Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Faizul Kirom

Penerapan prinsip Ultra Petita dalam Putusan Pidana

Politik | 2021-10-23 07:51:28

Ultra petita merupakan suatu prinsip yang menyatakan bahwa hakim menjatuhkan putusan keluar dari tuntutan atau melebihi tuntutan penuntut umum. Dalam konteks hukum pidana, penerapan ultra petita dalam putusan pengadilan masih menjadi perdebatan hingga saat ini. Ada yang menyatakan putusan ultra petita dilarang karena bertentangan dengan asas legalitas dan due process of law.

Bolehkah hakim menjatuhkan putusan yang ultra petita (melebihi apa yang dituntut)? Pasal 193 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) menyebutkan: “Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana kepadanya.”

M. Yahya Harahap menyebutkan ‘hakim dalam menjatuhkan berat ringannya hukuman pidana (strafmaat) yang akan dikenakan kepada terdakwa adalah bebas’. Undang-Undang memberi kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana antara hukuman minimum dan maksimum yang diancamkan dalam pasal pidana bersangkutan. Pasal 12 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) menegaskan hukuman pidana penjara selama waktu tertentu itu sekurang-kurangnya satu hari dan selama-lamanya lima belas tahun berturut-turut.

Ancaman pidana yang dimuat dalam perundang-undangan menunjukkan ketercelaan perbuatan yang dimanifestasikan dalam bentuk dan jumlah pidana yang diancamkan. Ancaman pidana yang tinggi menunjukkan ketercelaan yang tinggi dari perbuatan yang dilarang. Kebebasan dan Independensi Hakim dalam Memutus Perkara Sebuah penelitian yang dilaksanakan Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung (2015) juga menyimpulan KUHAP tidak mengatur bahwa putusan pemidanaan harus sesuai atau di bawah dari tuntutan Jaksa/Penuntut Umum. Dalam kasus tertentu dimana ditemukan fakta persidangan terdapat hal-hal yang memberatkan sehingga hakim memiliki keyakinan untuk menjatuhkan pidana lebih tinggi dari tuntutan jaksa, maka hukuman itu tidaklah melanggar hukum acara pidana.

Meskipun ada kebebasan dan independensi hakim dalam menjatuhkan putusan, bukan berarti tak ada batasan. Batasan-batasan dimaksud antara lain:

1. Tidak boleh melebihi ancaman maksimal pasal yang didakwakan. Misalnya, Pasal 156a KUHP memuat ancaman maksimal lima tahun. Maka hakim tidak boleh menjatuhkan pidana penjara lebih dari lima tahun kepada terdakwa. Tetapi hakim boleh menjatuhkan hukuman sama dengan atau lebih rendah dari lima tahun. Lihat misalnya putusan MA No. 1953 K/Pid/1988 tanggal 23 Januari 1993.

2. Tidak diperkenankan memberikan putusan pemidanaan yang jenis pidananya (strafsoort) tidak ada acuannya dalam KUHP,[5] atau peraturan pidana di luar KUHP.

3. Putusan pemidanaan itu harus memberikan pertimbangan yang cukup berdasarkan bukti. Dalam banyak putusan, antara lain putusan MA No. 202 K/Pid/1990 tanggal 30 Januari 1993, Mahkamah Agung menyatakan putusan yang kurang pertimbangan (onvoldoende gemotiveerd) dapat dibatalkan. Misalkan, pengadilan tinggi menambah hukum terdakwa lebih tinggi dari yang diputus hakim tingkat pertama tetapi kurang dipertimbangkan dan dijelaskan alasan menaikkan hukuman. Putusan yang demikian dapat dibatalkan.

Jika Hakim Menaikkan Hukuman Selain Pidana Penjara

Praktik pengadilan selama ini menunjukkan bukti bahwa hakim dapat menjatuhkan hukuman denda atau ganti rugi daripada yang dituntut oleh jaksa. Bahkan, sudah pernah terjadi dalam perkara korupsi, hakim memberikan hukuman tambahan sebagaimana dimaksud Pasal 10 KUHP berupa pencabutan hak politik meskipun jaksa tak memintanya dalam surat tuntutan. Sebaliknya, ada kalanya hakim tak mengabulkan permintaan jaksa agar hak politik terdakwa dicabut. Ini menunjukkan bahwa mengenai hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa sangat bergantung pada penilaian/keyakinan majelis hakim.

Dari penjelasan di atas dapat kami sampaikan bahwa sekalipun jaksa tidak menuntut suatu pasal, hakim tetap dapat menggunakannya sepanjang jaksa telah memasukkan pasal itu ke dalam surat dakwaan. Jika jaksa tak memasukkan pasal tersebut dalam surat dakwaan, tak ada pijakan hukum bagi hakim untuk menggunakan pasal itu menjerat terdakwa.

Tetapi hakim bukanlah sekadar corong undang-undang (la bouche de la loi). Hakim juga menjadi pemberi makna melalui penemuan hukum atau konstruksi hukum. Dalam menegakkan hukum, hakim harus berusaha membuat putusannya adil dan berkeadilan. Dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image