Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Anis Rahayu

Bidadari Surga Seorang Pendidik Aisyah radhiallahuanha

Agama | 2022-06-13 19:11:47

Saat ini kita hidup di zaman yang serba canggih, mulai dari alat komunikasi, transportasi hingga media informasi, massa semakin berkembang pesat, dunia semakin dekat dengan berbagai transformasinya.

Sumber Gambar: https://www.pinterest.com/pin/794040978053091857/

Apalagi dua tahun yang lalu setelah terjadinya masa pandemi, semua kehidupan berjalan dengan teknologi yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya, penerapan new normal semakin kental dengan dukungan dan fasilitas yang memadai.

Ketika sekolah ditutup dan kegiatan belajar mengajar dialihkan dari tatap muka menjadi jarak jauh (online), menyebabkan banyak terjadinya masalah dalam bidang pendidikan salah satunya adalah orang tua yang tidak mampu mendidik anaknya dengan baik selama di rumah. Masalah tersebut menjadi keluhan besar bagi banyak orang tua, karena kewalahan dalam mengolah emosinya ketika menghadapi anaknya dalam belajar, serta penerapan pola asuh yang salah menyebabkan stres bahkan bisa terjadi depresi pada anak.

Maka dari itu, kita sebagai wanita harus mampu mendidik, mengasuh, mengayomi atau menuntun anak-anak dengan cara yang baik, akhlak yang mulia serta harus menjadi teladan yang patut untuk ditiru. Apalagi jika seorang wanita itu adalah sosok Ibu, sudah sepatutnya ia menjadi figur pertama yang pertama kali anaknya lihat, jadi tidak ada salahnya apabila seorang wanita mengenyam pendidikan yang tinggi karena pendidikan tersebut dapat menjadi bekal untuknya dimasa depan nanti, baik dalam keluarganya, masyarakat atau bahkan dalam profesinya kelak.

Dari sini kita harus mulai membekali diri dengan banyak belajar, baik itu belajar tentang ilmu syariah, ilmu umum, tentang psikolog anak, tentang parenting atau sebagainya. Karena masa depan anak kita ditentukan oleh orang tuanya sendiri, emosinya diolah dari pola asuh dalam keluarganya dan karakternya dibentuk dari tanggapan orang tua ketika menghadapi anaknya saat mengalami masalah. Kalian sudah tidak asing lagi dengan pepatah yang mengatakan “buah jatuh tak jauh dari pohonnya”. Begitupun seorang anak dengan ibunya.

Tak perlu jauh-jauh mencari contoh real di lapangan tentang pola asuh anak yang baik serta hasilnya yang memuaskan yang sangat patut untuk kita teladani.

Sebut saja Aisyah binti Abu Bakar ash-Shiddiq yang menjadi ummul mu’minin dari zaman ke zaman yang namanya tak pernah padam hingga saat ini, siapa yang tidak mengenalnya? Pasti setiap orang yang mendengar namanya akan langsung terbersit bahwa beliau adalah wanita yang cantik, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berintelektual tinggi, ingatan yang kuat serta kepribadian lainnya yang sangat istimewa dan dikagumi banyak kalangan hingga zaman ini. Tahukah kalian siapa dibalik semua keistimewaannya itu, siapa yang mendidiknya hingga menjadi wanita paling Rasulullah cintai setelah Khadijah?

Ummu Ruman, beliau adalah ibu dari Aisyah radhiallahu ‘anha.

Nama aslinya adalah Zainab binti Amir bin Uwaimir bin Abdi Syams bin Iqab bin Udzainah bin Sabi’ bin Duhman bin al-Harits bin Ghanm bin Malik bin Kinanah. Namun, ia lebih dikenal dengan panggilan Ummu Ruman, beliau adalah seorang wanita dari Bani Firas bin Ghinam.

Ummu Ruman tumbuh besar di sebuah daerah di Jazirah Arab, tepatnya di daerah As-Sarrah. Sejak zaman jahiliyah, ia dikenal sebagai seorang wanita yang memiliki adab mulia dan fasih bahasanya. Sebelum menikah dengan Abu Bakar, ia menikah dengan seorang pemuda yang mulia yang merupakan seorang tokoh di tengah kaumnya. Namanya Al-Harits bin Sakhirah al-Azdi, darinya ia melahirkan seorang anak yang bernama Ath-Thufail. Suaminya sangat ingin tinggal di Mekah, ibu kota bangsa Arab. Dan kota suci yang telah dikenal sejak zaman nenek moyang mereka Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Merekapun memutuskan untuk mukim di kota mulia itu.

