Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nadya Rahmalina

Hakikat Hartamu yang Bukan Hartamu

Bisnis | Monday, 20 Jun 2022, 20:37 WIB

Belum lama ini kita mendengar berita duka putra sulung Gubernur Jawa Barat, yakni Emmeril Kahn Mumtadz atau yang akrab disapa Eril wafat karena tenggelam di Sungai Aare, Bern, Swiss. Mungkin dari banyaknya pemberitaan yang kita dengar, adakalanya kita yang hakikatnya sedang menunggu antrian untuk menghadap-Nya, berpikir tentang apa yang kita kejar selama ini, rumah mewah kah? Mobil mewah yang tetap saja rodanya empat kah? Atau mungkin pintu lemari es berlapis emas? Silakan teman-teman menjawabnya dalam hati.

Source: Dokumen Pribadi

Pencapaian demi pencapaian, harta pertama hingga sekian, tuan tanah di daerah sini dengan yang sana, pada hakikatnya semua itu memang dijadikan impian bagi makhluk yang dititipi hawa nafsu ini. Lantas, benarkah setelah memperoleh itu semua, dapat dipastikan bahwa kita lah yang akan menikmatinya hingga puas?

Abu Dzar Al Ghifari ra, salah seorang sahabat yang masyhur dan dikenal ahli zuhud, menurut riwayat ia pun tidak pernah mengumpulkan harta juga tidak menyukai orang yang menumpuk harta. Menurutnya, hakikat pemilik harta tidak lain hanyalah takdir, ahli waris, dan yang terakhir diri sendiri. Mengutip buku “Himpunan Fadhilah Amal” karya Maulana Muhammad Zakariyya al-Kandahlawi Rahimahullah bahwa hakikat pemilik harta yang pertama ialah takdir. Ia begitu saja mengambil harta yang baik maupun yang buruk tanpa menunggu apapun. Maka jangan sampai takdir datang mengalahkan segalanya, sehingga harta yang kita miliki akan sia-sia.

Kedua, ahli waris yang menanti harta. Jika seseorang wafat, mereka akan mengambilnya dan bahkan banyak di antaranya menjadi sebab permusuhan satu sama lain. Dalam beberapa hari mereka akan berduka atas kepergianmu, namun setelah itu diam dan tidak mempertanyakanmu lagi. Sangat sedikit di antara mereka yang kemudian menyedekahkan hartanya lalu menghadiahkan pahalanya untukmu yang telah menjadi mayit.

Ketiga adalah dirimu sendiri. Jika dapat, jangan menjadi yang paling lemah di antara ketiganya, yakni usahakan semampu diri kita untuk menyimpan harta itu di akhirat.

Nabi SAW bersabda, “Orang selalu mengatakan, ‘Hartaku, hartaku.’ Padahal, hartanya hanyalah yang telah ia makan dan ia habiskan, yang telah ia pakai dan ia usangkan, atau yang telah ia gunakan di jalan Allah dan ia kumpulkan di tabungan untuk dirinya sendiri. Dan penggunaan untuk selain itu sebenarnya ia kumpulkan untuk orang lain.”

Juga dalam sabda Nabi SAW, “Siapakah di antara kalian yang lebih menyukai harta waris daripada hartanya sendiri? Sahut para sahabat ra, “Ya Rasulullah, siapakah yang lebih menyukai harta orang lain daripada hartanya sendiri?” Jawab Beliau, “Harta miliknya ialah harta yang telah ia infakkan dan yang kamu tinggalkan adalah milih ahli warismu.”

Dikatakan oleh Amr bin al-Haarits dalam hadist riwayat Al-Bukhari, tatkala Nabi Shallallahu alaihi wa sallam wafat, beliau tidak meninggalkan sekeping dirham pun juga sekeping dinar, tidak juga seorang budak lelaki dan budak wanita. Beliau tidak meninggalkan apa pun kecuali begolnya putih dan senjata beliau, serta sebidang tanah, seluruhnya Nabi sedekahkan (diwakafkan).

Semoga dengan tulisan singkat ini, semangat kita untuk mendapatkan hartaku yang betul-betul menjadi hartaku semakin besar. Kita tidak lagi mengumpulkan harta tanpa menjadikannya teman kita di akhirat kelak. Bahkan, tingkatan paling sempurna dalam menginfakkan harta ialah memberikan apa yang paling kita cintai seperti dalam firman Allah SWT : “Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebaktian (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang paling kamu cintai.” (Q.S. Ali Imran:92).

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image