Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image saman saefudin

Selembut Itukah Perangaimu?

Agama | Tuesday, 19 Oct 2021, 10:54 WIB
Sumber gambar: https://i.pinimg.com/originals/13/09/f2/1309f223c7646db1d49ca6e86c8a9a92.png

MARI membayangkan kita pulang ke rumah dengan kondisi perut kosong, tetapi di meja makan tidak ada sesuatu yang bisa dimakan. Padahal, mungkin Anda baru pulang kerja, saat lapar dan lelah bergumul jadi satu. Lantas, marahkah Anda?

Jamaknya suami tentu akan marah dalam situasi ini. Atau paling tidak mengelus dada. Dan umumnya orang juga menganggap reaksi marah atau kecewa sebagai sesuatu yang normal. Kalau reaksinya biasa saja, justru Anda bisa saja dicap kurang normal atau dirundung sebagai anggota komunitas ikatan suami takut istri.

Tetapi tidak dengan lelaki yang satu ini. Suatu pagi ia pulang dari masjid dan menanyakan sesuatu yang bisa dimakan. Tetapi sang istri menjawab apa adanya: tidak ada sesuatu yang bisa dimakan. Meski perutnya lapar, sang suami malah tersenyum mendengar jawaban istrinya. “Kalau begitu, biarkan aku berpuasa saja”.

Agh, mungkin dia mood-nya sedang bagus. Begitu mungkin tanggapan Anda. Tetapi Anda keliru, karena itu tidak terjadi satu dua kali, sering bahkan. Pernah juga lelaki ini pulang ke rumah bersama seorang sahabatnya, ia pun meminta istrinya memasak sesuatu yang lezat untuk tamunya. Ketika menu itu dihidangkan, ia tak selera karena tidak pernah memakannya. Tetapi laki-laki ini tak marah, ia menghargai tamunya yang sedang lahap menyantap. Pun menjaga perasaan istrinya yang telah memasak.

Wah, kalau ada suami sesabar itu, apa jadinya rumah tangga? Kalau laki-laki seramah dan semurah itu perangainya terhadap perempuannya, istrinya bisa melunjak. Dia bisa diremehkan, direndahkan harga dirinya sebagai suami. Nah, Anda keliru besar. Karena alih-alih superior, istrinya justru semakin menunduk hormat pada kehalusan budi sang suami.

“Mana ada suami model begitu, mungkin hanya ada di novel. Lelaki itu ditakdirkan untuk memimpin, ia harus berwatak superior, penakluk. Sekali dia menunjukkan dirinya lemah, habis sudah, perempuan akan mendominasinya, menguasainya. Masyarakat juga pasti akan mencibirnya, menganggapnya sebagai laki-laki lemah dan tak berdaya,” begitu mungkin kilahmu.

Kalian keliru lagi, suami ini bukanlah laki-laki biasa. Ia pemimpin besar dengan perangai yang agung. Ia besar bukan karena merendahkan orang lain, tetapi justru mahir membesarkan hati orang-orang yang kecil hati, orang-orang yang terpinggirkan dari arus kuasa.

Suatu hari ia pulang dari perjalanan jauhnya. Belum sampai ke rumah, ia menghampiri seorang pekerja kasar. Sosok lelaki berumur yang tengah memecah batu-batu besar menjadi kecil-kecil. Keringatnya bercucuran karena teriknya. Kulitnya hitam mengkilap. Telapak tangannya tampak kasar, ada kapal dan sebagian melepuh.

“Kenapa tanganmu sampai kasar begitu, sampai melepuh,”

Sang pemecah batu pun merunduk malu. “Ya beginilah kondisiku, setiap hari aku harus memecahkan batu-batu besar ini menjadi kecil-kecil untuk aku jual ke pasar”.

“Lalu, uangnya kau gunakan untuk apa?”

“Uangnya aku bawa pulang untuk makan anak dan istriku. Hanya ini yang bisa kulakukan untuk menafkahi keluargaku,” jawabnya.

Tidak lama, lelaki ini menjabat erat tangan si pemecah batu. Dia angkat dan kecup punggung tangannya kasar dan legam dengan penuh takdzim, sambil berbisik: “Tangan-tangan seperti inilah yang diharamkan tersentuh apa neraka!”.

Tahukah kau siapa lelaki agung ini? Seorang suami yang kau sebut lemah di hadapan istrinya, terlalu pemurah dan ramah. Lelaki yang terbiasa menahan lapar saat tak ada makanan untuk dimakan. Lalaki yang terusir dari tlatah kelahirannya, tetapi memilih memaafkan saat kemenangan justru telah dalam genggamannya. Lelaki yang diteriaki gila orang sekampung saat hendak meminta suaka. Kakinya luka, pelipisnya pecah, mengalirlah darah segarnya. Tetapi saat kesempatan menghancurkan kampung itu datang, ia memilih memafkannya.

Ya, dialah makhluk terbaik di jagad raya. Makhluk terindah yang pernah dilahirkan semesta, disambut suka cita dengan riuh asyiknya.. Seorang pemimpin agung yang di jelang ajalnya masih memikirkan kita; ummati, ummati, ummati.

Sekarang, letakkan telapak tanganmu tepat di dada. Tarik nafas panjang, lantas pejamkan mata. Mari bershalawat untuknya: Allahumma shalli ala Muhammad. []

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image