Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Budi Sarjono

Sekeranjang Nasi Bungkus Itu (True Story

Curhat | Tuesday, 19 Oct 2021, 02:37 WIB

Di satu sudut salah satu pasar di Kabupaten Sleman, Yogyakarta terlihat lagi sesosok bocah kecil membawa keranjang putih bekas kemasan buah klengkeng.

Keranjang yang ditopang dengan bilahan kayu kecil agar tetap simetris tersebut digunakan untuk membawa nasi bungkus. Bocah kecil tersebut, dengan suara khas anak kecil menawarkan nasi bungkus kepada orang-orang yang ia jumpai.

"Pak, bu... mari beli nasi lauk sambel belut atau nasi oseng-oseng terong atau tempe...cukup dengan dua ribu rupiah saja...." seru bocah kecil itu.

Mendengar ada suara dari anak kecil menawarkan dagangan, Bang Jarwo segera menoleh ke arah suara tersebut.

Terlihat sosok bocah kecil berkerudung lusuh terlihat kepayahan membawa nasi bungkus yang memenuhi keranjangnya, Bang Jarwo segera menyahut spontan.

"Ya, sini saya beli." sahut Bang Jarwo.

"Ya, Pak!" jawab bocah kecil tersebut.

Sambil mengambil nasi bungkus, Bang Jarwo mencoba tanya kepada bocah kecil tersebut.

"Kamu terlihat masih kecil, apakah tidak sekolah?" tanya Bang Jarwo.

"Masih sekolah kelas 5 sekolah dasar." jawabnya.

Bang Jarwo agak terperanjat mendengar jawaban tersebut dan seketika teringat dengan salah satu anaknya yang juga sama-sama kelas 5.

"Bersama siapa kamu jualan? tanya Bang Jarwo

"Bersama dengan kakek saya." jawabnya.

"Rumahmu di mana?" tanya Bang Jarwo kembali

"Patalan, Jetis, Bantul." jawabnya pelan.

"Ooohh jauh sekali (dalam hitungan map, jarak antara rumah dan bocah kecil tersebut jualan sekitar 19,3 km) jaraknya." kata Bang Jarwo.

"Naik apa ke sini?" tanya Bang Jarwo.

"Sepeda motor kecil." jawabnya.

"Lalu, ayahmu ke mana?" tanya Bang Jarwo.

Dengan raut wajah yang terlihat berubah agak sedih, bocah tersebut berkata bahwa ayahnya sudah meninggal dunia.

"Ayahku...sudah meninggal." jawab bocah itu lirih tanpa menyebut kapan meninggalnya.

"Kalau ibumu?" tanya Bang Jarwo kembali.

Dengan terlihat raut wajahnya yang semakin sedih bocah itu menjawab bahwa ibunya tidak bisa ke mana-mana lantaran kakinya lumpuh.

"Ibuku hanya di rumah saja dan tidak bisa berjalan ke mana-mana sebab ke dua kakinya lumpuh." jawabnya memelas.

Mendengar jawaban-jawaban dari bocah kecil tersebut orang-orang yang berada disekitarnya menjadi merasa iba dan ada seseorang yang terlihat mengusap matanya karena ada air mata yang mulai menetes.

□□{Nak, jaga dirimu baik-baik, jaga mental juangmu, jaga terus hingga hayat masih dikandung badan. Walau dengan keadaan seperti itu, engkau tidak mau mengharap belas kasihan orang lain dengan menjadi peminta-minta.

Lekatkan terus mental pejuang dalam sanubarimu saat hayat masih dikandung badan.

Teruslah menjaga semangat pejuang yang pantang menyerah walau pada saat yang sama ada oknum entah banyak atau sedikit jumlahnya yang tiada risih meminta-minta jabatan, yang tiada malu menari di atas mayat rakyatnya, yang suka menebar janji yang tak pasti, yang arogan berkata kepada rakyatnya, yang tuna tanggung-jawab atas nyawa rakyat yang dihilangkannya, yang tega menyerahkan aset sumber daya alam yang bukan milik kakek-neneknya kepada asing, yang suka-suka mencari dan berburu rente, yang tega memalak kepada rakyatnya, yang tega menggadaikan kedaulatan negerinya dengan terus-menerus meningkatkan utangnya kepada negara asing, dan...entah apa lagi.}□□

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image