Saat di Mekah, Al-Harits bin Sakhirah menjalin kedekatan dengan Abu Bakar. Tak lama setelah al-Harits wafat, Abu Bakar menikahi Ummu Ruman sebagai bentuk penghormatan terhadap sahabatnya itu. Karena dengan pernikahan itulah, istri sahabatnya ini ada yang menanggung dan melindunginya, dari pernikahannya dengan Abu Bakar ash-Shiddiq Ummu Ruman melahirkan dua orang anak, yaitu Aisyah dan Abdurrahman.

Saat suaminya menjadi pemeluk Islam pertama kali, Ummu Ruman langsung menyatakan ikrarnya dengan masuk Islam. Ia termasuk salah satu golongan Assabiqunal Awwalun dalam sebuah hadits, Aisyah radhiallahu ‘anha menceritakan, "Aku dahulu tidak mengetahui apa-apa tentang kedua orang tuaku, kecuali keduanya memeluk satu agama. Setiap hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang mengunjungi kami pada pagi dan petang hari. Ketika kami sedang duduk-duduk di rumah Abu Bakar pada siang hari, seseorang berkata, 'Ini Rasulullah datang tidak pada waktu biasanya.' Abu Bakar lantas berkata, ‘Beliau tidak datang pada waktu ini kecuali ada sesuatu yang terjadi.’ Rasulullah bersabda, ‘Aku sudah diizinkan untuk berhijrah’.”

Dari cerita Aisyah tersebut kita bisa memetik pelajaran bahwa agama seorang anak tergantung orang tuanya, apakah ia akan memajusikannya, menasranikannya atau mengislamkannya. Maka peran orang tua dalam masalah ini sangat berpengaruh besar untuk membentuk tahuid, keyakinan serta pondasi agama seorang anak. Dari Ummu Ruman kita belajar bahwa mendidik anak harus dengan agama yang lurus, tauhid yang haq, sehingga ketika anak besar nanti ia tegak dalam keyakinan agamanya dan tidak tergiur untuk masuk agama lain, serta yang ia ketahui hanyalah islam agama yang haq di muka bumi ini.

Selain itu, Ummu Ruman merupakan wanita yang paling bahagia karena manusia terbaik dalam sejarah meminang putrinya. Rasul paling utama dari semua rasul menjadi menantunya dan namanya tercatat dalam kisah pernikahan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Aisyah radhiallahu ‘anha.

Aisyah radhiallahu ‘anha berkata, “Aku dinikahi oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam saat aku berusia 6 tahun. Lalu kami datang ke Madinah, dan kami tinggal di Bani Harits bin Khazraj. Lalu aku menderita sakit sehingga rambutku rontok kemudian banyak lagi. Lalu ibuku, Ummu Ruman, mendatangiku saat aku berada di ayunan bersama teman-temanku. Lalu dia memanggilku, maka aku mendatanginya, aku tidak tahu apa yang dia inginkan. Maka dia mengajakku hingga aku tiba di depan pintu sebuah rumah. Aku sempat merasa khawatir, namun akhirnya jiwaku tenang. Kemudian ibuku mengambil sedikit air dan mengusapkannya ke wajah dan kepalaku. Kemudian dia mengajakku masuk ke rumah tersebut. Ternyata di dalamnya terdapat beberapa orang wanita kaum Anshar. Mereka berkata, “Selamat dan barokah, selamat dengan kebaikan.” Lalu ibuku menyerahkanku kepada mereka dan kemudian mereka mulai merapikan aku. Tidak ada yang mengagetkan aku kecuali kedatangan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada waktu Dhuha. Kemudian ibuku menyerahkan aku kepadanya dan ketika itu aku berusia 9 tahun.” (HR. Bukhari, no. 3894, Muslim, no. 1422)

Dari kisah diatas kita bisa melihat bahwa betapa perhatiannya seorang ibu pada putrinya, mengurusnya dengan penuh kasih, mengantarkannya sampai pada gerbang pernikahan saat usianya masih sangat belia. Karakter Aisyah yang dewasa, cerdas serta penurut merupakan hasil didikan dari Ummu Ruman.

Selain itu, ada kisah menarik yang bisa kita ambil pelajarannya dari peristiwa besar yang terjadi pada Aisyah, yaitu saat beliau difitnah bahwa dirinya selingkuh dan berzina. Dalam sirah nabi, peristiwa ini dikenal dengan haditsul ifki.

Fitnah besar ini sempat membuat rumah tangga Rasulullah dengan Aisyah geger serta Aisyah sangat terpukul dengan fitnah ini.

