gle, tokoh pendiri dinasti uleebalang Geulumpang Payong yang mendapat pengesahan sarakata cap sikureung dari Sultan [1].

Adapun ayah beliau Teuku Haji Gam Hasan bin Teuku Sulaiman dibuang ke Betawi pada tahun 1899 karena aktifitas politiknya. Di sana Teuku Haji Gam Hasan sempat mempersunting gadis setempat. Ketika ayahanda Teuku Sulaiman mangkat pada 14 Mei 1905, Teuku Haji Gam Hasan diizinkan pulang menggantikan posisi ayahnya sebagai Uleebalang. Teuku Haji Gam kembali bersama istri dan seorang anak bernama Teuku Banta Ahmad, adik (lain ibu) Teuku Muhammad Hasan Geulumpang Payong. Korte Verklaring untuk Teuku Haji Gam ditekennya pada tanggal 29 Mei 1906. Bertahun-tahun kemudian ketika dewasa Teuku Banta Ahmad ditangkap oleh Belanda karena kegiatannya membantu gerilyawan, dan baru bebas dari penjara Sigli di Benteng ketika Jepang menyerbu Aceh pada tahun 1942.

Teuku Muhammad Hasan muda tumbuh membesar di zaman pemerintahan kolonial Belanda. Ketika itu ayah beliau Teuku Haji Gam Bentara Seumasat adalah uleebalang negeri Geulumpang Payong yang tidak sepenuhnya bersedia tunduk dengan kemauan Belanda. Sehingga sempat dihukum buang ke tanah Jawa. Setelah beberapa lama kemudian Teuku Haji Gam dipulihkan kedudukannya dan kembali berkuasa sebagai Uleebalang.

Gambar 2 Teuku Sulaiman Bentara Seumasat (kakek Teuku Muhammad Hasan Geulumpang Payong) bersama pengawalnya ketika diinternir oleh Belanda di Kutaraja

Sumber foto: Zentgraaf, Atjeh, 1936

Sebagai putra bangsawan Aceh Teuku Muhammad Hasan mendapat kemudahan untuk memasuki pendidikan Belanda. Pendidikan dasar di ELS Sigli kemudian HIS, dan setelah itu melanjutkan ke sekolah ambtenaar di Bukit Tinggi. Politik kolonial Belanda berusaha merangkul pemimpin adat dengan mendidik putra-putra mereka di sekolah Belanda. Dengan harapan setelah jadi nantinya akan dapat disetir sebagai pegawai Belanda yang patuh.

Namun cita-cita culas Belanda itu tidak sepenuhnya mulus. Teuku Muhammad Hasan telah membuktikannya. Beliau mampu menjalin hubungan baik dengan semua golongan di Aceh baik sesama kaum uleebalang maupun dengan kaum ulama. Semua golongan menaruh hormat kepada kepemimpinan beliau. Walau begitu, secara umum upaya Belanda mengadudomba antara pemimpin adat dengan agama menampakkan hasilnya.

Setelah menamatkan pendidikan ambtenaar di Bukit Tinggi beliau kembali ke Aceh dan langsung ditugaskan sebagai pegawai utama di kantor Gubernur. Jabatannya cukup tinggi untuk seorang Aceh. Karena beliau cakap, pintar dan sangat menguasai bidang tugasnya. Mengurusi kas keuangan pemerintahan Belanda.

Personalitinya menarik, disenangi banyak orang. Karakternya kuat dan berintegritas. Tubuhnya besar dan gempal. Sehingga sesama kolega menyebutnya dengan Teuku Hasan Dik. Dalam bahasa Belanda Dik artinya gemuk.

Selama menempuh pendidikan di Bukit Tinggi ternyata beliau tidak terpaku dengan menekuni ilmu keduniaan semata. Sebagai putra Aceh tulen yang kental dengan nilai-nilai keagamaan, beliau diam-diam turut aktif terlibat dalam aktifitas pendidikan Islam di Bukit Tinggi. Beliau bergaul dengan pemimpin Islam ulama setempat Dahlan Djambek, tokoh Muhammadiyah. Pergaulannya yang rapat dengan tokoh Islam nasionalis dari berbagai bangsa di luar Aceh, telah membentuk dan memperkaya jiwanya dengan corak kebangsaan [2].

Belanda memang berhasil mendidik sosok Teuku Muhammad Hasan menjadi ambtenaar yang berkaliber. Fasih berbahasa Belanda dan menguasai tata krama pergaulan sebagai pegawai khas Belanda. Namun, jiwanya tidaklah goyah. Beliau tetap berpikir sebagai seorang Aceh yang cinta tanah air, cinta akan bangsanya.

