Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ainna Ashifatun Fitri

ISLAM NUSANTARA MENURUT PANDANGAN AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH

Agama | Tuesday, 19 Oct 2021, 16:21 WIB

Pada akhir – akhir ini banyak sekali pertanyaan yang menuai Islam Nusantara.Namun jawaban yang di dapati dirasa sangata kurang memuaskan,maka semoga dengan adanya artikel sederhana ini berupaya dapat memperjelas beberapa keraguan dan kesalahpahaman terkait wacana intelektual ini.Misalnya ada yang mengatakan bahwa Islam Nusantara itu “anti Arab” atau hanya berupa “Islam lokal” pada hakikatnya, dan bukan Islam universal. Ada malah yang menyebut akibat gagal-paham itu bahwa Islam Nusantara hanya proyek lain Nahdlatul Ulama (NU) dan para kiai yang ingin mengambil keuntungan politik di era kepresidenan Joko Widodo pada saat ini. Dengan memperhatikan beberapa kenyataan, termasuk arti penting wacana intelektual Islam Nusantara, tulisan ini berupaya melacak kembali tradisi Wali Songo di abad-abad 15 hingga 16 hingga ke jaringan ulama Jawi di negeri Arabia abad 19 dan awal abad 20, yang mengangkat tema Islam rahmatan lil ‘alamin. Sebagai proyek intelektual, yang punya perhatian langsung yang kontemporer dan kekinian, tapi punya juga kepekaan kesejarahan dengan masa lalu, Islam Nusantara sebetulnya bukanlah satu latihan intelektual yang ikut mode atau gaya - gayaan, yang bisa timbul tenggelam dalam waktu cepat, seperti musim mode fashion.Wacana Islam Nusantara lebih mendalam dari yang dibayangkan yakni ia adalah kerja – kerja intelektual yang pada hakekatnya mempunyai visi epistemologis yang tajam juga memiliki fungsi sejarah aktual dalam kenyataan kehidupan umat manusia kontemporer.Benar, Nusantara hingga kini menjadi korban kajian-kajian Islam (Islamic studies) maupun kajian-kajian ilmu-ilmu sosial, sebagaimana yang berkembang di Eropa dan Amerika pasca perang.Kajian – kajian ini mencakup Sejarah Nusantara,mendegrasi dan peradabannya dianggap lokal,mistis,tradisionalis yang mana kajian – kajian itu juga menmepatkan tema ke-Nusantaraan sebagai suatu yang bukan “Universal” justru hanya dianggap sebagai pemuasan eksotisasi busaya untuk pariwisata atau dalam bahasa modern kini biasa disebut “Kearifan lokal”.

Pada poin ini, kita perlu memahami bahwa untuk bisa mengenal Islam Nusantara dengan baik kita perlu mempertimbangkan segenap gambaran tentang Islam sebagaimana yang diracik secara epistemologis maupun yang diamalkan secara ideologis kultural oleh kaum Muslim Indonesia dalam beberapa generasi. Karena itu dalam konteks ini, tidaklah bermanfaat berbagai diskusi tentang Islam Nusantara, tanpa mengintegrasikan totalitas kenusantaraan dalam segenap aspek budaya, ekonomi, sosial dan politik itu. Proyek keilmuan membangun Islam Nusantara sebagai obyek kajian ilmiah yang dipelajari dan diajarkan ke dunia, dimulai dari menulis Islam pada level ilmiah-rasional, pada level tadwin, yakni pada level pembakuan dan pengumpulan bahan- bahan dokumentasi keilmuan ke dalam dunia tulis-menulis. Itu terjadi ketika Pasai di Aceh abad 12-13 mulai muncul sebagai pelaku tadwin itu. Sebelum itu, tidak ada yang bisa dipegangi tentang kegiatan pengislaman di kepulauan Indonesia dan sekitarnya. Ia masih kabur, lebih berbasis tradisi lisan, dan belum dikenal adanya bukti-bukti peradaban, seperti aksara ataupun tulisan. Nah baru di Pasai-lah kita bisa berbicara tentang proses Islamisasi secara ilmiah, sebuah tradisi ―alim‖ (learned), karena sudah terbentuk satu bukti peradaban unggulan, yakni adanya aksara dan bukti kegiatan tulismenulis. Salah satu bukti itu yang sampai kepada kita hingga kini adalah teks Hikayat Raja-raja Pasai dari abad 14. Sekali peristiwa pada zaman Nabi Muhammad Rasulullah SAW tatkala lagi hayat hadirat yang mulia itu. Maka bersabda ia pada sahabat bagindah di Mekah. Demikian sabda baginda: bahwa ada sepeninggalku wafat itu ada sebuah negeri di Bawah Angin yang dikenal Samudra. Apabila ada didengar khabar negeri itu maka kamu suruh sebuah kapal membawah perkakas alat kerajaan dan kamu bawah ia orang dalam negeri.( Hikayat Raja-raja Pasai (BL Or 14350), 52v).

