Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Anta Ibnul Falah

Kenapa Dana Haji Dikelola/Di-tasharruf-kan?

Lomba | Tuesday, 19 Oct 2021, 11:15 WIB
Jamaah Haji Indonesia (Google/2021)

Haji sebagai rukun Islam yang ke-5, ternyata pengelolaannya bisa menjadi “komoditas informasi” yang dapat digunakan sebagai “alat” politik oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, mengingat potensi massa dimana jumlah antrian haji Indonesia yang mencapai lebih dari 5 juta. Apalagi dengan ditutupnya ibadah haji selama dua tahun berturut-turut oleh Arab Saudi, dapat menjadi “bumbu” tambahan bagi pihak-pihak ini untuk melancarkan aksinya.

Lalu apa benar dana haji itu perlu dikelola/di-tasharruf-kan? Apa tidak sebaiknya disimpan saja? Pertanyaan seperti ini sering muncul di benak masyarakat umum, atau paling kurang berdasarkan pengalaman di lingkungan sekitar saya, sering ditemui ungkapan yang “menyudutkan” pemerintah dalam pengelolaan dana haji. Saya memandang hal ini tidak terlepas dari informasi yang salah/tidak lengkap yang diterima oleh masyarakat. Hal ini cukup dapat dipahami karena di era digital ini, informasi merupakan “harta karun” baru yang menjadi media persaingan antar pihak, dan barang siapa menguasai informasi, maka dia menguasai masyarakat. Oleh sebab itu, dalam pengelolaan dana haji, perlu usaha yang serius dalam penanganan informasi yang salah, agar kepercayaan publik dapat dipertahankan.

Salah satu bentuk kesalahan informasi yang baru-baru ini menyeruak yakni berkembangnya isu bahwa dana haji telah habis untuk membiayai infrastruktur dan membayar utang pemerintah, yang karenanya mengakibatkan pada tahun 2021 tidak bisa memenuhi biaya akomodasi keberangkatan haji. Padahal kenyataannya tidak demikian, dimana pada tahun 2021 ini memang Arab Saudi kembali menutup akses ibadah haji dari negara manapun sebagai dampak dari pandemi Covid-19. Adapun berdasarkan laporan keuangan Badan Pengelola Dana Haji (BPKH) teraudit/audited tahun 2020, dana yang siap dipakai (yang ditempatkan pada bank) pada akhir 2020 mencapai 45,3 T, dimana jika dibagi Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 2019 sebesar 14,4 T, maka rasio likuiditasnya adalah 3,1 kali. Bahkan apabila merujuk pada laporan keuangan BPKH semester I 2021 dimana dana penempatannya mencapai 57,5 T, maka rasio likuiditasnya adalah 3,98 kali. Artinya, jangankan untuk sekali pemberangkatan, andaikan kuota haji Indonesia dikalikan 3 sekalipun, masih sangat memungkinkan untuk pemberangkatan jamaah haji. Rasio likuiditas ini juga menjadi concern pemerintah, dimana sesuai Undang-Undang No.34 tahun 2014 nilainya dibatasi minimal 2 kali.

Kaitannya dengan likuiditas ini, mungkin kita bertanya “Kenapa dana haji tidak disimpan saja supaya rasio likuiditasnya maksimal? Kenapa ada yang diinvestasikan?” Kita perlu memahami bahwa keseluruhan komponen biaya haji ternyata tidak serta-merta semuanya ditanggung oleh jamaah yang berangkat. Kita ambil contoh di tahun 2019, biaya riil per-jamaah haji reguler sebenarnya adalah sekitar 70,1 juta, tetapi biaya yang dibebankan kepada jamaah hanya sekitar 35,2 juta saja, sedangkan sisanya sekitar 34,9 juta merupakan biaya yang diperoleh dari optimalisasi setoran BPIH reguler.

Pembiayaan Haji 2019 (Kompasiana/2020)

Optimalisasi disini diantaranya diperoleh dari nilai manfaat investasi dan penempatan pada Bank Syariah, dimana masing-masing menghasilkan 4,39 T dan 2,38 T, dengan total semuanya 7,37 T. Jadi, dana sekitar 7 T inilah yang disubsidikan kepada para jamaah dari total kebutuhan BPIH 2019 senilai 14,4 T. Bayangkan jika tidak ada mekanisme seperti ini, maka mungkin akan sangat memberatkan jamaah bukan?

Lalu kaitannya dengan pengelolaan dana yang besar tersebut, mungkin kita bertanya “Apakah BPKH ini cukup profesional? Apakah tidak banyak biaya operasionalnya?” Tentu BPKH melakukan tugasnya dengan profesional, dimana dalam menjalankan tugas BPKH telah tersertifikasi ISO 9001:2015 (sertifikasi Sistem Manajemen Mutu) dan ISO 37001:2016 (Sistem Manajemen Anti penyuapan). Sedangkan apabila mengambil data 2019, maka beban operasional BPKH yakni 149,9 M, dimana nilai ini hanya 2% dari total nilai manfaat 7,37 T yang diperoleh. Beban operasional ini sendiri juga menjadi concern pemerintah, dimana sesuai Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2018 besarnya dibatasi maksimal 5% dari total nilai manfaat yang diperoleh. Profesionalitas operasi keuangan ini juga dibuktikan dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selama tiga tahun berturut-turut sejak BPKH menyusun laporan keuangan tahun 2018.

Kemudian kaitannya dengan pengelolaan dana ini, seringkali ada pertanyaan “Apakah pengelolaan ini sah secara syar’i?” Kita tahu, pendaftar haji pada saat pertama kali menyetor BPIH, mengisi dan menandatangani formulir akad wakalah, dimana dengan akad ini dana haji yang disetor menjadi sah untuk di-tasharruf-kan oleh wakilnya, BPKH. Tentunya langkah-langkah pengelolaan dana haji oleh BPKH ini tidak sembarangan, dimana ada prinsip syariah, kehati-hatian, manfaat, nirlaba, transparan, dan akuntabel sesuai amanah Undang-Undang. Lebih lanjut, sesuai Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia IV Tahun 2012, bahwa dana setoran BPIH jamaah yang termasuk daftar tunggu, boleh di-tasharruf-kan untuk hal-hal yang produktif seperti penempatan di perbankan syariah atau diinvestasikan dalam bentuk sukuk, dan hasil atas penempatan/investasi tersebut merupakan milik jamaah yang termasuk dalam daftar tunggu dan dipergunakan antara lain sebagai penambah dana simpanan calon haji atau pengurang biaya riil haji, dan pengelolanya berhak mendapatkan imbalan yang wajar/tidak berlebihan (MUI,2021).

Bagaimana strategi BPKH dalam persaingan informasi ini? Tentunya BPKH tidak bisa berjalan sendiri. Sebagai warga negara yang baik, kita bisa ikut aktif menjadi agen yang meluruskan informasi yang salah dengan data yang bisa dipertanggungjawabkan, serta berkontribusi juga memberikan masukan kepada BPKH melalui jalur formal surat resmi maupun informal seperti media sosial.

#BPKHWritingCompetition

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image