Dalam kapasitasnya sebagai pemimpin Aceh yang menduduki jabatan tinggi di pemerintahan kolonial ketika itu, beliau melakukan banyak hal yang membela kepentingan rakyat banyak. Tahun 1936, beliau yang bertanggung-jawab dan berinisiatif melobi Gubernur Aken untuk memperluas mesjid raya Baiturrahman. Dalam bidang pendidikan, beliau berinisiatif menggalang dana beasiswa untuk membiayai pendidikan putra-putra Aceh yang tidak mampu. Studi fond dibentuk bersama-sama tokoh pemimpin lainnya seperti Teuku Nyak Arif, dan lain-lain.

Beliau sangat dekat dengan Teuku Nyak Arif, tokoh Aceh yang sangat berjiwa nasionalis. Ketika Belanda berniat membuat kebijakan supaya bahasa Aceh dijadikan sebagai bahasa pengantar di sekolah, mereka menentangnya dengan keras. Teuku Muhammad Hasan dan Teuku Nyak Arif sadar betul bahwa putra-putra Aceh harus mampu berbahasa Melayu (Bahasa Indonesia sekarang) sebagai bahasa pergaulan. Dengan bahasa persatuan itu putra Aceh akan lebih mudah berkomunikasi dengan saudara-saudaranya di luarAceh dan mampu menggalang rasa persatuan dan rasa senasib sepenanggungan sebagai bangsa yang terjajah [3].

Hubungannya yang rapat dengan pemimpin Muhammadiyah telah membawa beliau sebagai konsul pertama Muhammadiyah di Aceh. Organisasi Islam yang bercorak nasionalis ini dengan mudah tumbuh di Aceh karena dilindungi oleh Teuku Muhammad Hasan. Tidak seperti di daerah lain di luar Aceh, yang justru sering mendapat hambatan dari pejabat pemerintah Belanda. Keterlibatan beliau sebagai konsul berlangsung cukup lama, dari tahun 1927 hingga 1937. Baru dilepasnya setelah beliau harus meninggalkan Kutaraja kembali ke kampung halaman untuk menjadi Uleebalang menggantikan posisi sang ayah yang telah berpulang di tahun 1938 [4].

Sebagai Uleebalang beliau memimpin dengan penuh kewibawaan. Rakyat sangat bangga dengan kepemimpinannya, karena beliau trampil dalam membangun negerinya. Beliau disapa dengan sebutan Ampon Chik, sebuah gelar yang penuh penghormatan. Tengku Muhammad Daud Beureu-eh pun menyebut beliau dengan sebutan itu.

Tahun 1942, Jepang mengambil alih pemerintahan Belanda. Teuku Muhamad Hasan termasuk tokoh yang diakui kapasitas kepemimpinannya oleh Jepang. Sehingga beliau ditunjuk menjadi Gunco (setingkat wedana) di Sigli. Namun beliau sangat benci Jepang. Karena Jepang hanya memperalat para pemimpin Aceh untuk kepentingannya. Jepang meminjam tangan Gunco untuk memobilisasi rakyat melaksanakan kerja-kerja untuk kepentingan perang Jepang. Sebagai pemimpin rakyat, mereka ditugaskan oleh Jepang untuk melakukan propaganda memuji-muji kehebatan Jepang kepada rakyat.

Suatu ketika Teuku Muhammad Hasan dan Teuku Nyak Arif ditunjuk oleh Jepang untuk memimpin perjalanan para pemimpin daerah dari Sumatera untuk berkunjung ke Jepang. Rombongan sebanyak 15 orang dari berbagai daerah di Sumatera, Tapanuli, Riau, Jambi, Bengkulu, Palembang dan Lampung. Maksud Jepang adalah untuk menunjukkan kehebatan Jepang dalam kekuatan mereka menghadapi Perang Asia Timur Raya. Namun sepulang dari sana, kedua pemimpin ini sama sekali tidak bersedia memuji-muji Jepang. Forum pidato publik yang telah dipersiapkan oleh Jepang menjadi hambar pada pertemuan pertama. Sehingga safari pidato yang direncanakan di seluruh Aceh batal dengan sendirinya [5].