Benarkah Rasulullah SAW. sudah kenal Nusantara kita? Jangan diragukan, junjungan kita dan orang-orang Arab masa itu sudah mengenal dunia di belahan timur hingga ke Cina. Sebelum kedatangan agama Islam, para pedagang Arab sudah lalu-lalang di antara negerinegeri dari India ke Cina. Mereka mengenal produk-produk unggulan negeri Sumatera, seperti kapur barus (camphor) atau kafur dalam bahasa orang Arab. Nama kafur sendiri disebut dalam alQuran. Jadi tidak masuk akal kitab suci umat Islam itu memberikan info soal satu barang penting tanpa dikenal dan belum menjadi familiar di kalangan orang Arab sendiri. Termasuk tempat asal barang ini dihasilkan (al-Attas; Hal. 2-3).Islam sudah hadir di Nusantara dari masa-masa awal, mungkin sejak masa kekhalifahan Usman bin Affan. Terbukti terjalinnya hubungan diplomatik dengan Kerajaan Cina di masa khalifah ketiga umat Isam itu. Artinya, kontak-kontak budaya, agama maupun dagang antara umat Islam generasi awal dengan penduduk Nusantara terjadi, minimal di daerah-daerah yang dilalui utusan Khalifah Usman itu ke perairan Cina. Tidak dipungkiri adanya orang Indonesia yang sudah memeluk agama yang baru yang dibawa orang Arab itu.Dari hal tersebut dapat diambil 2 makna pertama, inilah untuk pertama kalinya wilayah Nusantara diangkat sebagai bagian dari pusat Islam. Ia bukanlah sesuatu yang marjinal atau pinggiran, dalam proses Islamisasi antara abad 11- 12. Kalau disebut bagian dari pusat Islam, itu berarti bagian dari otoritas keislaman itu sendiri, bukan sesuatu yang menyimpang Dengan kata lain, suara dan aspirasi keNusantara-an mulai mendapat tempat strategis dalam wacana keislaman yang otentik. Orang- orang Nusantara bukanlah manusia pasif yang bisa menerima apa saja dari luar tanpa pengolahan dan adaptasi.

Dari sini dapat simpulkan bahwa kesatuan keIslaman dan kenusantaraan (disingkat Islam Nusantara) adalah hasil konstruksi dua lapis para ulama terutama dalam pandangan Ahlussunnah Wal Jamaah.Pertama, ada pengakuan akan jasa para keluarga ahlul bait keturunan Rasulullah SAW,terutama para ulama sayid atau keturunan Sayidina al-Husain bin Abi Thalib dalam pengislaman Nusantara. Kedua, ada juga pengakuan bahwa kita juga bisa bersuara dan berkontribusi positif bagi proses pengislaman itu, dengan mengangkat suara- suara “kekitaan” kita. Di satu sisi ada pengakuan bahwa keberislaman orang Nusantara adalah berkat jasa para ulama Wali Songo keturunan Rasulullah SAW,namun di sisi lain, mereka juga bernegosiasi bagaimana suara-suara kenusantaraan kita juga terangkat. Strategi dua lapis itu kemudian dituangkan dalam teks-teks Islam Nusantara untuk menggambarkan kesatuan keislaman dan kenusantaraan itu.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image