Di saat-saat berat seperti ini sang Ibu Ummu Ruman hadir menyertai putrinya. Ummu Ruman radhiallahu ‘anha bercerita tentang kisah fitnah tersebut. Katanya, “Saat aku sedang duduk bersama Aisyah, tiba-tiba seorang wanita Anshar masuk menemui kami. Ia berkata, ‘Semoga Allah melakukan demikian dan demikian terhadap si Fulan’. Aku berkata, ‘Kenapa memangnya’? Ia menjawab, ‘Ia menceritakan suatu kejadian’. ‘Kejadian apa’? tanya Aisyah. Wanita itu pun menceritakannya. Aisyah menanggapi ceritanya dengan bertanya, ‘Apakah Abu Bakar dan Rasulullah telah mendengar berita itu’? ‘Iya’, jawabnya. Aisyah pun pingsan dan saat bangun ia dalam kondisi demam serta wajahnya pucat.

Lalu Rasulullah datang. Beliau bertanya “Ada apa dengannya? ‘Ia demam karena mendengar berita yang beredar’, jawabku. Aisyah duduk dan berkata, ‘Demi Allah, seandainya aku bersumpah dia tak akan membenarkanku. Kalau aku memberikan alasan, tentu ia tak akan menerimanya. Kondisiku saat itu sama seperti kondisi Ya’qub dengan anak-anaknya. Hanyalah Allah tempat mengadu atas apa yang mereka tuduhkan.”

Setelah berlalu beberapa hari. Allah menurunkan firman-Nya untuk membela Aisyah. Nabi mengabarkan tentang ayat Alquran yang turun tersebut kepada Aisyah. Aisyah berkata, ‘Segala puji hanya untuk Allah. Tidak untuk siapapun (Shahih al-Bukhari: Juz 3, Hal: 1239).

Inilah kisah sang ibu yang menemani dan merekam kejadian-kejadian berat saat putrinya tertimpa ujian besar, ia berada di sampingnya. Walaupun tak berucap banyak karena tak berani mendahului Allah dan Rasul-Nya. Beginilah seharusnya seorang ibu, selain menjadi suri teladan bagi anaknya, sosok ibu harus bisa hadir menjadi tempat curhat dan memberi kesan hadir pada putrinya. Agar sang putri yang tengah bersedih karena ujian berat, tengah galau dan bingung, merasakan ibunya tetap berada di sisinya. Hingga jalan keluar itu turun dari langit. Dan kita bisa melihat ikatan antara anak dengan ibunya, betapa dekatnya mereka meskipun sang putri sudah memiliki kehidupan rumah tangganya.

Tentang wafatnya Ummu Ruman; sejarawan berbeda pendapat tentang kapan wafatnya Ummu Ruman. Ada yang menyatakan ia wafat tahun 6 H. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang memakamkannya dan memohonkan ampunan untuknya. Belia bersabda, “Siapa yang ingin melihat salah seorang bidadari surga, maka lihatlah Ummu Ruman.”

Sekian kisah singkat tentang seorang bidadari surga yang Rasulullah sebutkan, banyak sekali pelajaran yang bisa kita ambil dari cara mendidiknya dengan berbagai kelembutan, kasih sayang serta kebijakannya dalam mengasuh Aisyah radhiallahu ‘anha.

Sebagai seorang muslimah kita sangat diharapkan untuk mampu berperan dalam membangun peradaban umat, meneruskan pendidikan yang didasari dengan tauhid serta memperbaiki akhlak umat. Para ulama pernah berkata bahwa pilar kebaikan suatu umat atau suatu bangsa diletakkan pada wanita. Dan ada yang mengatakan wanita adalah tiang negara, apabila wanita baik maka negara itu pun akan baik dan apabila wanitanya rusak maka negarapun akan rusak. Jadi, barang siapa yang ingin merusak suatu bangsa, maka rusaklah wanitanya. Dari itu kita mengetahui bahwa wanita sangat beraharga dimata dunia dan agama, selain merupakan perhiasan dunia, ia juga sumber peradaban sepanjang zaman. Imam Al-Ghazali pernah berkata didiklah anakmu dua puluh lima tahun sebelum ia dilahirkan, artinya didiklah diri kita sehingga memiliki aqidah yang kokoh dan senantiasa beribada kepada Allah serta berakhakul karimah yang hatinya senantiasa terpaut dengan Al-qur’an.

Sumber: https://islamstory.com/ar/artical/22085/أم_رومان, diakses pada 03 Maret 2022 Pukul 15:20 WIB

Di bumi persegi dengan riuhnya isi kepala.

*Mahasiswi Angkatan III Prodi KPI STIBA Ar Raayah Sukabumi

**Pemenuhan Tugas Mata Kuliah Komunikasi Dakwah pada Semester IV

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image