Gambar 3 Rombongan pemimpin Sumatera berfoto di Singapura, Teuku Muhammad Hasan Geulumpang Payong duduk paling depan nomor 3 dari kiri

Sumber foto: Mardanas Safwan, Buku Pahlawan Nasional Teuku Nyak Arif, Balai Pustaka, 1992

Teuku Muhammad Hasan tidak pernah menyembunyikan rasa bencinya itu. Beliau dengan vulgar menunjukkan di depan publik rasa tidak senangnya kepada Jepang. Hal inilah yang menjadi sebab akhirnya beliau dibunuh dengan kejam oleh Jepang. Suatu hari di tahun 1943 beliau diinterogasi di Medan oleh Kempetai, badan intelijen Jepang. Setelah beberapa hari beliau dibebaskan dan bersiap untuk pulang kembali ke Aceh. Namun di setasiun kereta api beliau diculik, dan tidak pernah kembali [6].

Aceh kehilangan pemimpinnya dengan cara yang tragis. Kubur beliau akhirnya ditemukan bersama-sama dengan beberapa jasad lainnya yang terbunuh di masa yang sama di Berastagi. Belakangan komplek pekuburan itu harus digusur sehingga semua jasad dipindahkan ke pekuburan Ancol di Jakarta. Di sanalah beliau beristirahat dengan tenang. Di atas makamnya tertera tanggal mangkatnya 15 November 1943, hampir 77 tahun yang lalu [7].

Suatu saat Tengku Muhamad Daud Beureu-eh pernah berujar, seandainya Ampon Chik masih ada, mungkin Perang Cumbok tidak pernah terjadi. Seolah mengisyaratkan Teuku Muhammad Hasan memiliki kapasitas kewibawaan dalam menjembatani perseteruan yang sengit antara kaum uleebalang dengan kaum ulama.

Kini, apa yang sudah kita lakukan untuk mengenang jasa-jasa beliau? Pemerintah Aceh telah sedikit berbuat dengan menabalkan nama beliau sebagai salahsatu nama jalan utama di kota Banda Aceh. Nama Teuku Muhammad Hasan Geulumpang Payong telah diabadikan di sepanjang jalan yang membentang dari Simpang Jambo Tape hingga ke Simpang Surabaya. Namun sayangnya nama beliau diabadikan sebagai Hasan Dik, sebuah nama pendek atau sekedar nama panggilan beliau. Sepatutnya pemerintah Aceh menuliskannya secara lengkap untuk menghormati nuansa kewibawaan yang disandang oleh sosok beliau.

Suatu ketika dulu terdengar kabar bahwa nama beliau pernah diusulkan bersama-sama nama Teuku Nyak Arif sebagai Pahlawan Nasional ke pemerintah pusat. Teuku Nyak Arif berhasil diakui oleh pemerintah sebagai Pahlawan Nasional. Namun, nama Teuku Muhammad Hasan Geulumpang Payong belum. Padahal keduanya sama-sama berjiwa rakyat dan nasionalis yang tinggi. Semoga suatu hari nanti generasi muda Aceh semakin menyadari ketokohan seorang Teuku Muhammad Hasan Geulumpang Payong, dan berkenan mengusulkan kembali ke pemerintah pusat sebagai Pahlawan Nasional yang berasal dari Aceh.***

Banda Aceh, 24 Oktober 2021

DAFTAR PUSTAKA

1. Rusdi Sufi dkk, Teuku Hasan Dek: Profil Seorang Pejuang Aceh, Dinas Kebudayaan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2006

2. Hamka, Teuku Hassan Gloempang Pajong Consul Pertama Muhammadijah, Pandji Masjarakat, 1961

3. Mardanas Safwan, Pahlawan Nasional Teuku Nyak Arif, Balai Pustaka, 1992

4. Syamaun Gaharu, Mengenang Teuku Muhammad Hasan Glumpang Payong Pelopor Pendiri Muhammadiyah dan Taman Siswa di Aceh, Harian Waspada, 10 Maret 1984

4. Syamaun Gaharu, Mengenang Teuku Muhammad Hasan Glumpang Payong Pelopor Pendiri Muhammadiyah dan Taman Siswa di Aceh, Harian Waspada, 10 Maret 1984

5. Ramadhan KH dan Hamid Jabbar, Sjamaun Gaharu Cuplikan Perjuangan di Daerah Modal, Pustaka Sinar Harapan, 1995

6. Firdaus, Pertarungan Wacana Yang Berdarah, sinarpidie.co (https://sinarpidie.co/news/pertarungan-wacana-yang-berdarah/index.html)

7. Cut Putri Alyanur, Jurnalisme Warga: Seulanga dan Jeumpa, Penghuni Baru Makam Kehormatan Belanda, Serambi Indonesia, 26 Maret 2020

(https://aceh.tribunnews.com/2020/03/26/seulanga-dan-jeumpa-penghuni-baru-makam-kehormatan-belanda)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image